Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

49. Yudhistira Terjatuh 6

Ada senyum terkembang di mulut Yudhis. Senyum yang biasa kau lihat sesaat setelah seseorang memenangkan perlombaan. Hanya saja, saat ini Yudhis belum menang lomba. Hal yang ia perlukan untuk menang adalah dua hal. Pertama, meremukkan Benih Hidup milik Cemani dan Amok tanpa sepengetahuan mereka agar tak menciptakan onar. Kedua, menaruh Benih Hidupnya ke Mimbar Batas Surga agar ia bisa hengkang dari Neraka terkutuk ini sambil mengantar kekasihnya yang juga akan segera diangkat ke Surga.

"Kenapa kamu nyengir-nyengir gitu, Yudhistira?"

"Eh? Kelihatan, ya? Bukan apa-apa, kok!"

"Aneh."

"Sering dibilang gitu, sih."

Yudhis tak kuasa menahan kekek. Tanpa peduli dia berjalan menuju Mimbar Batas Surga di seberang. Mimbar Batas Neraka di sisi Neraka saling berhadapan dengan Mimbar Batas Surga di sisi Surga. Keduanya hanya terpisahkan oleh Jembatan Ranting Jiwa yang biasa para pendosa pakai untuk naik ke Surga.

Yudhis menyusur setapak yang memisahkan bukit-bukit di Mimbar Batas Neraka. Pada tanah berwarna gading yang terlihat kering, Yudhis menginjakkan kaki. Berjalan terus sambil sesekali dipercepat setelah Cemani mengingatkan tentang kemungkinan Priya dan Tahta yang bangkit dari kematian. Meski menurut Harta, kematian seorang Raja atau Ratu Neraka biasanya lebih lama dari manusia kebanyakan mengingat hak dan wewenang yang mereka. Masih menurut Harta, Biji Simalakama mampu membunuh Ratu Neraka setidaknya selama setengah hari.

"Sampai berapa lama lagi kita tiba di gerbang, Cemani?"

Cemani tak menjawab. Namun lajur lari mereka juga tak berkurang. Karena tak ada jawaban, Yudhis hanya berlari seliar mungkin untuk segera sampai di gerbang. Di luar dugaannya, ternyata dia sudah merasuk terlalu jauh ke dalam Mimbar Batas Neraka hingga memerlukan setidaknya setengah jam berlari dari posisinya bertemu Cemani dengan gerbang yang sudah tak lagi dijaga Atithud.

Sesampainya di gerbang, Yudhis memiringkan badan agar dapat menyelinap pada celah yang terbuka. Celah yang sempit itu anehnya bisa dilewati Yudhis dengan mudah, meski menurutnya mustahil karena masih ada Cemani bertengger di atas kepalanya. Tak mau menghabiskan waktu pada pusing, Yudhis langsung berlari menuju Jembaran Ranting Jiwa yang berjarak tak lebih dari 100 m dari Gerbang Mimbar Batas Neraka.

"Akhirnya kamu keluar juga, Yudhis!" ucap suara menantang.

Pemilik suara adalah pria umur akhir 20-an, berambut pijar kusam karena darah yang menghitam, wajahnya tak memancarkan semangat, dan tangan kirinya hanya menyisakan belulang. Jubah putih yang sebelumnya ia pakai kini menyisakan bercak merah yang gelap-padam.

"Oh, hei... kamu." sapa Yudhis pada suara yang memanggil.

"Kamu tidak lupa namaku, kan?!" sambut pemilik suara muntab.

"Oi oi oi, mana mungkin aku lupa denganmu, Tahta. Kita bahkan baru bertemu tak begitu lama, bukan? Belum satu jam, aku hitung." jawab Yudhis sekenanya. "Malah aku sebenarnya heran melihatmu sudah bangkit dari kematian dalam waktu yang singkat."

"Aku tidak bangkit dari kematian. Aku menebas semua pendosa yang menggerumutiku seperti lalat. Dan sekarang aku juga akan menebasmu, Yudhis. Kau tak ubahnya dengan lalat yang terobsesi pada kotoran."

"Oi oi oi, tega sekali kamu sebut impianku sebagai kotoran."

"Aku tak tahu apa tujuanmu menerobos Mimbar Batas Neraka. Tapi apapun itu sudah pasti hanyalah impian setingkat dengan kotoran. Sistem ada untuk menciptakan keteraturan, Yudhis. Kalau kau mencuri cara dengan jalan pintas, itu akan membuat Akhirat hancur." ucap Tahta sambil menyarungkan kembali Pedang Taksaka yang bersimbah darah para pendosa Neraka Padma. Niatnya baik, tak mengambil kekerasan untuk berunding. Dengan tatapan serius, Tahta lalu berujar. "Kamu mau Akhirat yang Surganya hendak Jesvari cicipi terlanjur hancur?"

"Tidak. Maka dari itu aku harus melakukan ini untuk melindungi kebahagian Jesvari, Tahta."

"Apa maksudmu?"

Yudhis terbungkam. Ingin sekali ia membagi impiannya dengan Tahta, namun tak mungkin juga mengatakan perkara ia mencegah Cemani menghancurkan Akhirat. Dia tak mungkin mengatakannya begitu saja sementara Cemani duduk bertengger di atas kepalanya.

"Tak bisakah kau cerita?" ujar Tahta memelas. "Asal kamu mau cerita duduk persoalannya, aku akan melupakan tentang kamu yang membunuh Priya dan mengumpankanku pada para pendosa Neraka Padma."

Yudhis gamang. Dia sadar betul bahwa sudah seharusnya dia tak memanfaatkan kebaikan yang Tahta berikan. Dia tak tega juga harus menempatkan Tahta dalam zona abu-abu terus-terusan. Dia berada dalam posisi sulit. Ingin cerita namun ada Cemani di atas kepala. Bahkan meski tanpa Cemani sekalipun, Yudhis tak yakin Tahta akan menyetujui rencananya. Mau bagaimanapun, menghancurkan Benih Hidup adalah dosa besar. Terlebih lagi, Amok Sendashuta adalah saudara Tahta Ashuta.

"Maaf. Aku tidak bisa cerita."

Wajah Tahta memelas. Riak mukanya menampakkan kekecewaan yang sangat. Dia seperti anak kecil yang mengalami pengkhianatan. "Apa aku tak cukup berarti bagimu untuk sekedar berbagi cerita? Apa semua yang kulakukan untuk menyelamatkanku dari berbagai siksa Neraka masih kurang untuk mendapatkan kepercayaanmu, Yudhis? Jika semua yang kulakukan tak ada artinya bagimu, aku tak yakin ada yang lain."

Mata Yudhis memanas. Ini tak seperti biasanya Yudhis. Seperti biasanya Yudhis adalah orang yang paham betul balas budi. Dia orang yang sukan bahkan kepada teman, termasuk pula keluarga. Seperti saat Yudhis memberikan sebotol arak pada perpisahannya dengan Jesvari di Neraka Krisan. Untuknya berbuat sejauh ini meninggalkan Tahta, itu karena apa yang Cemani lakukan tak bisa ditolerir.

"Maaf, Tahta. Nanti jika ini semua sudah berakhir, aku akan menjelaskan semuanya kepadamu. Aku janji." ujar Yudhis sambil melengang pergi.

Detik ketika Yudhis mengakhiri perkataannya, dia berlari menyamping pada bagian yang tak sejajar dengan muka Tahta. Seperti bermain gerobak sodor, Tahta menghalang-halangi jalan Yudhis dengan merentangkan kedua tangannya. Mukanya mengernyit kesakitan saat otot-ototnya dipakai untuk menggerakan tulang di tangan kiri.

"Kamu tidak boleh lewat." ujar Tahta berdiri mengangkangi jalan masuk menuju Jembatan Ranting Jiwa.

"Kalau begitu, ayo kita pakai kekerasan." timpal Yudhis sambil mengepalkan sebelah tangan. Andai tangan kanannya masih utuh, posenya sudah pasti seperti petinju memasang kuda-kuda.

Tahta menyeringai kecil. Tangan kanannya menghunuskan pedang dari sarungnya. Terdengar suara besetan yang nyaring ketika bilah Pedang Taksaka menyelisir bagian dalam sarungnya. "Seharusnya kamu tidak menantang kekerasan pada pemilik pedang terkuat di Akhirat, Yudhis."

"Meski begitu aku berhasil mengalahkanmu di depan Neraka Padma, kau tahu?"

Lalu Tahta mengayunkan pedangnya ke arah Yudhis.

"Oi oi oi, yang barusan itu bahaya sekali! Kalau sampai kena aku, bisa gawat."

"Justru aku memang mengincar tubuhmu, Yudhis!"

Yudhis berlari menghindari tebasa Tahta yang membabi buta. Larinya tak terlalu kencang, hanya tebasan Tahta saja yang melemah. Meski dia adalah Raja Neraka Cendana, tak dapat dipungkiri kehilangan sebelah tangan membuat staminanya tak bertenaga. Yudhis yang merasakan hilangnya tenaga pada tebasa Tahta dibandingkan beberapa saat lalu, mengambil kesempatan dengan berlari di arah kiri Tahta. Karena Tahta hanya memiliki tangan kanan, mengarahkan ayunan pedang ke arah kiri ternyata lebih sulit dari kelihatannya.

Dengan gerakan cepat, Yudhis berhasil menendang Pedang Taksaka jatuh dari genggaman. Lalu tak menunggu waktu lama sampai ia merenggut dagu Tahta dalam genggaman.

"Tunggu sebentar!" ucap Tahta berusaha menghentikan apapun yang hendak Yudhis lakukan. "Jangan bilang kamu masih punya sisa Biji Simalakama dan hendak melakukan apapun-yang-kau-lakukan-pada-Priya kepadaku."

"Aku tidak punya sisa Biji Simalakama dan kalaupun aku harus melakukan apapun-yang-kulakukan-pada-Priya kepadamu, akan pikir-pikir juga!"

"Eh, kalau begitu, apa yang mau kamu lakukan padaku?"

"Ini." jawab Yudhis sambil mendekatkan mukanya pada muka Tahta. Sangat dekat hingga pada jarak yang tak lebih dari jari tangan, Yudhis menghantamkan kepalanya pada Tahta. Beradu keras hingga terdengar bedebum ketika tengkorak saling berbenturan. Tahta jatuh terperongkok setelah beberapa langkah berjalan mundur.

"Aku keras kepala, baik secara harfiah maupun kiasan." ujar Yudhis sambil berlalu.

Yudhis melebarkan langkah kakinya menaiki Jembatan Ranting Jiwa yang memisahkan Neraka dan Surga. Tidak seperti konotasi kata jembatan yang terbuat dari bambu, Jembatan Ranting Jiwa dibuat dari pualam selebar kali bengawan. Ada gradasi cahaya pada titik tengah yang mempertemukan alam Surga dan alam Neraka. Titik temu yang masih perlu Yudhis tempuh setengah kilometer lagi.

Slash!

Yudhis melihat kedua kakinya yang terbang berputar-putar pada jarak pandangan mata. Detik sebelum ia sempat mencerna keadaan, tubuhnya limbung tersungkur di lantai jembatan. Matanya nanar, nyaris tak percaya jika kakinya buntung karena ditebas.

"Arrrgggghhh!!!"

"Maaf, Yudhis. Hanya ini satu-satunya cara tersisa untuk menghentikanmu." ucap Tahta berdiri tak jauh darinya yang terngkurap menahan perih. "Jadi, siapa yang menyuruhmu melakukan semua ini? Lebih tepatnya siapa yang mengelabuimu untuk mencuri Benih Hidup dari Mimbar Batas Neraka?"

Yudhis mana bisa menjawab. Pikirannya buntung, tak kuasa menahan sakit saat kakinya terpotong. Tiba-tiba dingin menyeruak, membuat tubuhnya menggigil. Pada dingin yang tiba-tiba datang tanpa undangan, tubuh Yudhis bergetar hebat membuat darah yang keluar dari perpotongan di paha muncrat ke mana-mana. Basah menggenangi lantai jembatan.

Yudhis menelungkupkan kepala karena tiba-tiba dilanda ngantuk. Dengan mata nanar seperti lampu pijar 5 watt, terpampang buntalan gombal berisikan Benih Hidup. Setidaknya, menurut Yudhis, jika tekadnya terhenti di sini, dia masih bisa menghancurkan Benih Hidup milik Cemani dan Amok. Dengan begitu ia mengorbankan diri demi keselamat Akhirat dan para penghuninya.

Yudhis menyeret tubuhnya dengan satu tangannya yang tersisa.

"Kamu mau apa lagi, Yudhis? Kamu benar-benar keras kepala!" ucap Tahta masih berdiri tak jauh dari Yudhis melata. Lalu menancapkan Pedang Taksaka pada telapak tangan Yudhis untuk menghentikan pergerakannya.

Yudhis terhenti. Namun dengan gerakan cepat mengarahkan mulutnya pada kantung kain, membukanya dengan lidah yang terampil, lalu menumpahkan semua Benih Hidup yang di dalamnya. Tak ragu cara Yudhis mematuk benih hitam berbintik milik Cemani dan benih memerah lava milik Amok. Dua Benih Hidup sudah ada di mulut Yudhis.

"Tunggu, Yudhis! Itu... itu Benih Hidup, kan? Benih Hidup siapa yang kau makan, Yudhis? Kamu tahu kan apa yang terjadi pada Benih Hidup jika rusak atau retak?" teriak Tahta panik.

Yudhis tersenyum meringis. Lalu tanpa jeda menggigit habis kedua Benih Hidup itu.

Harusnya, Amok dan Cemani yang bertengger di atas kepalanyalah yang hancur lebur begitu Benih Hidup mereka dikunyah. Namun saat itu Yudhis malah tersiram berliter-liter darah yang muncrat dari tubuh Tahta yang meledak. Seperti balon berisi air yang dipecahkan dalam perlombaan pecah air, darah yang muncrat dari tubuh Tahta tak bercipratan ke segala. Malah seperti gumpalan darah yang keluar dari salah satu lubang di perut. Muncratnya seperti saat air ditumpahkan dari ember. Dan tumpahan darah itu menyiram habis seluruh tubuh Yudhis.

"Aargh... aaarggghhh... AAARGGGGGHHHHH!!!!! Tahta! Tahta! Kenapa malah kamu yang meledak? Tahta?!" teriak Yudhis terusik kepanikan. Pandangannya lalu diedarkan ke sekitar. "Cemani! Dimana kau, Cemani?!"

Cemani sudah tak ada sejak Yudhis keluar melalui Gerbang Mimbar Batas Neraka.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro