35. Musuh Dalam Selimut, Musuh di Pelupuk Mata
"Kamu yakin, Yudhistira?" ucap Cemani berusaha mengklarifikasi.
"Sangat yakin, Cemani. Yakin seyakin-yakinnya. Baru k ali ini aku mengambil keputusan tanpa digerayangi mabuk oleh serbuk neraka." jawab Yudhis mantap.
"Kamu tidak perlu menanyakannya berulang kali, Cemani. Yudhistira sudah teguh pada pendiriannya. Ini berarti sudah tidak ada lagi yang jadi penghalang untuk misi kita selanjutnya." ucap Harta menasihati Cemani. Harta juga pintar berakting.
"Benar, Cemani. Aku sudah besar. Sudah cukup untuk menentukan jalan hidup masing-masing. Apapun konsekuensi yang kudapatkan nanti, akan kuterima dengan lapang hati. Karena itu apa yang biasa orang dewasa lakukan, bukan?"
Harta berdehem kecil, dia lalu membuat gestur yang membuat beberapa setan muncul dari ketiadaan. Dengan sekali ayunan, setan tersebut menghilang untuk muncul dengan sebilah mandau berukuran sedang. Mandau itu berbentuk seperti parang dengan gagang yang terbuat dari tanduk kerbau, rumbai dari bulu ekor sapi, sementara bilahnya berkilat karena tajam. Terlihat sangat tajam, mungkin apel bisa terbelah hanya dengan ditekan berat mandaunya saja.
"Sudah siap?" tanya Harta kepada Yudhis.
Belum sempat Yudhis menjawab pertanyaan itu, mandau sudah keburu menebas lengan kanannya. Mata Yudhis melotot hebat, memandang penuh kengerian pada lengan yang terlempar di udara. Pada bagian perpotongan, di sepertiga bawah bagian lengan, darah terlihat bercipratan ke sana ke mari. Seperti saat main pecah air di Agustusan, saat seorang anak memukul kantong air namun pukulannya terlalu lemah sehingga hanya cukup membuat kantong air borot dengan air yang berceceran.
Yudhis lagi-lagi pingsan, merutuk dirinya yang tak sempat meminum serbuk neraka untuk mengurangi rasa ngeri yang dahsyat.
*
"Kenapa kamu pingsan melulu, Yudhistira?" ucap Cemani saat Yudhis sudah terbangun pada kesadarannya. "Kamu tahu waktu yang kita habiskan untuk menunggumu tersadar?"
"Entahlah, Cemani." jawab Yudhis merasa tak bersalah. Dia lalu mengerjap-kerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Tangan kanannya masih sedikit perih, namun tak seperih saat awal ditebas. Itu karena Harta menyembuhkan bagian perpotongan dengan air dari Taman Sari Neraka Edelweis. Meski buntung, Yudhis merasa beruntung karena nyeri sudah tak lagi menghujam.
Dia lalu melanjutkan perkataannya, "Memang berapa lama aku pingsan? Sejam? Dua jam? Sepuluh hari?"
"2 menit 13 detik, Yudhistira!" ucap Cemani dengan nada tinggi, setengah berteriak.
"Lah, cuma 2 menit. Untuk bikin mie instan pun masih kurang." jawab Yudhis dengan bantahannya.
"Kamu enggak tahu sih betapa awkward-nya kita berdua saat melihatmu pingsan cuma 2 menit. Kalau lebih lama kan bisa kita pindahkan badanmu lalu berlanjut di pertemuan selanjutnya." ucap Cemani menggerutu.
"Ah, maaf. Kalau begitu aku pingsan lagi aja."
"Jangan!"
"5 menit aja!"
"Aku cubit, nih!" ucap Cemani sambil mencubit jakun milik Yudhis.
Yudhis gelagapan. Ide tentang cubitan selalu identik dengan pilinan jempol dan telunjuk pada permukaan kulit. Maka ketika Cemani mencubit biji jakunnya, dia benar-benar belum menyiapkan mentalnya berada dalam tahap itu. Dia kaget bukan kepalang. Lalu begitu Cemani melepaskan cubitannya, Yudhis tersedak hebat serasa tenggorokannya patah.
Prok!
Terdengar suara Harta saat menelungkupkan kedua telapak tangannya. "Sudah, sudah. Kalian berdua ini sama saja. Kalau begini terus, mau sampai kapan kita bicara soal Kalpataru?"
"Ah, iya. Itu benar. Kalpataru, apa itu?" timpal Yudhis menghentikan gerakannya mengacak rambut Cemani. "Kalau tidak salah itu penghargaan yang diberikan pemerintah untuk siapapun yang berjasa dalam kelestarian lingkungan hidup. Tapi... apa hubungannya dengan cara kembali ke Dunia Makhluk Hidup? Mungkinkah..."
"Bukan." ucap Harta memangkas spekulasi Yudhis yang macam-macam.
"Tapi aku belum bilang apapun." balas Yudhis memasang wajah memelas.
"Apapun ide yang ada di benakmu soal Kalpataru, semuanya salah. Kalpataru yang kita bicarakan bukanlah penghargaan tidak terkenal seperti yang kamu pikirkan, Yudhistira. Kalpataru yang kumaksud adalah Pohon Kalpataru."
"Pohon Kalpataru?"
"Benar, Pohon Kalpataru. Pohon, secara harfiah."
"Oi oi oi, jangan bilang aku hanya perlu memohon kepada Pohon Kalpataru agar permohonanku untuk kembali ke Dunia Makhluk Hidup dapat dikabulkan?" ujar Yudhis dengan nada skeptis.
"Kamu menebaknya dengan benar, Yudhistira." jawab Harta dengan nada monoton.
"Haaaaaah? Jadi, maksudmu hanya begitu saja bisa membuatku kembali hidup? Yang benar saja! Usahaku selama setengah tahun ini sia-sia belaka!" keluh Yudhis dengan nada penuh frustasi. "Kalau memang semudah ini seharusnya ada yang mengatakannya lebih awal! Antiklimaks yang menyedihkan!"
Cemani lalu mendekat ke arah Yudhis. Ada hasrat yang membuatnya ingin memanjat punggung milik Yudhis untuk duduk bertengger di kepalanya, namun segera diurungkan agar suasana tak semakin memburuk. Maka, duduklah Cemani di bersampingan dengan Yudhis. Dirapikannya rambut Yudhis yang mencuat ke luar, seperti saat ibu hendak memberikan wejangan pada buah hatinya.
"Yudhistira, tidak semua orang tahu keberadaan Pohon Kalpataru. Hanya Hakim Jalaran Manepis, Para Raja-Ratu Neraka, dan Nestapa dari Surga Kasturi." ucap Cemani tak menghentikan belaiannya. Bicaranya lembut, membuat kesal di hati Yudhis sedikit redup. "Dan meskipun kita tahu, tidak mungkin juga kita membocorkan rahasia penting ini pada orang yang belum kenal dekat."
"Tapi kalian membocorkannya padaku."
"Itu karena kami percaya padamu, Yudhistira. Kami percaya jika kamu bisa memberikan perubahan pada Neraka yang bobrok ini." ucap Cemani mantap. "Kamu bisa jadi seorang revolusioner!"
"Aku tidak punya kualitas sebagai seorang revolusioner." jawab Yudhis merendahkan diri.
"Tentu saja kau bisa, Yudhistira! Malah, kau sudah jadi revolusioner saat menerbitkan subuh untuk pertama kalinya di Neraka Menik."
"Itu hanya kebetulan saja, Cemani."
"Justru itu! Jika kebetulan saja bisa membuatmu jadi seorang revolusioner, lalu bagaimana jika kita melakukannya dengan serius? Dengan konsep matang dan eksekusi yang dipikirkan benar-benar? Aku yakin ini bisa sukses besar!" terang Cemani menggebu-gebu. Dengan wajah memancarkan penuh harap, Cemani melanjutkan orasinya. "Setiap hal besar berawal dari langkah pertama, Yudhistira. Kalau bukan kita yang melangkahkan kaki untuk pertama kali, mau sampai kapan menunggu yang lain? Semua orang ingin perubahan, namun mereka hanya pecundang yang tak ingin memulai perubahan. Sekarang, apakah kamu juga termasuk pecundang seperti mereka?"
Yudhis mengernyitkan alis. Ada beragam perasaan berkecamuk di pikirannya. Namun sebagian besar adalah perasaan risih dengan ekspektasi terlalu besar yang Cemani harapkan.
"Aku tidak sehebat itu."
Cemani menghela napasnya perlahan, berusaha tetap tenang menghadapi Yudhis di sampingnya. "Bagaimana kalau kubilang kalau kasus ini bersinggungan langsung denganmu?"
"Maksudnya?"
"Ini tentang kematianmu, Yudhistira. Setelah membaca berkali-kali Catatan Amal milikmu dan juga menghabiskan banyak waktu di sekitar Tahta, aku bisa membuat kesimpulan tentang kematianmu." ujar Cemani menerangkan. "Ehm, menyebutnya sebagai kesimpulan sepertinya kurang tepat. Kuralat, aku punya deduksi mengenai kematianmu."
"Jadi, apa deduksimu?"
"Bahwa Tahta Ashuta, Raja Neraka Cendana tempat dosa angkuh mendapatkan hukuman, adalah dalang di balik semua kejadian yang menimpamu." ucap Cemani dengan tampang serius.
Yudhis sedikit tergelak.
"Oi oi oi, Cemani. Mana mungkin Tuan Tahta adalah dalang di balik semua kekacauan ini. Malah, kalau memang ada dalang di balik semua ini justru dialah yang terakhir dicurigai. Maksudku, siapa sih yang rela membelaku saat Sidang Benih Kebajikan dan repot-repot menyelamatkanku dari Meriyati saat berada di Neraka Menik? Tuan Tahta seorang."
"Itu yang ingin Tahta pikirkan di kepalamu."
"Huh? Maksudnya?" tanya Yudhis kebingungan.
"Masih ingat saat Tahta pertama kali membantumu?"
"Maksudmu saat di Sidang Benih Kebajikan?"
"Iya, benar." ucap Cemani setuju. "Tahta berlagak seakan dia membantumu dari dijatuhkan ke Neraka Anthirin. Tapi sebenarnya, asal kau tahu, Yudhistira... yang Tahta lakukan hanya akting untuk merebut hatimu. Kamu masih ingat apa yang Tahta ucapkan saat membalmu di Sidang Benih Kebajikan?"
"Hmm..." ucapan Yudhis tertahan karena dia berpikir keras-keras kejadian setengah tahun yang lalu. "Kalau tidak salah Tuan Tahta menyarankan Hakim Jalaran untuk mengikuti protokol, dengan mengambil Benih Hidup dari pusarku."
"Tepat sekali, Yudhistira. Ingatanmu bagus juga."
"Terima kasih."
"Cuma, apa kamu sadar jika saat itu dengan atau tanpa Tahta membantumu, Jalaran tetap akan mengikuti protokol untuk mengambil Benih Hidup dari pusarmu? Memang saat itu Jalaran terlihat mencurigakan dengan berniat langsung menjatuhkanmu ke Neraka Anthirin, tapi itu sebenarnya adalah akting agar Tahta bisa menginterupsinya. Kalau sudah begitu, ada semacam mispersepsi yang membuatmu berpikir Tahta-lah yang menyelamatkanmu dari Neraka Anthirin."
"Itu... tidak benar." jawab Yudhis mulai gamang dengan pendiriannya.
"Itu benar, Yudhistira. Ingat saat aku dan Tahta menyergap Meriyati yang menculikmu? Itu juga akal-akalan Tahta agar kau berpikir dialah yang menyelamatkanmu. Padahal, apa yang Tahta lakukan hanya melakukan pekerjaannya menginvestigasi Meriyati. Menyelamatkanmu adalah bonus semata." ungkap Cemani panjang lebar. Dia lalu mengambil nafas untuk kalimat pamungkasnya. "Tahta sangat suka membuat orang lain sungkan karena berhutang budi padanya."
Pada tahap ini, gamang menutup permukaan hati Yudhis. Apa yang Cemani katakan menyentil persepsinya tentang musuh yang ia hadapi. Yudhis tak benar-benar berpikir mengenai lawan. Satu-satunya hal yang Yudhis inginkan adalah kembali ke Dunia Makhluk Hidup. Impian yang egois, impian yang sederhana tanpa memperkeruh keadaan.
Itu sebab Yudhis tak mempermasalahkan siapa -Pak Wakra, teman sekantornya- yang tega-teganya mengirim Yudhis ke Akhirat. Itu mengapa Yudhis tak mau ambil pusing dengan balas dendam kepada siapapun yang menghancurkan kehidupannya. Itu karena tak terbersit barang seujung jarum pentol sekalipun untuk balas dendam kepada yang membuatnya jadi begini. Konsep balas dendap tak ada dalam kamus Yudhistira. Kepolosannya nyaris membuat Tuhan iba, andai Tuhan benar-benar ada.
Yudhis masih termangu. Pikirannya burtaburan. Seperti pondasi rumah yang hancur, serupa tanah yang runtuh, seakan hal fundamental yang membentuk Yudhis goyah disentak ucapan Cemani. Bagian hatinya mulai tergerogoti hitam yang kelam. Hitam seperti Ayam Cemani dari Neraka Anthirin.
Mata Yudhis berkaca-kaca sambil memandangi Cemani. Matanya memancarkan perasaan terkhianati yang pedih menyayat hati. Pura-pura tak kuasa melihat kepedihan yang dialami Yudhis, Cemani lalu memeluknya erat. Saat Yudhis berada dalam dekapan, Cemani membisikan kalimat terakhir. Kalimat terakhir yang selalu Cemani ucapkan berbisik baik kepada Yudhis maupun Meriyati dulu-dulu.
"Sadarlah, Yudhistira, bahwa Tahta adalah musuhmu yang menyaru dalam selimut."
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro