Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Hari-Hari Neraka Padma

Kalau dapat, Yudhis ingin mengakhiri ceritanya sampai di sini. Sampai pada pertemuannya dengan Jesvari, sampai pada kehangatan momen kebersamaannya, sampai pada saat kehidupannya di Neraka sedikit membaik. Namun apa daya, Yudhis bukanlah Tuhan yang bisa begitu saja memulai ataupun menghakhiri suatu hal. Dengan enggan, dijalaninya masa-masa terbahagianya saat ini yang membuatnya sedikit takut karena apa yang akan ada di masa depan tak mungkin bisa sebahagia seperti ini.

Subuh sebentar lagi terbit. Yudhis lalu merangkak mengendap-endap di di bawah semak koral. Semalam, setelah mereka bertiga pesta arak yang hanya sebotol kecil itu, tiba-tiba Yudhis terpikirkan sebuah ide yang dapat menyelamatkan mereka bertiga setidaknya untuk semalam. Di Neraka Padma tempat dosa rakus mendapat hukuman, Yudhis menyarankan agar malam ketika para lebah menyerang pendosa mereka justru bersembunyi di koral saral para lebah. Biasanya, logis membuat manusia berlari tunggang langgang menghindari lebah yang mengejar. Namun kali ini, saat lebah mencari makanan dari minuman manis di perut para pendosa, saat itulah sarangnya kosong. Itu sebabnya, tempat paling aman untuk menghindari lebah adalah sarangnya sendiri.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Yudhis pada Jesvari.

"Aku baik-baik saja, Mas Yudhis." yang menjawab malah Maxim.

"Siapa pula yang tanya keadaanmu, Maxim?" jawab Yudhis merasa sedikit kesal.

Maxim tak membalas perkataan Yudhis. Dia terdiam dengan mulut yang terlihat seperti sedang mengakali sesuatu yang terselip di celah gusinya. Bibirnya monyong memalukan seperti presenter gosip di TV.

"Kamu tak apa-apa, Maxim?"

Maxim masih tak menjawab. Dia mulai memasukkan jari-jemarinya ke dalam rongga mulut. Jesvari pun berkelakuan sama. Keduanya melakukan gerakan kumur-kumur seakan ada sesuatu yang mengganjal di rongga mulut.

Parahnya lagi, Yudhis juga mulai merasa demikian.

Dirasakannya langit-langit mulut terasa gatal. Namun saat lidahnya berusaha menyapu bagian tersebut justru semakin gatal. Terasa geli-geli basah seperti ratusan bulu-bulu sikat gigi yang menusuk setiap jengkal rongga mulut.

Saat Yudhis menjulurkan lidah, dia terperanjat. Lidahnya tidak memerah salmon, namun hitam karena di permukaannya tumbuh rambut sepanjang kurang lebih 1 cm. Terasa geli yang tidak mengenakkan.

"Bleh!" teriak Yudhis berusaha memuntahkan lapisan rambut tersebut.

Sayang sekali usaha Yudhis berbuah percuma. Setiap jengkal pori-pori di lidahnya tumbuh rambut. Dicabut satu tumbuh seribu. Itu sebab ia membiarkannya tumbuh di situ. Ditahannya rasa geli yang membuat meringis. Saat Yudhis tak lagi disibukkan dengan lidahnya, dia mulai memperhatikan Maxim dan Jesvari yang bernasib sama. Lidah mereka juga tumbuh rambut.

"Bagaimana ini?" tanya Maxim dengan lidahnya yang kelu.

Jesvari tak menjawab, dia terlihat yang paling tersiksa di antara mereka bertiga. Sementara Yudhis menjulurkan lidahnya agar tak menggelitik rongga mulut. Dia menjawab pertanyaan Maxim dengan gelengan keras.

"Sepertinya ini karena kita tak digigit lebah neraka. Aku tak begitu tahu sistem yang dimiliki Neraka Padma, tapi kupikir rambut di lidah ini tumbuh sebagai hukuman karena menolak untuk minum air yang tergenang ini."

Maxim dan Jesvari mengangguk kecil pertanda kesetujuannya.

Kemudian mereka bertiga duduk di atas tumpukan koral yang kering. Masing-masing mereka menjulurkan lidah karena tak tahan dengan sensasi menggelitik saat lidahnya dimasukkan ke dalam rongga mulut.

Terik semakin kuat tiap kali matahari naik membumbung tinggi. Yudhis mengipasi tubuhnya yang kepanasan, berusaha sebisa mungkin agar keringatnya tak tumpah. Bukannya apa, tapi lidah yang terjulur membuat cairan di mulut begitu mudah menguap. Membuat mereka haus benar.

Maxim adalah yang pertama mengalah pada gerah. Dia menundukkan kepalanya menjilati genangan susu setinggi pergelangan kaki orang dewasa itu. Lagaknya bak kancil menyeruput air kali. Namun pancaran wajahnya yang meneriakkan perasaan lega terbebas dari gerah itu membuat Yudhis tergoda juga.

"Maaf, Mas Yudhis. Habis gerah banget, sih. Aku tak tahan lagi." rengek Maxim terdengar seperti anak kecil.

Yudhis dan Jesvari saling berpandangan. Seakan menunggu salah satunya mengalah pada gerah. Menghiraukan ego, Jesvari akhirnya bertekuk lutut juga. Dia menundukkan kepala dan mulai menjilati genangan susu di bawah. Lidah berbulunya digunakan untuk mencecap permukaan air agar bisa menyiram tenggorokannya yang mengerontang.

"Bwuahhhhh!!!" teriakkan pertama yang Jesvari ucapkan hari ini adalah teriakan penuh kenikmatan setelah berhasil melepas dahaga. "Segarnya!"

Jesvari memperlihatkan wajah yang sangat terpuaskan. Matanya merem-melek penuh kenikmatan. Dia lalu menundukkan kepala mengambil beberapa tegukan. Setelah tersedak satu dua kali, dia lalu menatap Yudhis dalam-dalam. Tatapannya juga diikuti oleh Maxim.

Yudhis merasa tidak aman. Dia mengambil beberapa langkah mundur, menjauh dari Jesvari dan Maxim yang memberi tatapan menerkam. Tidak secara kiasan, karena saat ini liur mulai menetes dari sela bibir mereka berdua. Mereka terlihat sangat kelaparan.

"Sanshuta, tangan kamu kelihatan enak sekali." ucap Jesvari penuh dengan nafsu.

"He eh, jari-jarinya kecil-kecil pasti enak kalau diemut." timpal Maxim tak kalah bernafsu.

Yudhis mengernyitkan dahi merasa geli.

"Oi oi oi, kalau Jesvari masih mungkin. Tapi kalau Maxim juga menatapku berahi, sudah pasti ada yang tak beres dengan semua ini." ucap Yudhis tak mengurangi kewaspadaannya. Dia lalu bertanya dengan nada penuh kekhawatiran. "Kalian berdua tidak apa-apa?"

Seakan binatang, Jesvari melompat hendak menerkam Yudhis. Refleks membuatnya dapat menghindari terkaman Jesvari. Hanya saja, dia mulai kepayahan jika Jesvari dan Maxim saling beringas memperebutkan Yudhis. Macam singa dan beruang berebut rusa kecil.

Yudhis menahan gigitan Maxim dengan lengan kirinya.

"Raaargh!" teriak Yudhis mengerang kesakitan.

Gigi Maxim yang menguning berlendir menancap kuat menembus tulang lengan. Sangat kuat hingga berapa kalipun Yudhis meninju kepala Maxim, gigitannya tak merenggang. Yudhis lalu menendang selangkangannya tanpa ampun, membuat Maxim mengaduh ngilu. Kali ini Yudhis tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia lari tunggang langgang meninggalkan mereka berdua.

*

Adalah kecipak yang menemani pelarian Yudhis menuju ke barat. Suara air yang ditebas kaki saat berlari membuat riaknya terlempar ke segala arah. Sedikit berbuih karena saat itu air di Neraka Padma sedang berubah menjadi soju.

Belum setengah jam Yudhis berlari menghindari Jesvari dan Maxim, tapi dalam perasaannya dia sudah berlari seharian. Jesvari dan Maxim masih mengejar Yudhis beberapa petak sawah di belakang. Parahnya lagi, semua pendosa di Neraka Padma yang melihat Yudhis berlarian tergiur juga dengan tubuh Yudhis.

Tidak ada yang tidak lezat dari genangan air di Neraka Padma. Para pendosa merasa bersyukur dapat mencicipi kelezatan minuman yang berada di Surga. Hanya saja, selezat apapun minuman yang Neraka Padma tawarkan, tidak ada kudapan yang menemani. Semua terbatas pada minuman. Maka dari itulah saat para pendosa meliat Yudhis yang berotot kering terlihat tak bergelambir penuh dengan air, nafsu makan para pendosa pun bangkit. Mereka membayangkan akan bagaimana lezatnya setiap inci daging milik Yudhis jika disandingkan bersama minuman di Neraka Padma.

Pada sebuah kerumunan koral dengan ujung-ujung yang lancip, Yudhis memanjat ujungnya yang tertinggi. Para pendosa pun berhenti mengejarnya, hanya diam berdiri mengelilingi. Meski otak mereka seperti zombie yang kelaparan, mereka tak cukup bodoh untuk mengusik koral tempat lebah bersarang.

"Sanshuta, ayo turun!" teriak Jesvari yang badannya mulai bergelambir terisi soju.

"Mana mau aku turun hanya untuk dimakan oleh kalian!"

"Tidak apa-apa, Sanshuta. Percayalah, aku hanya akan memakanmu paling hanya seujung jari." jawab Jesvari dengan entengnya. Dia tak merasa aneh dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Atau mungkin dua ruas jari sih kalau sama Maxim."

"Betul, Mas Yudhis!" kini giliran Maxim yang menimpali. "Aku nggak banyak makan, kok. Seruas dua ruas jari sudah cukup. Lagian, mau sebanyak apapun daging yang hilang, Mas Yudhis bakal hidup lagi."

Ucapan Maxim diamini para pendosa lain. Terdengar riuh saat mereka bergumam setuju. Mereka manggut-manggut seakan tahu duduk perosalannya saja.

"Terus kuberikan begitu saja?" teriak Yudhis dari ketinggian.

"Iya, Mas Yudhis." jawab Maxim terkekeh. Dia mulai melantur. "Kita sudah berteman! Ingat soal arak yang semalam kita minum bersama? Itu adalah tanda jika kita bertiga tidak akan terpisahkan selama-lamanya."

Yudhis tertegun mendengar ucapan Maxim yang dengan entengnya menyebut momen berharga semalam. Dia tahu jika semalam adalah saat-saat terbahagianya selama di Neraka, itu sebab saat Maxim menjual momen berharga tersebut dengan sepotong daging sebagai kudapan minuman, Yudhis tak begitu terkejut. Dia sangat paham jika Neraka bukan tempat yang tepat untuk mencari teman apalagi cinta.

Dia lalu menuruni gunungan koral. Setiap langkahnya yang mendekati permukaan, semakin girang mimik wajah para pendosa. Ibarat makanan, Yudhis adalah menu utama setelah penantian yang begitu lama sesudah appetizer. Tanpa sungkan mereka berebut setiap bagian tubuh Yudhis. Dia diperebutkan bak gunungan saat perayaan Sekaten. Jari kakinya dicuil, daging di pinggangnya disobek sedikit, giginya dicabut, telinganya digerigiti, hatinya diremas kering. Siang ini, biar Yudhis yang jadi sajian utamanya.

Bdoom!

Ada suara bedebum dari pria yang mengemut kelingking kaki Yudhis. Mulutnya meledak. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Berusaha mati-matian memuntahkan apa yang ada di mulut, namun seakan sesuatu tertahan.

Bdbobobobomm!

Kali ini suara bedebum terdengar dari para pendosa lain yang memakan bagian tubuh Yudhis. Dia mengarnga kesakitan karena mulutnya meletus. Terlihat giginya yang rontok memperlihatkan bagian gusi yang remuk. Maxim dan Jesvari pun sama payahnya, keduanya terlihat mati-matian memuntahkan bagian tubuh Yudhis, namun sangat sulit seakan tersangkut di liang tenggorokan.

Jesvari menangis tersedu sedan. Air matanya berleleran melintasi pipinya yang tembam. Dia menatap Yudhis yang hanya tinggal belulang dengan tatapan penuh iba seperti anak rusa minta ampun pada singa yang siap menerkam. Posisi berbalik 180 derajat. Yudhis tersenyum penuh kemenangan.

"Itulah yang kalian dapatkan kalau berani melawanku." jawab Yudhis angkuh.

Sebelum Yudhis turun dari gunungan koral, dia memakan biji simalakama. Biji simalakama yang direnggut dari Jesvari ternyata tidak hancur oleh sistem pencernaan. Kemarin saat biji simalakama meledak di perut Yudhis, itu hanya membuatnya mati. Biji simalakama terlempar keluar bersamaan bagian perut yang meletus.

Yudhis menutup matanya pelan, berusaha menikmati melodi dari ratusan ledakan mulut para pendosa Neraka Padma.

"Benar-benar hari yang paling indah."

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro