Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Samudra Sesal

Serbuk Neraka adalah serbuk dari tulang manusia yang ditumbuk halus. Lebih halus dari gula pasir namun lebih kasar dari garam dapur. Biasanya para setan menyaru dengan menaburkan Serbuk Neraka pada apa yang manusia sering sebut dengan serbuk setan.

"Serb... buk Neraka?" ulang Yudhistira dengan mata yang lesu. "Lebih terdengar seperti cocccain."

"Bung! Kau tidak boleh menyebutkan kata-C itu di sini, bung!" ucap petugas kecil yang masih tertawa dengan tingkah laku Yudhistira.

"Lihat!" tunjuk petugas besar pada Yudhistira. "Dia jadi rusak, kan?! Satu butir saja bisa membuat demam panas 7 hari dan kau memberinya..."

"10 butir."

"10 butir?!"

"Maaf..." jawab Odel merasa sungkan. "Habis, kalau tidak begitu bisa-bisa sampai tahun depan dia tidak mau mengakui kematiannya."

"Itu... benar juga." Jawab petugas besar mengelus-elus janggutnya.

"Eh? Jadi boleh nih?"

"Mana boleh!"

Mereka bertiga lalu menggerumuti Yudhis. Dipandangi tiga orang yang tidak dikenalnya membuat muka Yudhis merah malu seperti kepiting rebus.Yudhis yang salah tingkah hanya dapat membuang muka sambil mengipasi wajahnya dengan tangan. "Hufh... panas, ya?"

"Kalau panas langsung ke laut aja, kak." rajuk Odel dengan tatapan berkaca penuh harap.

"Ini juga mau ke sana. Tapi malah dicegah sama petugas pelabuhan. Dikira mau bunuh diri nyemplung ke laut kali."

"Ha ha ha. Kamu memang sudah mati, bung!"

"Sering dibilang begitu, sih."

Petugas yang lebih besar sudah tak tahan menangani versi mabuk Yudhis. Dia membalikkan badan dengan penuh kekesalan. Sambil berjalan memunggungi Odel, dia berkata dengan tegas. "Terserah kalian saja."

Odel yang sedari tadi menahan isak karena takut dengan kemarahan petugas besar tak kuasa membendung tangisan. Air matanya turun satu-satu. Berleleran menelusuri pipinya yang merah merona seperti arum manis. Yudhis menyeka air mata yang bercucuran itu dengan tepian telunjuknya. Dipandanginya Odel tepat di manik mata. Begitu dalam dan teduh cara Yudhis memandang. Odel nyaris terperdaya.

"Sudah... Odel jangan nangis lagi, OK?"

Odel mengangguk keras sebanyak dua kali. Dia lalu menggenggam erat tangan Yudhis dengan kedua tangannya. Odel tak lebih tinggi dari Yudhis, sehingga ketika mata mereka saling bertemu Odel menengadahkan kepalanya. Dengan pose yang manis seperti itu, Odel berkata. "Selamat jalan, Yudhis. Lupakan semua tentangku, ya?"

Maka, dengan begitu Odel pergi setelah mengucapkan perpisahannya dengan Yudhis.

"Yang tadi itu... memang perlu, ya?"

"Tentu saja, bung! Maksudku, setelah melewati Samudra Sesal ini tak mungkin lagi kalian berdua bertemu sampai kematianmu selanjutnya."

"Aku... memang sudah mati, ya?"

"Kau memang sudah mati, bung."

Petugas kecil lalu mengantarnya ke tepian Samudra Sesal. Gelombang pasang air laut menyelinap ke dalam sepatu kets hijau yang ia kenakan. Dinginnya air sangat terasa terutama pada bagian ujung jari kaki. Yudhis menatap lurus ke cakrawala. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan air di mana-mana. Pelabuhan pagi hari belum menampakkan sinar matahari, sehingga dalam penglihatan Yudhis hanya ada biru yang gelap. Biru yang kelu. Biru yang begitu mendayu.

"Kematian itu... apa selalu sesendu ini?"

Petugas kecil hanya tersenyum kecil mendengar ceracau Yudhis. Dia menepuk punggung Yudhis dengan pelan. Kemudian dia beretorika, "Kau tah kenapa ini disebut dengan Samudra Sesal?"

Yudhis mengedikkan bahunya.

"Begini, di Samudra Sesal kau bisa membuang apapun. Samudra akan selalu menerima apapun yang dibuang ke dalamnya. Keluh kesah, kebencian, hal-hal memalukan di masa lalu, semuanya. Kau tak perlu sungkan. Sudah menjadi wajar jika Samudra bertingkah seperti itu."

"Aku boleh membuang apapun di sini?"

"Ya... Meski, kau tahu, hanya orang yang sudah matilah yang bisa ke Samudra Sesal ini."

"Harusnya kubawa Pak Wakra sampai ke sini."

"Pak Wakra?"

"Iya. Kau tahu? Dia senior di tempatku bekerja. Beberapa hari ini dia sering bikin gara-gara denganku. Sering melimpahkan pekerjaan dan datang selalu telat. Kalau bukan karena dia saudaranya founder mungkin sudah kutusuk pantatnya dengan sumpit."

"Ah, aku tahu rasanya, bung!" timpal petugas kecil sepaham.

"Ditusuk dengan sumpit?"

"Bukan!" tukas petugas kecil segera. "Aku juga terjebak dengan paman-paman tadi. Seringkali dimarahi padahal masih junior. Sepertinya tidak di Dunia Makhluk Hidup maupun Dunia Akhirat semua pekerjaan punya masalahnya masing-masing, ya?"

"Tuhan sekalipun punya masalahnya sendiri. Apalagi manusia seperti kita."

"Hmm, sebenarnya aku ini malaikat."

"Eh, kamu malaikat?"

"Begitulah."

"Ja... jangan-jangan?"

"Tepat sekali! Aku adalah malaikat pencabut nyawa, bung!" jawab petugas kecil sebelum Yudhis selesai dengan spekulasinya.

"Ah... kupikir malaikat pencabut nyawa seperti Ryuk dari Deathnote atau Kurosaki Ichigo dari Bleach. Tapi ternyata hanyalah abang-abang petugas pelabuhan dengan aksen bandung yang ngawur. Realita kadang lebih membosankan dari cerita rekaan novel, ya?"

Kesal karena dibandingkan dengan karakter fiksi, petugas kecil menendang pantat Yudhis hingga jatuh terjerembab di atas air. Badannya basah terkena air bercampur pasir. Cipratan air laut yang tak sengaja tercecap indra perasanya secara mengejutkan terasa manis dan sepat, seperti salak belum matang. Saat dia hendak berdiri dan kembali ke daratan, petugas kecil membuat gestur seperti mengusir kucing dari dapur.

"Pergi ke laut sana!"

"Oi oi oi, dari awal aku memang berencana ke laut. Kau tak perlu membuatnya terkesan seperti sedang mengusirku."

"Aku memang sedang mengusirmu, bung!"

"Baiklah kalau begitu." ucap Yudhis sambil berlalu meninggalkan petugas kecil di tepian pantai.

"Yudhisitira Sanshuta!" Petugas kecil meneriakkan nama lengkapnya, kemudian dia berteriak lebih keras. "Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya!"

"Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya." dijawab Yudhis dengan lirih.

Maka, Yudhis kembali melanjutkan perjalanannya menapaki permukaan Samudra Sesal. Dia berjalan mengambang di permukaan seperti daun yang baru saja rontok dari cabangnya. Yudhis memeluk tubuhnya erat. Tatapannya tertunduk seberapa jauh kakinya melangkah. Pertemuannya dengan Seruni beberapa waktu lalu membuatnya berpikir bahwa hal paling sulit dalam kehidupan adalah memulai sesuatu. Namun, semakin jauh dia menapaki permukaan laut semakin dia tersadar bahwa semua itu salah. Merelakan pergi selalu lebih sulit.

Dengan hati yang masih bimbang, Yudhistira melangkah lebih jauh. Setiap langkah yang ia tambahkan untuk menjauh dari tepian pantai terasa semakin berat. Jauh dari daratan membuatnya seperti sedang melepas semua ikatan dengan apapun selama masa hidupnya. Pekerjaannya, cintanya, keluarganya, juga kenangan-kenangan yang seringkali tiba-tiba muncul sesaat sebelum tidur. Yudhis tidak rela jika harus kehilangan semua itu. Dia belum ingin mati.

Maka, sampailah dia di tengah samudra tempat kaki berhenti melangkah.

Yudhis berdiri diam terpaku di tengah luasnya permukaan Samudra Sesal. Melirik ke kiri dan ke kanan, dia dapat melihat manusia lain yang bernasib sama. Wajah mereka terlihat begitu damai seperti mendapat pencerahan dari Tuhan. Sementara itu, manusia lain yang masih melangkah di belakangnya terlihat bermuka masam. Ada yang menutup matanya seperti menolak kenyataan, ada yang bermuram-durja kesepian, namun kebanyakan ialah yang sesenggukan tanpa keluar air mata.

Yudhis menengadahkan kepalanya ke langit fajar di Samudra Sesal. Pada langit biru yang keperakkan seperti disepuh tinta timah. Dihadapkan pada lapangnya samudra yang membentang membuatnya merasa kecil. Dia menitikkan sedikit air mata. Beban hidupnya sudah terangkat. Ikatannya dengan dunia sudah terputus. Itu adalah momen yang tidak akan ia lupakan dalam hidupnya, meski banyak yang berkata dia tak lagi hidup.

"Selamat tinggal kehidupan. Senang bisa mengenalmu meski hanya sebentar."

Dan dengan begitu Yudhistira tenggelam ke Samudra Sesal. Menuju dalamnya samudra yang menerima sehina apapun manusia. Yudhis hanya dapat melihat ke atas. Pada semburat perak yang menerobos dari permukaan. Dengan perlahan, tubuh Yudhis menanggalkan semua yang melekat di badannya. Berakhir dengan telanjang seperti pertama kali mengenal kehidupan.

*

"Boeehhhhkkkk."

Baru saja naik ke permukaan setelah sekian lama tertidur di dasar samudra, Yudhis berharap dia bisa muncul dengan pose keren yang dapat menaklukan hari para gadis. Dia malah justru mengeluarkan suara aneh seperti kodok yang belum sempat belajar berenang dilemparkan ke kolam buaya.

Saat kesadarannya mulai terkumpul, hal pertama yang dilakukannya adalah memperhatikan sekitar. Dia duduk bersimpuh di kolam berair cetek berbentuk lingkaran yang berada di tengah ruangan besar. Di depannya ada sebuah meja marmer besar berwarna hijau muda dengan seorang pria tua tambun duduk di baliknya. Di belakangnya, meski ada delapan kursi hanya empat saja yang terisi. Terdapat sebuah bendera dengan berbagai bentuk mandala yang berbeda di belakang masing-masing kedelapan kursi tersebut.

Yudhis melemparkan pandangannya ke sisi kanan dan sisi kiri. Sisi kanan berisi orang-orang berpakaian rapi. Wanitanya mengenakan kebaya berwarna pastel dengan sanggul tertata apik. Perhiasan dari batu-batu permata yang terlihat mewah namun berkelas terpasang di berbagai bagian. Prianya memakai setelan jas keraton yang sesuai dengan bentuk tubuh masing-masing. Rantai emas dengan ornamen-ornamen yang menyilang dari saku ke salah satu kancingnya terasa luwes. Yudhis selalu berpikir pakaian pengantinnya kelak akan seperti mereka. Dia lalu melemparkan pandangannya ke sisi lain, sisi bagian kiri. Yudhis nyaris mengeluarkan lidahnya sebagai tanda penghinaan pada orang-orang di deretan bagian kiri. Wanitanya memakai kebaya gelap yang terlalu mengekspos lekuk tubuh. Tatapannya seperti emak-emak kurang ajar di jalanan. Prianya memakai jas yang berantakan. Ada yang tidak dikancingkan, ada yang seperti terkena robekan, bahkan ada yang bertelanjang dada. Sangat nakal.

"Yudhistira Sanshuta." ucap si pria tambun.

"Ya. Itu aku. And you are?"

"Namaku Jalaran Manepis. Hari ini aku akan menjadi hakim dalam persidangan Benih Kebajikan untuk menentukkan kamu akan berakhir di Surga atau Neraka."

"Tu... tunggu. Maksudmu Surga dan Neraka yang itu?"

"Benar. Surga dan Neraka yang itu."

Yudhis memegang dadanya. Sangat terasa detak jantung yang dag-dig-dug. Saat tangannya menyentuh dada, saat itulah dia sadar jika sedang bertelanjang. Dia benar-benar lupa jika Samudra Sesal mengubah pakaiannya menjadi buih di lautan. Yudhis berniat menutupi Yudhistira-kecil miliknya demi mengetahui jika bagian bawah pusar hingga atas lututnya tertutup oleh jarit. Jarit itu memiliki warna gradasi antara merah-magenta-cyan blue dengan motif batik parang. Yudhis merutukinya dirinya yang masih sempat-sempatnya memperhatikan detail jarit yang ia kenakan.

Hakim Jalaran terlihat sibuk membolak-balik bundel kertas yang cukup tebal. Yudhis dapat mengira itu adalah semacam catatan amal baik dan buruknya selama kehidupan. Dia hanya dapat berdoa agar Jalaran melewati perkara saat dia sengaja menaruh remukan Dulcolax di es teh milik Pak Wakra beberapa hari lalu.

Pada suatu halaman saat Jalaran membolak-balikkan kertas, dia mengernyitkan dahi.

Ah, ketahuan ya?

Jalaran menatap Yudhis tepat di manik mata. Dengan tatapan yang begitu mengintimidasi dia berkata, "Kamu menikahi bangsa setan?"

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro