7. Semangkuk Darah dan Revolusi Subuh
Ini kisah tentang Neraka Krisan.
Tentang negeri dengan hamparan pasir dari tengkorak dan tulang yang mendebu. Negeri dengan langit malam yang tak pernah berganti. Negeri tempat para petani menanam 100 krisan saban hari. Tanpa air pun matahari, tapi berganti darah dan segumpal daging sisa kemarin. Tidak ada hari, tidak ada matahari, hanya 100 krisan mekar untuk setiap satu hari.
"Pada akhirnya nanti para pendosa hanya bisa meratapi kepayahan mereka yang terkubur di pasir putih tempat langit hitam dijunjung tinggi. Lalu pada seorang pendatang, segumpal daging sisa kemarin akan bercerita tentang pertempuran tempat kami berkali-kali mati." ucap Jesvari menggebu-gebu.
"Aku... tidak terlalu paham."
"Ketimbang langsung bilang kalau tidak paham, sebaiknya kamu cermati dulu setiap perkataan."
"Hm... Begini, ini hanya kesimpulan yang kuambil asal dari ceritamu barusan, tapi maksudmu adalah pendosa Neraka Krisan harus menanam bunga krisan. Benar begitu? Lalu kau bilang soal tidak ada hari, itu berarti kita harus menanam 100 krisan untuk setiap satu hari masa hukuman yang diberikan persidangan. Benar begitu?"
"Kamu cepat paham juga."
"Terima kasih. Tapi aku masih belum paham soal darah dan segumpal daging sisa kemarin."
"OK. Kamu tahu elemen utama dari bercocok tanam?"
"Tidak."
"Gak perlu dijawab. Barusan aku cuma beretorika saja."
"Ah, maaf."
"Jadi; elemen utama bercocok tanam adalah pengolahan tanah, pengairan, dan pemberian pupuk. Seperti yang sudah kamu lihat, di Neraka Krisan hanya ada pasir putih sisa tulang yang remuk. Sangat tidak mendukung untuk bercocok tanam. Jadi kamu harus menggemburkan tanah dengan mencampurnya dengan darah agar bertekstur seperti tanah biasa. Lalu mengganti pupuk dengan segumpal daging yang sudah dibusukkan sehari sebelumnya."
"Tapi aku tidak lihat ada daging di manapun."
"Kalau daging bukannya kamu punya banyak?" ucap Jesvari menunjukkan tangannya ke tubuh Yudhis. "Itu, di balik kulitmu, semua berisi daging kan?"
"Maksudmu aku harus memakai dagingku sendiri sebagai pupuk?"
"Tidak harus dagingmu sendiri kok. Kamu juga bisa mencuri milik pendosa lain."
"Itukah yang kau lakukan selama ini?"
"Hmm... bisa iya atau tidak."
"Tapi aku tidak melihat bagian tubuhmu yang terpotong secuilpun."
"Hei, Sanshuta. Biarpun begini, aku juga seorang wanita. Setidaknya daging yang kupakai bukan berasal dari bagian yang terlihat."
"Ah, aku paham. Kau memakai daging payudaramu kan?"
"Huh? Kenapa kamu berpikiran begitu?"
"Habis... kau tahu... dadamu lebih rata dariku. Jadi kupikir kau menggunakannya sebagai pupuk. Itu kan yang kau maksud dengan menggunakan daging dari tempat tertutup? Karena... kau tahu... jarit yang melilit dadamu sengaja dipasang berlapis-lapis untuk membuat bagian yang hilang terlihat sedikit berisi, bukan begitu? "
Jesvari lalu menyerang Yudhis dengan gerakan-gerakan yang bahkan terlalu brutal meski menurut standar Neraka sekalipun.
"Maaf... maaf... aku tidak bermaksud begitu."
"Aku mau memaafkan kalau kamu beri aku semangkuk darah lagi."
"Oi oi oi, tadi kau juga sudah mengambil semangkuk darahku kan?"
"Yang tadi itu untuk pertukaran informasi saja. Yang ini untuk mendapatkan maaf dariku."
"Tidak tidak. Kalaupun kamu tidak memberiku informasi soal menanam 100 krisan itu sekalipun, cepat atau lambat aku juga akan paham dengan sistem Neraka Krisan."
"Itu hanya akan membuatmu semakin lama di Neraka Krisan."
"Ah, itu tak jadi masalah. Awalnya aku sempat takut dengan bagaimana kondisi Neraka. Namun saat tahu Neraka ternyata tempat kerja paksa, kurasa tidak semenakutkandengan apa yang kupikirkan."
"Kamu belum tahu saja, soal kengerian Neraka Krisan."
"Ada yang lebih mengerikan?"
"Aku gak mau bilang."
Yudhis mendengus kesal mendengar celotehan dari Jesvari. Tak mau menghabiskan waktu lama-lama di Neraka Krisan, dia mulai kegiatan bercocok tanamnya. Dia berencana menggemburkan petak tanahnya demi meilihat kondisi tanah yang masih putih berpasir.
"Oi, Jesvari. Kau pernah berpikir menyiramnya dengan kencing?" ucap Yudhis dengan kaki yang mengangkang sudah siap.
"Hei, Sanshuta. Kamu pikir sudah berapa lama ada di sini?"
"Entahlah? Dengan kulit sekusut milikmu kurasa sudah lebih dari sebulan kau di sini."
"Hah! Aku sudah 8 tahun di Neraka Krisan tahu!"
Yudhis membalikkan badan menghampiri Jesvari yang duduk bersila. "Apa? 8 tahun? Itu benar dalam tahun? Bukan bulan atau minggu?"
"Iya. 8 tahun. Jangan gampang kaget, deh. Selain aku juga masih banyak yang lainnnya."
"Memang berapa lama sih masa hukumanmu?"
"Hmm... kalau tidak salah sih 98 hari."
"Hah? Bisa-bisanya sampai sejauh itu? Dari 98 hari menjadi 8 tahun, maksudku."
"Habis... menanam krisan enggak segampang kelihatannya."
"Terus, sudah berapa hari yang sudah kau selesaikan?"
"96."
"Ah... tinggal sedikit lagi. Sial!"
"Tapi... terakhir aku berhasil memekarkan 100 krisan kalau tidak salah setengah tahun yang lalu."
"Hah?"
"Sudah kubilang, kan? Jangan gampang kaget."
"Aku tak punya waktu sebanyak itu."
"Tenang saja, Sanshuta. Kita, para pendosa Neraka Krisan, tidak akan mati untuk kedua kalinya di Akhirat. Jadi, kalau dilihat dari sisi positifnya, kita punya waktu tak terhingga untuk menyelesaikan hukuman di Neraka Krisan."
"Jangan bodoh. Aku masih punya banyak hal yang ingin dilakukan di dunia."
"Hei, Sanshuta. Jangan-jangan kamu berpikir masih bisa kembali ke kehidupanmu yang dulu?"
"Tentu saja! Ini sebenarnya masih jadi rahasia, tapi sebenarnya aku masih hidup."
"Ha ha ha." Tawa Jesvari nyaris seperti teriakan pengamen jalanan tak bermoral. "Kamu pikir Akhirat pegawai kelurahan yang banyak human error-nya? Hei, ini di Akhirat. Tuhan sendiri yang menjamin segala sesuatunya berjalan secara adil. Jangan macam-macam dengan perspektif Tuhan. Bisa-bisa dijatuhkan ke Neraka Anthirin lho!"
"Tidak. Aku tidak sedang bercanda."
"Acting?"
"Bukan. Memang ide tentang kembali ke dunia sangat tidak mungkin, ya?"
"Tidak mungkin. Kalau kamu sampai berhasil, sudah pasti akan jadi pahlawan revolusioner tingkat Akhirat."
"Boleh juga."
"Jangan terlalu terikat dengan masa lalu, Sanshuta. Masa lalu ada untuk dilalui. Masa depan ada sebagai acuan untuk terus melangkah ke depan. Dari pada berlarut-larut dengan masa lalu, sebaiknya bermimpilah dengan kenikmatan Surga yang akan kita cecap kelak."
"Tapi kalau begini, bisa-bisa sampai seabad diperlukan untuk aku bisa ke Surga. Hukumanku di Neraka Honje saja 1.200 hari."
"Itu karena kamu terlalu mesum."
"Itu... tidak benar." jawab Yudhis dengan gusar. "Pokoknya, aku tak akan menyerah. Seseorang pernah berkata jika kau berpikir masih hidup maka pertahankanlah hidupmu sampai benar-benar mati."
"Tapi orang itu juga penah berkata jika kau berpikir sudah mati, jangan terlalu lama meratapi yang ditinggalkan hidup. Lihat? Itu hanya soal perspektif."
"Hhh... sepertinya kita tidak bisa benar-benar akrab." keluh Yudhis sambil meninggalkan Jesvari. Hanya beberapa langkah sampai Yudhis balik menghampiri. "Omong-omong, di mana kita bisa mencari biji bunga krisan?"
"Cari saja di di antara tumpukan pasir."
"Hah? Maksudmu aku harus mencari biji yang sangat kecil di antara bulir-bulir pasir yang berukuran tak jauh berbeda?"
"Ini di Neraka. Jangan berharap ada yang mudah."
Yudhis kemudian mulai menggaruk-garuk tumpukan pasir mencari biji bunga krisan. Nyaris empat jam hingga Yudhis bisa mengumpulkan 100 biji bunga krisan. Setelah semua biji terkumpul, dia lalu menyebarkannya sembarang ke petak tanah yang masih berpasir putih.
"Hei, Sanshuta. Harusnya kamu menggemburkan tanahnya lebih dulu."
Yudhis menghiraukannya. Kemudian dia mengucurkan darah dari lengannya yang sudah robek di bagian pergelangan tangan. Darah yang keluar masih segar sehingga hanya dalam beberapa menit biji bunga krisan mulai mengeluarkan tunas. Jesvari yang melihatnya sedikit merasa iri dengan kesuksesan Yudhis pada kali pertama. Namun dia tak habis pikir saat tiba-tiba Yudhis menginjak-injakkan kakinya pada tunas mungil yang terlihat imut tak berdosa seperti anak rusa yang baru lahir.
"Hei, Sanshuta. Apa yang kamu lakukan dengan tunas krisan itu? Bisa-bisa mereka mati."
"Ssst. Diam dulu dan lihat bagaimana caraku mempertahankan hidupku." ucap Yudhis dengan mantapnya. Dia lalu mencampurkan tanah yang bercampur siraman darah dengan tunas krisan yang masih berkecambah. Dia mengaduk-aduk tanah hingga sedikit liat dari pasir. Cukup gembur untuk menanam tanaman bunga.
Yudhis mengambil biji krisan terakhir dari lipatan jaritnya, lalu melemparkannya ke tanah. Dia kemudian mengambil pisau belikat milik Jesvari, menancapkannya di pergelangan tangan lalu ditarik hingga merobek kulit sepanjang lengan. Darah yang keluar sangat deras seperti air kali musim penghujan. Sendirian di petak tanah tempat kawannya mati digunakan sebagai humus, biji krisan terakhir merasa senang. Dia menang dari 99 kawannya. Dia menang di atas pengorbanan 99 kawannya.
"Tumbuhlah dengan sehat, krisan kesayangaku."
Dan dengan demikian, krisan terakhir yang hidup penuh kemewahan dari lahan yang lapang, pasokan tak terbatas nutrisi tanah, dan siraman darah segar tumbuh menjadi bunga krisan yang jemawa. Sebenarnya krisan neraka adalah tipe bunga neraka yang selalu iri dengan yang lainnya. Namun saat irinya terpenuhi, dia menjadi congkak. Begitu congkak hingga tumbuh semakin besar tanpa sungkan sedikitpun.
Bunga krisan milik Yudhis adalah yang terbesar seantero Neraka Krisan. Kelopaknya sangat lebat dengan warna merah muda yang cerah pertanda nutrisi yang melimpah. Keagungannya maha dahsyat membuat krisan-krisan lain malu sampai layu.
"Hei, Sanshuta! Kamu membuat krisan-krisanku iri sampai mati layu! Lagipula kenapa kamu harus membuat krisanmu mekar sebesar itu? Apa kamu lupa dengan peraturan 100 krisan untuk setiap 1 hari hukuman?"
"Hukuman? Hukuman hanya untuk pendosa yang dijatuhkan ke Neraka. Aku manusia. Aku masih hidup. Dan beginilah caraku mempertahankan hidupku." ucap Yudhis tak kalah angkuh dengan bunga krisannya.
Yudhis menatap bunga krisannya yang semakin tumbuh besar. Dia tidak peduli dengan peraturan Neraka. Dari awal sekalipun tidak terpikir olehnya untuk menjalani hukuman seperti yang lainnya. Dia yakin dia masih hidup. Dia yakin ada yang aneh dengan kematiannya. Dia akan mengulik lebih jauh.
Disanjung sedemikian rupa membuat krisan milik Yudhis semakin tumbuh besar tak bermoral. Dia sangat senang tumbuh dari tunas-tunas kawannya yang mati, dia sangat senang dengan darah Yudhis yang masih segar seperti manusia yang masih hidup. Dia begitu senang hingga kelopaknya tumbuh besar berdiameter tak kurang dari 2 m. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, subuh terbit di langit Neraka Krisan. Ikut bersemarak menyambut krisan juara.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro