Edited, Bab 4 : Manusia Barbar
Bagian 4 : Manusia Barbar
AUTHOR
Ambar dengan fantasinya yang ingin menghujani Bara menggunakan buku-buku perpustakaan dipelukannya. Bara dengan rasa ketidakpercayaannya, gadis di sebelahnya adalah seseorang berotak mesum. Ambar bungkam, dia takut jika dia bicara, maka Bara bakal menyinggungnya. Mereka saling terdiam.
"Ekhem." Bara membersihkan tenggorokannya, dia mulai tertarik untuk mengusili Ambar.
Mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan, kelas mereka ada di lantai tiga dan perpustakaan ada di lantai satu.
"Elo fansnya Jerry?" Topik yang menohok ulu hati Ambar.
"Bu ... kan!" Gadis itu masih saja ngeles.
"Yakin? Padahal gue itu sepupunya Jerry loh." Fakta yang diucapkan Bara, menambah mimpi buruk bagi Ambar.
Mampus. Batinnya.
"Sepupu?" Ambar masih mencerna soal hubungan darah antara mereka, di otaknya dia membanding-bandingkan Bara dan Jerry.
Kemasannya beda, isinya beda, tapi alamat pabriknya sama. Bara, cowok urakan yang sering ambil cuti sekolah. Cowok yang doyan ngeledekin guru-guru, cowok bertitel 'Young Lucifer'. Bara yang nilai merahnya tak terhitung, omelan guru adalah makanan pokoknya di sekolah.
Sementara Jerry?
Dia perfect! Cakep? Iya.
Pintar? Jangan ditanya!
Tajir? Bisa dibilang begitu.
Baik hati? Itu nilai plus buat dirinya. Mantan Wakil Ketua Osis, anak basket, dan sering mengharumkan nama sekolah dan yang terpenting bagi Ambar adalah fakta bahwa Jerry masih jomblo!
"Kok tampang lo kayak ga percaya gitu?" Bara melirik ekspresi Ambar.
"Oh, sepupu." Ambar tertawa kecil, sedikit mengesalkan bagi Bara.
"Kalo gue kasih tau Jerry gimana menurut lo?"
"Kasih tau apa?" Ambar lupa, sejenak lupa dengan aibnya yang sudah terbongkar.
"Kemudian kami berciuman?" Bara mengingat kalimat yang menyudahi narasi Ambar, gadis itu langsung berhenti di tempat.
"Duh ..., kayaknya gue salah ngomong." Bara benar-benar puas mempermainkan gadis berkacamata dan berponi itu.
Ambar tak bergerak, dia berhenti seperti robot yang kehabisan baterai.
"Kamu mau kasih tau soal itu ke Jerry?" tanya Ambar hati-hati.
Parahnya, Bara mengangguk dan tersenyum tanpa dosa. Ambar tidak bisa membayangkan jika Jerry sampai tahu, tentang dirinya yang telah dijadikan objek karya-karya delapan belas plus miliknya.
"Elo ga masalah kan?" Bara gregetan, dia suka sekali dengan ekspresi Ambar yang berubah-ubah.
"Ja ... jangan! Tolong!" Kata-kata yang ditunggu-tunggu oleh Bara.
Bara mendekati gadis itu, dia menumpukkan buku-buku di atas tumpukan buku yang dibawa Ambar.
"Gue bakal kasih tau dia, karena apa? Karena dia sepupu gue." Bara menekankan kata 'sepupu', membuat Ambar menyusul jalannya.
"Ja ... jangan! Bar!" Bara hanya bersiul, dia tidak menanggapi permintaan Ambar.
Ambar berjalan menyusul Bara dengan kesusahan. Ia tidak sengaja menjatuhkan buku-buku itu. Kini, ada kobaran api yang menyala di matanya.
"Dasar cowok ga berperasaan!" pekik Ambar, ia kesal setengah mati.
Ambar merapikan buku-buku yang berserakan, dia pun mendumel, "Pokoknya Kak Jerry ga boleh tau!"
Bara berlari-lari kecil saat menangkap sekumpulan anak adam bertanding basket di lapangan. Kebanyakan anak kelas duabelas, karena dilihat dari badge-nya. Mereka menjadi pusat perhatian para cewek yang melting karena melihat mereka berkeringat dan terkadang pamer otot badan.
"Wah ..., ada si Bara nih! 'sup bro!" Diki, namanya. Cowok kriwil yang mengajak Bara bersalaman ala cowok.
"Kenapa? Kangen sama gue?" Bara mengerling nakal, membuat teman-temannya tersenyum jijik.
"Elo emang ga normal bro!" celetuk seseorang bernama Adit, yang sedang mengibas tangannya.
Ia kepanasan, olahraga sepulang sekolah adalah rutinitas mereka. Alasannya biar mereka siap kalau menghadapi pertandingan sungguhan, aslinya biar ada cewek yang nyantol sama mereka. Caper!
"Gue kira lo udah cabut dari sini!" Ada cowok yang paling pendek dari mereka semua, Ali.
Dia menyindir Bara, Bara jadi terkekeh-kekeh. "Elo nyumpahin gue ceritanya?"
Cowok jangkung dengan kaos putih, melompat dan menembak bola ke dalam keranjang.
"Jerry, lo ga nyambut gue juga?"
Cowok jangkung itu - Jerry menoleh, "Eh, lo? Dari kapan lo di sini?"
"Iya deh yang lagi konsen," celoteh Ali, mengambil bola yang akan menggelinding keluar lapangan.
Jerry tersenyum, ia berpelukan dengan Bara. "Apa kabar, Bar?"
"Baik sekali!"
Dari kejauhan, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Terutama, adegan Jerry berpelukan dengan Bara. Jerry tersenyum ramah kepada bocah itu.
"Jadi mereka beneran sodara?!" Sekarang Ambar sangat yakin, Bara Pradipta adalah makhluk berbahaya yang mengancam kelangsungan hidupnya.
Sial, mata kami bertatapan. Bara mengedipkan matanya padaku, wah ... dia berbisik ke telinga Kak Jerry. Omaigat! Kak Jerry ... dia natap aku? Aku memalingkan wajahku, aku berusaha mencari cara untuk kabur.
AKU HARUS KABUR!
Terlambat, aku mendengar suara langkah di belakangku.
"Berhenti!" Nadanya kayak marah gitu. Suara berat, khas seorang Kak Jerry.
Aku mau kabur, tapi si nyebelin itu menghalangi jalanku.
"Eits ... mau ke mana?" Dia tersenyum, senyuman paling laknat yang pernah aku lihat.
"Ini ceweknya, Bar?" Aku menoleh ke belakang, itu beneran Kak Jerry. Mukanya menahan marah dan tangannya mengepal.
"Yoi bro!" Sahut Bara.
"Tunggu, Kak Jerry. Ini bukan yang kayak kamu pikirin...." Mataku sudah meneteskan air mata, tidak ada alasan yang tepat untuk ngeles.
"Gue benci cewek kayak lo!" Kak Jerry sudah tahu semuanya?! Langitku runtuh, duniaku tergoncang!
Aku berusaha menghalangi kepergiannya. "Tunggu, Kak Jerry ... aku bakal jelasin semua!"
"Minggir!" Kak Jerry sampai tidak mau melihat wajahku?
"Kak Jerry...." Aku mencoba memegang tangannya yang menggantung.
Dia menatapku, bibirnya bergerak.
"Menjijikan!"
Kak Jerry! Kak Jerry! Benci sama aku?!
Bara tertawa penuh kemenangan. "Rasain lo!"
Ambar menggeleng cepat, khayalannya sudah berhenti. "Ga, aku ga mau itu terjadi!" Dia benar-benar khawatir, dia menggigiti kukunya, "Jerry ga boleh tau!"
Bara merasa jika dia sedang diamati, dia menangkap basah kekhawatiran Ambar. Dia melambaikan tangan kearah Ambar, dan diakhiri dengan telunjuknya menunjuk Jerry.
Ambar menghentakan kakinya, dia harus bisa mencari jalan keluar!
~°°~
AMBAR
Menjijikan-menjijikan-menjijikan!
Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku, membayangkan ekspresi Kak Jerry saja sudah ngeri. Gimana aslinya?!
Aku sampai di rumah, dan membanting pintu saking kesalnya.
"Udah pulang, De? Loh, mukamu kayak mau makan orang gitu sih?" Kak Bian ada di rumah, memakai pakaian santai.
Jadi seharian ini dia di rumah?! Dia tidak menjemputku!
"Iya, tadinya aku mau makan Kakak, tapi sekarang aku mau makan orang lain!" Badanku kubanting ke sofa, hari ini benar-benar sial.
Kak Bian menuruni tangga. "Kenapa makan kakak? Emang Kakak salah apa?"
"Dewa molor, tolong sadar diri." Aku memencet tombol remot kasar, tidak ada acara yang bagus.
"Maaf deh, kakak janji bakal anterin kamu besok. Oke?"
"Terserah." Kata 'menjijikan' semakin keras terdengar, menusuk gendang telingaku.
Ada kilasan wajah marah Kak Jerry dan suara iblis Bara.
"Ambar?" Kak Bian ternyata sudah duduk di sampingku.
Aku meliriknya santai. "Apa?"
"Jangan cemberut dong, kakak jadi ngerasa bersalah." Mukaku memang cemberut mulu, sejak keluar sekolah, di angkot dan ... argh ... tadi sampai ada balita yang histeris tidak mau naik angkot setelah melihatku. Padahal tadi aku tuh senyum.
Aku menghembuskan napas, pokoknya aku harus cari cara agar mulutnya tetap tertutup. Rahasiaku harus tetap aman.
"Ambar!" Kak Bian menggulangi panggilannya.
Muncul ide cemerlang diotakku.
"Kak?"
"Apa?"
"Minta duit dong."
"Hah? Duit?!" Uhm ... misal Kak Bian tidak memberi, juga tidak masalah. Toh, kakakku tidak cuma Kak Bian. Tapi cuma Kak Bian yang tinggal di rumah, ia masih berkuliah. Aku anak bungsu dari lima bersaudara, gawatnya kakakku cowok semua. Makanya, kadang aku merasa sendirian.
"Iya, duit. Butuh nih. Uang jajan abis!" Pintaku, aku menunjukkan saku rokku yang kosong melompong.
"Iye, berapa?"
Tapi enaknya jadi anak bungsu, aku bisa minta dari kakak-kakak yang sudah kerja.
Aku tersenyum manis.
++++
AUTHOR
Ambar sudah menyiapkan mentalnya, dia sedang menunggu kedatangan Bara di sekolah. Cowok itu belum kelihatan batang hidungnya. Sudah jam setengah sembilan, dan cowok itu bolos lagi. Ketidakhadiran Bara tidak membuat Ambar tenang, ia malah semakin cemas. Tidak ada cara lain, dia harus menggunakan cara itu.
Di sini, Ambar menjejakkan kakinya menatap gedung apartemen di depannya. Keuntungan jadi anak emas, Ambar dengan mudah mendapatkan info tentang Bara.
"Beneran ini alamatnya?" Ambar sedikit tidak yakin, tapi dia tetap masuk.
Ambar berbicara dengan resepsionisnya, wanita cantik itu menanggapinya ramah. "Selamat datang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"
"Anu ... ada orang yang namanya Bara Pradipta tidak? Saya teman sekolahnya."
Resepsionis itu terlihat cemas saat Ambar mengucapkan nama Bara. "Siapa yang masuk rumah sakit, Non? Berapa jahitan? Ditusuk mananya? Memarnya pasti parah ya? Rumah sakit mana? Kalau Nona mau minta ganti rugi, sini sama saya saja. Nanti saya sampaikan ke Tuan Andika Pradipta...."
Ambar mengernyitkan dahi, dia tidak mengerti arah pembicaraan wanita ini.
"Ngapain lo nanyain gue?" Dua orang perempuan ini terlonjak kaget, terutama resepsionis yang langsung berbisik, "Kalau ada apa-apa, kasih tahu saya. Non."
Bara menatap tajam resepsionis yang menunduk takut, ia menarik tangan Ambar tanpa bicara.
Ambar juga tidak bicara apa pun, dia mendelik mendapati noda yang menempel pada baju Bara.
Itu darah?! Batin Ambar.
Mereka masuk ke dalam lift dan saat pintu ditutup, Bara memojokkan Ambar.
"Ada perlu apa, lo sama gue? Cupu!"
Terlihat jelas, sudut bibir Bara yang lecet. Wajah tampannya agak memar. Tapi apa peduli Ambar? Dia tidak kasihan terhadap cowok ini.
"Aku mau bahas soal itu ...,"
"Soal apa?" Wajah Bara terlalu dekat, napasnya membuat pipi Ambar panas.
"Soal...." Otak Ambar nge-blank, adegan ini persis di novel-novel yang ia baca.
Mata Bara mengerjap-ngerjap, dia tiba-tiba mundur menjauhi Ambar. "Tunggu! Elo cewek mesum itu kan?!"
"Me ... mesum?!" Ambar mengakui jika karya-karyanya ber-genre semi dewasa, tapi disebut mesum? Dia tidak suka!
Sedetik kemudian tawa Bara pecah kemudian dia mengaduh dan memegangi perutnya.
"Eh, kamu ga apa-apa?" Lama-lama muncul rasa simpati dari dalam diri Ambar.
Bara melanjutkan tawanya. "Lo ngapain ke sini? Jangan bilang lo mau minta pendapat gue tentang novel lo?"
Ambar menggeleng. "Bukan! Aku ke sini mau ngasih ini!" Ada amplop putih yang ia keluarkan dari tas selempangnya.
Bara menatap amplop itu bingung. "Maksudnya apa?"
"Aku ... ini ... ini uang tutup mulut!"
Bara mencerna kalimat yang barusan ia dengar. Oh, tentang Jerry? Ck. Batinnya.
"Elo nyuap gue ceritanya?"
"Iya ... aku cuma punya segini. Kalo kurang ... tunggu bulan depan. Bakal aku kasih tiga kali lipatnya!" Ucapan Ambar terdengar sombong di telinga Bara.
Bara tersenyum licik, ia menepis amplop itu. Dia kembali mendekati Ambar, mempojokannya lagi. Kali ini, mereka lebih dekat.
"Apa ... apa?" Ambar tidak berani menatap mata Bara, untuk pertama kalinya dia ditatap sedekat ini kecuali oleh kakak-kakaknya.
Bara mencopot kacamata yang bertengger di hidung Ambar dan memakainya, tangannya juga memainkan anak rambut Ambar. Bara tersenyum jahil, ia meneliti setiap jengkal wajah Ambar.
Jantung Ambar seperti mau copot!
"Kalo lo mau bayar gue ...," Bara menggantungkan kalimatnya, "Bayar gue pake badan lo," bisik Bara di telinga Ambar, suara yang dibuat begitu seksi.
Oh my God! Ambar belum siap mental. Kalimat Bara mencemari otaknya.
~°°~
Ambar memasang wajah masam, setibanya di apartemen Bara. Dua kata yang ada dibatinnya.
KAPAL PECAH!
Ini bukan apartemen, ini bukan ruang tamu,ini bukan hunian untuk manusia!
"Bara ... kamu tinggal di tempat pembuangan akhir, ya?" Itu pertanyaan yang dilontarkan Ambar saat syok melihat seisi ruangan ini.
Bara tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Ambar.
"Gue serahin semuanya sama lo."
Beginilah nasib Ambar, dia harus melakukan pekerjaan rumah tangga.
Banyak bungkus mie berserakan, remah-remah keripik kentang. Baju yang entah sudah berapa lama tidak dicuci yang menurutnya paling menjijikan adalah makanan basi yang dibiarkan sampai membusuk dan mengundang banyak lalat berterbangan di atasnya. Cucian piring yang sampai berkerak. Apalagi kamarnya Bara? Selimut, bantal, guling? Berserakan di mana-mana. Ambar juga menemukan puntung rokok dan abunya. Ambar sampai harus memakai masker dan menyemprotkan pengharum ruangan.
Sementara Bara? Dia duduk nyaman di satu-satunya tempat paling bersih, di balkon. Sesekali ia mondar-mandir untuk memberi komando kepada Ambar.
"Itu di pojokan!"
"Iya."
"Yang bersih dong! Mukanya ga usah dijelek-jelekin! Udah jelek juga...."
"Iya."
Ambar menyeka keringatnya sekarang lantainya sudah kelihatan. Dia merebahkan dirinya sejenak diatas sofa, "huh...," keluhnya.
Mendadak, sesuatu menutupi pandangannya, tumpukan baju kotor yang sangat bau, Ambar sampai mual menghirupnya.
"Karena sekarang ada lo, gue ga perlu ke laundry. Cuci yang bersih. Inem."
Ambar hendak menolaknya, tapi Bara lebih dulu mengatakan, "Kalo lo berani bantah, lo tau apa yang bakal terjadi kan?"
Ambar menelan ludah, inilah nasibnya.
"Dasar manusia Barbar!!" teriak Ambar.
Bara hanya cengengesan masuk ke dalam kamarnya yang sekarang sudah pantas disebut 'kamar', dia puas sekali.
~•••~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro