46. Yudhistira Terjatuh 3
"Cemani mau menghancurkan Akhirat!" ungkap Harta pada Yudhis. Matanya melotot, mukanya histeris, dan ekpresinya terlalu berlebihan. Seperti dalam iklan tahun 90-an.
Semilir angin di Neraka Honje membawa semerebak aroma manis. Menerpa wajah membuat permukaannya terasa lengket berlendir. Di Neraka Honje tempat dosa nafsu mendapatkan hukuman, latarnya sangat indah dengan hamparan warna-warni pastel. Nuansa yang Yudhis dapatkan dari gradasi warna lembut itu sulit membentuk suasana hati kelam. Aroma manis Neraka Honje seperti aroma terapi yang menjaga para pendosanya tetap dimabuk kepayang. Jadi, Yudhis belum bisa bereaksi seperti seharusnya demi mendengar ucapan Harta.
"Hei, Yudhistira. Kamu dengar perkataanku, kan?" ucap Harta sambil mengguncangkan tubuh Yudhis untuk menyadarkan ia dari lamunan. "Akhirat mau dihancurkan Cemani, kau tahu?"
"Iya, aku dengar. Kan kamu barusan teriak sambil muncrat-muncrat."
"Eh, iyakah? Maaf."
"Terus?"
"Yaaa... ini situasi gawat, Yudhistira! Bisa kamu bayangkan apa yang terjadi kalau Cemani berhasil menghancurkan Akhirat?" ujar Harta beretorika. "Kalau sampai dia berhasil menghancurkan Akhirat, keseimbangan dunia akan hancur. Kalau Akhirat tidak ada, roh akan bertumpuk di Pelabuhan Akar karena tidak bisa dilarung menuju persidangan. Kamu mau situasi kacau balau seperti ini, Yudhistira?"
"Aku sebenarnya tak peduli dengan apa yang terjadi di sini. Ini bukan tempatku. Tempatku adalah kantor dengan segala rutinitas yang padat deadline. Malah, kalau Akhirat hancur aku jadi bisa dipulangkan ke Dunia Makhluk Hidup." jawab Yudhis skeptis.
Hening untuk sejenak. Harta terlihat cemas. Pancaran wajahnya menampakkan gelisah. Dia juga ikutan diam. Namun diamnya Harta terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang sekiranya bisa membujuk Yudhis untuk ikut-ikutan panik karena Cemani hendak menghancurkan negeri para arwah ini.
"Lagipula, sehebat apa sih Cemani sampai dia bisa menghancurkan Akhirat?"
"Kamu tidak tahu saja, Yudhistira. Cemani punya dua dari empat senjata Munmasthi. Lumpur Belacan dan Biji Simlakama. Senjata paling kuat sejagat Akhirat. Itu adalah senjata yang Munmasthi mohon pada Kalpataru. Tidak ada yang dapat menyaingin kekuatannya."
"Tapi bukannya Lumpur Belacan sudah ada di tanganmu, ya?"
Harta terkesiap. "I-iya. Tapi jangan lupa jika Cemani juga memiliki Biji Simalakama. Itu ada biji yang dapat menghancurkan apapun yang ada di dunia ini. Kekuatan penghancurnya maha dahsyat! Konon jika Biji Simalakama dibuat bubuk dan sebutirnya dijatuhkan ke Dunia Makhuk Hidup, maka itu dapat menghancurkan seluruh galaksi dalam sekejap mata."
"Itu kekuatan yang gila! Pantas saja rasanya tidak enak."
"Maksudmu?"
"Maksudku, aku juga punya Biji Simalakama." jawab Yudhis enteng. "Seseorang memberikannya pada Jesvari. Lalu karena satu dua hal akibat, kini berpindah tangan padaku. Tapi ada yang aneh. Kalau Cemani punya Biji Simalakama, lalu kenapa aku juga punya?"
"Perlihatkan bijimu." ujar Harta mengucapkan kata yang ambigu.
Lalu Yudhis mengambil Biji Simalakama yang ia sembunyikan dari balik lipatan jarit. Harta kemudian melihatnya dengan seksama. Matanya di dekatkan pada biji seakan tak takut korneanya tergores biji karena terlalu dekat. Pada beberapa saat setelah Harta mencermati, dia berada dalam kesimpulan bahwa biji yang Yudhis miliki adalah pecahan dari Biji Simalakama yang Cemani miliki. Dengan kata lain, Cemani adalah wanita yang memberikan Biji Simalakama kepada Jesvari saat berada di Neraka Padma.
"Kita beruntung sekali, Yudhistira. Dengan begini kita bisa menggunakan Biji Simalakama untuk menghancurkan Benih Hidup milik Cemani dan juga Amok Sendashuta." ucap Harta dengan nada riang.
"Kenapa aku harus menghancurkan Benih Hidup mereka? Kalau mereka mengancam Akhirat, itu bukan urusanku. Semesta, Tuhan segala makhluk hidup, seharusnya bisa mengatasinya sendirian."
Harta mengernyitkan dahi. Kerutannya sangat kentara memperlihatkan ketidak setujuannya. Dia lalu mengungkapkan rahasia besar di balik Semesta. Rahasia yang membuat Yudhis ternganga karena terlalu mustahil untuk bernilai benar.
"Itu tidak mungkin!" teriak Yudhis tak terima.
"Kenyataan kadang lebih menyakitkan dari rekaan novel, Yudhistira." jawab Harta skeptis. "Sekarang semua tergantung pada kita berdua."
"Tapi... apa harus kita berdua?"
Harta menghela napas dengan berat. "Kalau Akhirat dihancurkan, kekasihmu si Jesvari itu tak akan sempat mengenyam kenikmatan Surga. Dia sudah bertahun-tahun mendapat siksa di Neraka, bukan? Kamu tega merenggut impiannya mencecap Surga sesaat setelah impiannya nyaris terkabulkan?"
Harta kemudian menceritakan status Jesvari yang baru selesai menyelesaikan masa hukuman.
"Kamu benar..." ucap Yudhis yang namun terlihat lemas. "Mana mungkin aku tega membiarkan impian Jesvari runtuh sebelum satu langkah terakhirnya. Dia sudah terlalu lama menderita di Neraka. Sudah sepantasnya ia mencecap kebahagiaan di Surga."
"Kalau begitu sudah ditetapkan." ucap Harta menarik kesimpulan. "Juga, jangan lupa apa yang Amok Sendashuta lakukan pada Jesvari selama di Neraka Menik."
Terbit geram dalam hati Yudhis. Geram tak terperi saat membayangkan perkataan Harta tentang hukuman yang Jesvari dapatkan saat berada di Neraka Menik. Dia tak akan memaafkan, bahkan sedetik sekalipun, Amok Sendashuta dan ratusan setan Neraka Menik yang begitu teganya menodai tubuh ringkih Jesvari.
*
Yudhis berlari di lorong Neraka yang terkungkung dinding obdsidian. Wajahnya datar seperti manusia kehilangan perasaan. Lebih tepatnya, seperti saat hati dicabut dari tubuhnya. Dia terus berlari tak mempedulikan ceceran daging remuk yang terlempar bahkan dalam jarak 500 m dari pusat ledakan. Dinding hitam dari obsidian mengkamuflasekan warna pekat dari darah. Setidaknya untuk yang terakhir itu bisa membantu Yudhis tetap berkonsentrasi dengan langkahnya.
"Yuuuuuddddhiiiiissstttiiiiraaaaa!!!!!!" terdengar teriakan Tahta yang membahana sepanjang lorong Neraka. Beratalu-talu mengantarkan pilu. Pilu yang biasa muncul akan kematian seseorang yang tercinta. Mungkin, itu teriakan sama yang akan Yudhis lakukan jika hal serupa menimpa Jesvari.
Tak berapa lama dari talu terakhir yang terdengar, Tahta sampai di jalur pandangan Yudhis. Jas putihnya menghitam karena bersimbah darah, bouttonniere dari bunga cendana di saku kirinya berubah semerah mawar liar, dan rambut pijarnya menyala terang karena amarah. Tahta marah dahsyat.
"Pelir babi! Apa yang kamu lakukan pada Priya?!" teriak Tahta.
"Aku memberinya Biji Simalakama." jawab Yudhis tak gentar.
Gigi Tahta gemelutuk saat mendengar kata Biji Simalakama. Matanya memerah saga, pertanda marah yang membuncah. Tanpa pikir panjang, dia menghunuskan pedangnya. Pedang berwarna putih dengan bilah yang terlihat bening seperti kaca. Itu adalah Pedang Taksaka, wujud asli dari jarum yang dapat menebas apapun.
Sebenarnya Yudhis hendak memakai Biji Simalakama pada Tahta, mengingat dia adalah pemilik Pedanga Taksaka. Namun rencananya gagal karena justru Priyalah yang datang duluan saat mengejar. Sejujurnya saat ini Yudhis tak punya strategi apapun untuk mengalahkan Tahta. Jadilah ia berlari di lorong depan Neraka Padma dengan segenap tenaga.
"Jangan lari kamu, Yudhis!" teriak Tahta sambil mengejarnya.
Tentu saja Yudhis mengindahkan teriakan peringatan Tahta. Dia hanya dapat berlari sekencang-kencangnya menjauhi ancaman. Lari terus tanpa menghadap ke belakang walau hanya sebentar. Beruntung Pedang Taksaka lebih berat dari pedang kebanyakan sehingga Tahta tak bisa berlari secepat rata-rata manusia.
Namun Tahta tak patah akal. Meski jaraknya dengan Yudhis masih berpetak-petak sawah, Tahta memantapkan hati untuk mengayunkan pedangnya. Diayunkannya pedang menebas udara. Hembusan angin yang bergerak saat pedang diayunkan membuat udara bergetar. Seperti fatamorgana, udara terlihat bergoyang seperti saat panas hebat.
Dalam sekali percobaan menebas, Tahta memang gagal mengarahkannya pada Yudhis. Namun dia berhasil memotong udara yang membentuk sobekan seperti portal. Tahta memasukkan tangannya ke dalam lubang yang terbentuk dari sayatan Pedang Taksaka. Sayatan di udara itu menyambung ke udara di samping leher Yudhis. Dengan gerakan yang cepat, Tahta berhasil menghentikan lari Yudhis dengan cara mencekiknya menggunakan sebelah tangan.
"Kena kamu, Yudhis!" ucap Tahta terkekeh jauh di belakang tubuh Yudhis.
Yudhis mati-matian berusaha melepaskan cengkeraman tanganTahta di lehernya. Namun, usahanya tak banyak membuahkan hasil. Yudhis hanya memiliki satu tangan dan itu tak cukup kuat untuk mengalahkan kekuatanTahta. Mungkin karena selalu membawa pedang berat ke mana-mana, lengan Tahta sangat kekar memperlihatkan otot yang mencuat di sekujur lengannya.
Dengan tangan kekarnya, Tahta menarik kepala Yudhis melewati portal. Bagian tubuhnya masih jauh di depan, namun kepalanya sudah ada di tangan. Tertahan setinggi perut dengan wajah menengadah ke atas. Sambil berbisik lirik, Tahta lalu berkata. "Yudhis, bisa kamu bayangkan gimana jadinya kalau portal kututup seperti semula?"
Mata Yudhis terbelalak. Lalu melirik tubuhnya yang terpisah jauh di sana. Andai portal ditutup seperti semula, maka kepalanya akan terputus pada bagian perpotongan. Keringat mulai menetes dari pelipis karena karena deg-degan.
"Jangan." ucap Yudhis pelan.
Satu kata itulah yang terucap dari mulut Yudhis. Satu kata singkat yang bahkan tanpa intonasi memohon ataupun bersalah. Setelah apa yang ia lakukan pada Priya, sekiranya tak berlebihan jika Tahta berharap ada duka di wajah Yudhis. Atau setidaknya gamang. Demi tampak wajah Yudhis yang tetap polos tak merasakan salah, bulat tekad Tahta untuk memenggal kepalanya.
Tahta menutup portal yang memisahkan Yudhis dengan tubuhnya pada bagian leher. Seharusnya ini berhasil untuk memenggal kepalanya, namun dengan gerakan cepat Yudhis berhasil menarik Pedang Taksaka dari sarung yang Tahta sampirkan di pinggang. Lalu dengan gerakan cepat selanjutnya, menyayat udara berbentuk garis vertikal. Portal yang memisahkan Yudhis dengan tubuhnya jadi melebar, membuatnya tak kesulitan menarik kepala sehingga bisa bersatu dengan tubuhnya.
Mau bagaimanapun, Tahta, seperti seharusnya pemilik asli Pedang Taksaka, berhasil merebut pedangnya kembali. Dia menggenggam pergelangan tangan Yudhis sehingga tulangnya remuk, tak kuasa menahan beban pedang sehingga jatuh menggelepar di lantai. Pada tahan ini; kepala dan badan Yudhis sudah menyatu, tangan kanannya buntung sementara pergelangan tangan kirinya remuk, dan Pedang Taksaka kembali pada pemiliknya yaitu Tahta Ashuta. Keduanya saling hadap tak begitu jauhnya. Sudah macam koboy hendak adu tembakan.
Yudhis berjalan kepiting ke arah kiri, diikuti dengan gerakan yang sama oleh Tahta. Mereka seperti dua titik beralawanan dalam lingkaran. Lalu pada suatu pertemuan, Tahta berujar lantang. "Aku tahu kau dendam padaku karena membunuh Priya. Meski dia akan dihidupkan lagi, aku rela mendapatkan satu tebasan darimu. Tapi satu hal, jangan hentikan tekadku."
"Karena bisa hidup lagi, lalu kamu berpikir tak jadi masalah membunuhnya? Sakit yang dirasakan masih tertinggal!" balas Tahta dengan teriak.
"Baik. Dua tebasan."
Tahta tak benar-benar setuju dengan penawaran yang Yudhis berikan sambil berdiri di depan dinding Neraka. meski begitu, setidaknya dua tebasan dapat menghentikan Yudhis dari kelakuan konyolnya. Sehingga masihada kesempatan untuk bicara serius empat mata.
Maka, diayunkannya bilah bening Pedang Taksaka. Satu sabetan melayang di udara dan satu sabetan lain mengikutinya. Dua sabetan yang nampak pada mata itu melayang di udara siap meninggalkan luka berbentuk X di dada Yudhis. Hanya saja, detik sebelum sabetan menghantamnya Yudhis keburu berjongkok sehingga sabetannya mengarah ke dinding Neraka Padma. Dinding obsidian dari bahan yang kuat itu bolong hanya dengan dua kali tebasan.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro