Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Lautan Rakus

Pertama kali Yudhis menginjakan kaki di tanah Neraka Padma, yang ia rasakan adalah aroma manis gula-gula yang menggugah selera. Ada jutaan aroma manis yang tiba-tiba membuat Yudhis kelaparan, seperti orang yang berhari-hari tak sempat makan. Itu adalah aroma manis yang begitu menyengat hingga Yudhis tak merasa heran jika Jesvari juga merasakan demikian. Saat diliriknya Jesvari, dia masih berpura-pura mengabaikan aroma manis nan menggoda itu dengan cara mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke depan hidung. Sekan itu aroma busuk yang menyengat saja.

Tak begitu peduli dengan drama yang Jesvari pertontonkan, Yudhis beranjak pergi dari tempat pertama ia sampai di Neraka Padma. Dia berjalan menelusuri tempat dimana dia akan menjalani hukuman selanjutnya. Ini terdengar sedikit aneh, tapi sebenarnya Yudhis sedikit penasaran juga dengan hukuman macam apa yang akan ia terima dari Neraka beraroma semanis ini.

Yudhis menyeret kakinya mengelilingi Neraka Padma selain karena penasaran, juga mencari di mana gerangan Maxim berada. Di Neraka Padma tempat dosa rakus menjalani hukuman, tipografinya tak jauh beda dengan Neraka Krisan, Neraka Menik, maupun Neraka Larat yang terakhir ia datangi. Neraka Padma pada dasarnya tanah membentang dengan coral-coral warna-warni yang seakan muncul dari permukaan tanah. Kontras warnanya yang bergradasi merah, kuning, biru, dan sesekali jingga sangat sedap dipandang mata. Dari sekian Neraka yang sudah Yudhis lewati, Neraka Padma memiliki penataan tempat yang paling indah.

Yudhis masih menyeret kakinya kalau saja ada hal menarik lainnya yang bisa ia temukan. Saat itu, tiba-tiba sebuah cairan menggenangi permukaan tanah berwarna merah darah. Air itu berwarna bening seperti kebanyakan air, namun entah kenapa Yudhis merasakan hal yang lain. Mungkin itu karena indra penciumannya yang lebih baik dari orang kebanyakan sehingga dalam sekali kejap, Yudhis bisa tahu jika air yang menggenanginya bukan air tawar biasa.

Menjongkokkan badan, Yudhis menciduk air tersebut segengaman tangan. Setelahnya dikeluarkan lidahnya untuk mencicipinya barang sececap. Dia mencecapnya seperti cara kucing meminum air dari piring.

"Ini air kelapa." ujar Yudhis kepada dirinya lagi.

Dengan tipografi Neraka Padma yang mebentang tanpa awan yang menutup permukaan, sudah jadi hal yang wajah jika dia mengalami kehausan. Yudhis tahu itu semacam jebakan yang akan menuntunnya pada kejadian-kejadian tak mengenakkan berstandar Neraka. Namun godaan segarnya air kelapa di siang hari, mana tahan?

Tanpa banyak pertengkaran batin, Yudhis lalu duduk berjongkok. Mengeluarkan lidahnya seperti sapi minum dari pinggiran sungai. Seseruput dua ruput, tanpa sadar Yudhis berada dalam tegukannya yang ke sebelas. Air kelapa ini sangat lezat. Segar dan melepas dahaga. Dia jadi teringat dengan perkataan Meriyati yang menyebutkan jika Neraka Padma adalah Neraka di mana minumannya selezat surga.

Meriyati tak salah.

"Coba kalau ini rootbeer." Ujar Yudhis mengeluh pada keadaaan.

Lalu dalam sekejap tegukan Yudhis menelan lidah, air kelapanya berubah menjadi cairan berwarna kuning being dengan busa yang berbuih. Saat aromanya mulai menguap, itu adalah aroma yang sangat familiar di hidung Yudhis. Itu adalah aroma rootbeer dengan sensasi buah sarsaparila yang mengenakan.

Bagian kecil hati Yudhis berteriak kegirangan dengan semua hal yang ia dapatkan hari itu.

Pertama air kelapa yang menyegarkan, lalu rootber favoritnya, lalu susu murni rendah lemak, lalu jus alpokat, madu, lalu beragam minuman yang muncul berubah-ubah dari genangan air setinggi mata kaki di bawahnya. Yudhis tak dapat mengingat apapun. Namun yang pasti adalah saat senja mulai menjelang, Yudhis tak lagi kuasa bergerak. Percuma dengan semua otot kering nan rupawan yang Yudhis dapatkan selama di Neraka Larat, karena saat ini Yudhis terbaring tak berdaya dengan perut yang membesar seperti ibu bunting tua.

Yudhis lalu tiduran di atas permukaan tanah Neraka Padma tempat air tergenang hingga selubang telinganya. Yudhis jadi sedikit geli saat air masuk-keluar dari lubang telinganya. Dia tertawa terkikik sambil memandai langit Neraka Padma yang mulai gelap. Hanya menyisakan semburat jingga yang tak seberapa.

Ada perasaan damai yang membuat Yudhis ingin berlama-lama tinggal di Neraka Padma.

Perasaan itu tiba-tiba begitu saja hilang dari benak saat tiba-tiba Yudhis mendengar dengung yang begitu keras dari dekat telinganya. Yudhis jadi merasa risih dengan dengung tersebut lalu berusaha mengibaskan tangannya namun tak berhasil. Bukan tak berhasil menghalau para serangga, melainkan tak berhasil menggerakkan tangannya. Tangannya terlalu gendut dengan berbagai macam cairan yang mengisi dagingnya.

Dengungan itu semakin membuat Yudhis merasa tak nyaman.

Awalnya hanya sedikit dengung seperti dua atau tiga lebah berada di sekitar. Namun, ketika malam semakin tergelincir lebih dalam, dengungan yang muncul bukan lagi satu atau melainkan ratusan. Suasana memang sangat gelap, namun Yudhis dapat melihat bayangan-bayangan hitam yang mengigit semua bagian tubuh Yudhis yang terekspos. Para lebah sialan itu membuat lubang di perut Yudhis, lalu belasan lebah lainnya masuk ke dalamnya untuk mencuri madu dan cairan manis lainnya dari perut Yudhis.

Tentu saja Yudhis menjerit. Dan bukan hanya dia saja yang menjerit. Malam itu, di tengah kegelapan Neraka Padma yang hitam tanpa cahaya rembulan, Yudhis dapat dengan jelas mendengar jeritan tangis dari para pendosa Neraka Padma saat para lebah merasuk ke dalam tubuh mereka. Menggerogoti semua yang ada dari balik kulitnya.

Pun dengan Yudhis, dia berteriak sekuat tenaga sembari tubuh bergelinjang berusaha membuat para lebah tak nyaman. Usahanya malah membuat para lebah jadi marah. Mereka menyengat Yudhis tanpa ampun. Membuat badannya semakin bengkak dari yang memang sudah bengkak karena terlalu banyak meminum berbagai macam minuman yang terlalu lezat untuk dilewatkan.

Yudhis merasa geli yang ngilu setiap para tawon menggerayangi bagian dalam dagingnya. Perih tak tertahan namun tak bisa banyak berbuat karena jumlahnya yang ratusan menggerogoti semua yang ada di balik kulit Yudhis. Malam itu adalah malam yang tak akan Yudhis lupakan dari 6 malam yang akan datang selama Yudhis berada di Neraka Padma.

*

Pagi benar-benar menjadi semangat baru bagi Yudhis. Karena saat pagi, para lebah biadab itu kembali ke sarangnya yang terkamuflase karang dan koral di seantero Neraka Padma. Pagi itu saat matahari mulai menyinari permukaan tanah Neraka Padma, Yudhis dapat melihat sisa-sisa pertarungannya semalam. Tubuhnya yang semula kekar dengan otot-otot kering menggoda iman para wanita, kini beralih menjadi tubuh gempal dengan kulit yang melosoh karena terlalu cepat menjadi gendut. Belum soal lubang-lubang di sekujur tubuh yang membuat penampilannya sangat mengerikan.

Belajar dari pengalaman, kini dia tak lagi terpikat dengan apapun yang cairan itu tawarkan di genangan kelezatan setinggi mata kaki orang dewasa.

Untuk menyibukkan dirinya, Yudhis berkeliling mencari Maxim. Yudhis hanya melihatnya tak begitu lama saat berada di Neraka Krisan. Biarpun begitu, rambut merah dan wajahnya yang seperti orang asing tentu jadi spesifikasi yang tak akan begitu sulit untuk dicari.

Begitu yang Yudhis pikirkan sebelum 4 jam mengitari Neraka Padma tanpa dapat bertemu dengan seseorang yang memiliki ciri-ciri yang mirip. Mengitari Neraka Padma tanpa tujuan yang jelas membuatnya jadi haus. Rasa haus mencekik yang tak terkira selain karena berjalan ke sana ke mari, juga karena sinar matahari di Neraka Padma yang kelewat bikin gerah.

Yudhis menyerah juga pada sececap madu yang menggenang di bawah. Saat cecapnya nyaris menjadi dua, Yudhis sadar diri lalu menahan diri. Dia kembali berputar-putar mengitari Neraka Padma untuk mencari Maxim.

Pada sebuah koral setinggi 2 m yang berisikan berbagai macam tanaman yang sering ia lihat di film dokumenter laut, Yudhis mendapati seseorang terbatuk-batuk berusaha mengeluarkan sesuatu dari tenggorokannya. Orang yang terbatuk-batuk adalah Jesvari, sementara satu orang di sampingnya yang berusaha membantu mengeluarkan apapun yang menyangkut di leher Jesvari adalah Maxim.

Dunia tak lebih lebar dari jidat Indra Bekti.

Yudhis lalu menghampiri salah satu dari keduanya. Dia mengahmpiri Maxim yang terlihat masih bisa berkomunikasi. Dibandingkan Jesvari yang wajahnya membiru penuh rasa sakit.

"Hei, Maxim." sapa Yudhis berusaha tenang,

"Eh, kamu. Ehhh, Yudhistira itu, kan?" ujar Maxim mengira-ngira.

"Ya!" jawab Yudhis mantap. "Sedang apa?"

"Ini, Mas Yudhis. Teman saya nggak sengaja makan Biji Simalakama jadi tersedak." ucap Maxim menerangkan keadaan dengan sangat payah.

"Kenapa tak kau bunuh saja, Maxim? Setidaknya itu akan mengurangi penderitaannya." ujar Yudhis berusaha memberikan solusi.

"Nah itu dia, Mas Yudhis. Masalahnya teman saya ini tidak mau dibunuh, Mas. Mau enggak mau ya harus muntahin itu biji." jawab Maxim yang mulai frustasi.

"Lha memang sesulit itu ngeluarin Biji Simalakama?" tanya Yudhis tak punya banyak klu.

"Sesulit itu, Mas Yudhis. Denger-denger, sekalinya biji Simalakama masuk ke dalam mulut seseorang, maka sampai mati biji tersebut tidak akan bisa dikeluarkan." Maxim menjelaskannya dengan menggebu-gebu seakan dialah master dalam bidang perbijian ini.

Yudhis menghela napas panjang. Dia lalu mendekati Jesvari yang mukanya sudah setengah mati. Dengan sebelah tangan, dimonyongkannya bibir Jesvari lalu dengan sekap hap, Yudhis memagutkan bibirnya di atas bibir Jesvari. Dengan perlahan, Yudhis menggerakkan lidahnya mencari biji yang terselip di rongga mulut Jesvari. Setidaknya itu yang bisa Yudhis lakukan: berdoa jika biji simalakama masih berada di rongga mulut dan belum tertelan saluran pencernaan.

Lidah Yudhis semakin lihai menggerayangi rongga mulut Jesvari. Menyelinap di atara daging sisi bagian dalam pipi, menelisik deretan gigi, dan sesekali lidah mereka saling berpagut satu sama lain. Saat Yudhis berusaha mengarahkan lidahnya ke langit-langit mulut, dia dapat merasakan bulatan kecil yang menempel di sana. Yudhis menjilati biji tersebut dengan ujung lidahnya agar dapat terjatuh dari langit-langit mulut. Dan begitu terjatuh, lidahnya langsung menyapu Biji Simalakama ke dalam mulutnya.

Yudhis melepaskan ciumannya. Dia lalu menelan Biji Simalakama ke dalam perutnya. Ada sensasi terbakar luar biasa yang membuatnya sempat menyesal karena sudah membantu Jesvari. Setelah itu, dia menjauh dari Maxim dan Jesvari untuk bunuh diri agar tak terus menerus merasakan ledakan di perutnya itu.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro