23. Asa yang Pudar
Ada semilir angin yang mengalir dari kipasan kedua setan di belakang Cemani. Hawanya yang dingin membuat terik ribuan matahari di langit Neraka Menik tak cukup berarti. Yudhis senang, meski punggungnya terasa risih karena ditempati Cemani, sejuknya angin yang berembus sudah cukup sebagai kompensasi.
"Kamu tidak cocok jadi protagonis cerita, Yudhistira."
"Tentu saja aku pantas, Cemani. Malah, hanya akulah yang paling pantas menjadi protagonis cerita seantero akhirat ini. Maksudku, seberapa sering sih kau bisa bertemu manusia yang karena berbagai kejadian akhirnya terseret ke akhirat? Jarang sekali, bukan?!" jelas Yudhis bersemangat.
"Enak sekali, ya? Karena takdir hidupmu yang malang, kamu bisa jadi protagonis cerita?"
"Bukan begitu, Cemani. Itu hanyalah analogi. Kalau boleh memilih, aku lebih mending menjadi orang biasa yang mati karena usia tanpa harus mengalami dilematika orang hidup yang tersasar di Neraka." jawab Yudhis panjang lebar. Dia lalu berkata, "Lagipula, mana ada yang mau berakhir menjadi korban?"
"Korban?"
"Iya, korban. Begini, Cemani. Aku punya teori tentang bagaimana aku bisa sampai tersasar di Neraka." jawab Yudhis tanpa jeda. Setelah mengambil napas panjang, dia lalu melanjutkan. "Sebenarnya aku membuat kesepakatan dengan Meriyati selama di Neraka Krisan. Aku sudah menyebutnya tadi, bukan? Kesepakatan itu berupa satu pertanyaan yang bisa kuajukan kepada Meriyati setiap satu krisan raksasa yang kuberikan padanya. Jadi, menurut Meriyati tidak mungkin ada arwah manusia yang bisa sampai di Akhirat kecuali dipakai sebagai persembahan untuk tumbal. Kupikir ada seseorang yang sengaja menikahkanku dengan Seruni sebagai tumbal."
"Jadi kesimpulannya ada yang membencimu sampai ingin mengirimmu ke Neraka, begitu?"
"Iya, begitu. Tapi... kenapa kau membuatnya seakan ini salahku? Di sini akulah yang menjadi korban, kau tahu?" jawab Yudhis mengelak.
"Eh, Yudhistira. Dari mana kamu bisa menyimpulkan jika dirimu adalah korban? Lagipula, memang sedari awal kamu tahu definisi korban? Jangan begitu saja memproklamasikan diri sebagai korba. Nanti korban yang betulan bisa marah."
"Aku ini korban, tahu." tukas Yudhis tak mau kalah, seperti anak kecil saja. "Aku jadi korban tumbal seseorang sehingga berakhir menderita di Neraka."
"Enak ya, jadi si korban itu."
"Oi oi oi, Cemani. Kau itu sedang melindur karena mabok serbuk neraka atau bagaimana? Dilihat dari manapun, tak ada hal yang baik muncul dari status 'korban'. Tak ada yang mau jadi korban, jadi pihak yang tertindas dan dilecehkan."
"Bukannya jadi si korban itu menyenangkan, ya? Mendapatkan semua simpati sekaligus dibela mati-matian. Meski ada juga kasus dimana orang-orang membenci si korban, namun pada dasarnya mereka berpikir jika si korban juga adalah si tersangka. Seperti dalam kasus pemerkosaan, misalnya. Biasanya orang tidak bisa menaruh simpati pada si korban karena mereka berpikir dia juga si tersangka dengan memakai pakaian yang menantang berahi.Terlepas dari itu semua, jadi si korban adalah sebuah kenikmatan, Yudhistira. Jadi kamu tidak bisa memproklamasikannya secara sepihak."terang Cemani panjang lebar.
Perkataan Cemani ada benarnya juga, ujar Yudhis membatin.
Yudhis jadi teringat saat pertemuannya dengan Jesvari kali pertama. Saat itu, Yudhis yang tak kuasa melihat tubuh ringkih Jesvari berakhir menyelematkannya tanpa diminta. Meski Yudhis berterima kasih juga karena dengan begitu dia dapat berkenalan dengan Jesvari, pada dasarnya apa yang mendasari perbuatannya hanyalah murni karena rasa kasihan. Ada perasaan iba yang tiba-tiba muncul di benaknya. Rasa yang membuatnya ingin melindungi Jesvari dari hal-hal buruk di sekitarnya.
Iba adalah materi yang mengerikan. Karena rasa iba yang dimiliki manusia, mereka akan begitu saja membantu yang lemah, tanpa belum tentu memperhatikan latar belakangnya. Semua hanya didasarkan pada perasaan. Pada sebuah perasaan bernama iba. Iba membagi hal menjadi dua: korban yang penuh kemalangan dan tersangka yang jadi penyebabnya. Kucing liar penuh koreng, bayi yang dibuang di tempat sampah, ibu hamil yang duduk bersampingan dengan perokok saat berada di dalam metromini, mereka semua adalah korban. Korban yang berhak untuk diselematkan. Itulah yang menjadi penyebab seringkali muncul orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai korban. Karena bagaimanapun, korban tak pernah salah.
"Jadi, kamu yakin kalau dirimu adalah korban?" pertanyaan Cemani mempresentasikan apa yang sedang bergolak dalam pikirannya.
"Aku..." ucapan Yudhis tercekat di tenggorokan. Dia jadi gamang. "... aku adalah korban. Tapi di saat yang bersamaan aku juga tersangka. Memang benar semua rentetan kesialan yang kualami akhir-akhir ini tak pelak menjadikanku terlihat seperti korban. Hanya saja jika ditelusuri dari awal, sebenarnya aku adalah tersangka. Aku adalah tersangka yang melakukan suatu hal hingga membuat seseorang tega menjadikanku tumbal."
"Kamu yakin dengan ucapanmu, Yudhistira?"
"Aku yakin." dijawab Yudhis dengan ekpresi yang justru bekebalikan. "Itu semua karena aku terlalu naif. Naif adalah sifat yang tidak terpuji, aku tahu itu. Karena naif, orang jadi cenderung melakukan tindakan-tindakan buruk kepadanya. Ini seperti apa yang sering diberitakan koran bahwa biasanya 'korban' pemerkosaan adalah mereka yang pendiam, sedikit teman, dan yang kurang mengenal dunia. Mereka semua naif. Itu sebabnya mereka diperkosa. Kenaifanlah yang menjadi tersangka. Sehingga meskipun mereka menjadi korban pemerkosaan, masyarakat tak bisa menaruh simpati. Itu karena mereka bukan korban, melainkan tersangka. Jadilah mereka menyalahkan kenaifan yang membuat mereka diperkosa."
Cemani tak menanggapi pernyataan Yudhis, dia membiarkannya bicara panjang lebar.
"Akupun tak jauh beda dari mereka, Cemani. Kenaifanku membuat seseorang tak ragu untuk menjadikanku tumbal. Andai aku tak senaif itu, kuyakin kejadiannya tak akan berakhir jadi seperti ini." pungkas Yudhis mengakhiri penjelasannya.
"Kalau sudah begitu lalu bagaimana?"
"Aku ingin meminta maaf pada semua korban di alam semesta. Aku bukan korban, justru tersangka yang hanya berkelakuan bak korban. Oleh karena itu, aku tak lagi membutuhkan belas kasihan atau pertolongan dari Meriyati, Tahta, atau siapapun. Mulai sekarang aku akan berusaha dengan usaha sendiri." jawab Yudhis mantap, seperti caleg berkoar-koar menebar janji pilkada.
"Responsnya positif juga, ya?"
"Aku dipanggil putih oleh Meriyati bukan tanpa alasan." dijawab Yudhis dengan bangga.
Cemani terkikik mendengar jawaban yang keluar dari mulut Yudhis. Dia senang Yudhis berkelakuan sesuai seperti apa yang ia perkirakan. Dengan senyum yang masih menggelayut di wajah mungilnya, Cemani berkata. "Kalau begitu apa yang bisa kamu lakukan untuk kembali hidup dengan usaha sendiri?"
Yudhis memejamkan mata dengan pipi kiri yang masih menempel di bebatuan jingga. Berusaha memikirkan langkah-langkah yang akan ia lakukan untuk kembali hidup, dengan catatan minim melibatkan orang lain. Ada beberapa ide yang muncul di benaknya.
"Oh, ya. Mereka setan dari Neraka?" ucap Yudhis seakan mengalihkan pembicaraan.
Saat ini tubuh Yudhis sudah lengkap seutuhnya. Kepala, pundak, lutut, kaki, semuanya ada. Jarit baru pemberian setan dari Panggenan Neraka Krisan sudah terlihat usang, melilit pinggang sampai ke lutut untuk menutup bagian yang diperlukan. Yudhis sedikit tenang, karena saat ini Amok sedang menjadi juri di Sidang Benih Kabajikan sehingga setidaknya dua jam lagi mereka tak akan saling besitatap.
Dia lalu beranjak dari posisinya berbaring, lalu duduk berselonjor meregangkan persendian. Cemani yang sedari tadi menduduki mayat Yudhis kini beralih ke atas kepalanya. Duduk bertengger di atas kepala Yudhis seperti ayam tak tahu adat. Cemani sangat ringan sehingga Yudhis tak begitu terbebani saat kepala dipakai sebagai tenggeran ayam.
"Begitulah." dijawab Cemani sedikit cemberut karena punggung Yudhis lebih nyaman sebagai pijakan ketimbang kepalanya yang kecil berambut tebal yang menusuk-nusuk telapak kaki Cemani.
"Cemani, apakah ada cara untuk menyelinap ke Panggenan masing-masing Neraka?"
"Untuk apa? Kamu yang sekarang ini harusnya lebih khawatir dengan kondisimu yang akan bertemu Amok beberapa jam lagi."
"Oi oi oi, Cemani. Bisakah kau jangan menyebut nama itu lagi? Memang benar aku akan bertemu dengannya beberapa saat lagi, tapi tolong biarkan aku menikmati sedikit kenikmatan yang sebentar ini." jawab Yudhis berkeluh kesah.
Cemani hanya tertawa cekikikan. Dia terlihat sangat menikmati saat Yudhis mengeluarkan beragam ekspresi saat digoda olehnya. Dia lalu duduk bersedeku, merapatkan kedua pahanya, lalu mata menatap ke bawah ke arah Yudhis berada. Dia lalu berkata. "Memang kamu mau apa kalau tahu cara menyelinap ke Panggenan?"
"Mungkin saja Seruni tinggal di Panggenan Neraka Menik."
"Dan kalau tidak?"
"Setidaknya cukup berharga untuk dicoba."
"Dan kalau gagal?"
"Maka aku akan mati dengan senyum bahagia."
"Ha ha ha." tawa Cemani terbahak-bahak tak merasa sungkan dengan Yudhis maupun dua setan di sekitarnya. Dia lalu berkata. "Tidak ada cara menyelinap ke Panggenan, Yudhistira. Panggenan penuh dengan setan yang patuh pada Raja dan Ratu masing-masing Neraka. Sekali setan melihat batang hidungmu berada di Panggenan, serta merta mereka akan memberitahukan Raja dan Ratu Neraka tak terkecuali. Soal loyalitas, tidak ada yang bisa mengalahkan bangsa setan."
Yudhis menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Jadi tidak ada jalan lagi, ya?"
"Sebenarnya masih ada satu cara untuk menemukan Seruni, Yudhistira. Tapi, masa iya aku beri tahu kepadamu cuma-cuma? Harus ada kompensasi."
"Ada? Beri tahu dong, Cemani! Sebutkan saja kompensasi yang kau inginkan, kalau memang bisa kulakukan akan kulakukan tanpa pikir-pikir banyak."
"Kalau begitu kompensasi yang kuinginkan adalah..." Cemani terdiam menghentikan ucapannya. Dia lalu berkata. "... tidak jadi, deh. Biar kompensasi ini kutagih di masa-masa yang akan datang. Untuk sekarang, angggap saja ini sebagai pemberian dariku."
"Eh, benarkah? Asyik!"
"Yudhistira, tidak ada yang gratis. Pasti ada sesuatu di baliknya. Jadi seharusnya kamu jangan terlalu senang dengan ini. Kenaifanmu yang seperti itu bikin mudah dimanfatkan orang lain, kau tahu itu?"
"Ah, maaf."
"Baiklah, kumaafkan. Jadi, untuk mencari Seruni yang kamu butuhkan adalah nama asli pemberian Ratu Bangsa Setan. Dengan begitu, kamu tinggal meneriakkan namanya saat berada di Panggenan niscaya dia akan muncul. Itu jika memang Seruni ada di Panggenan yang kau maksud."
"Eh, bukannya akan ketahuan ya? Kau sendiri yang bilang betapa loyalnya bangsa setan."
"Iya, aku tahu. Tapi ketahuan pun tidak jadi masalah. Kamu hanya berteriak menyebutkan satu nama di Panggenan, itu tidak dihitung sebagai menyelinap."
"Ah, kau benar juga. Terima kasih, Cemani. Jadi sekarang aku hanya perlu mencari tahu nama asli Seruni dengan menemui Ratu Bangsa Setan dimanapun di berada, bukan?"
"Kamu tidak perlu sejauh itu, Yudhistira. Kebetulan, kebetulan saja lho ya, aku tahu nama asli Seruni yang merupakan pemberian dari Ratu Bangsa Setan."
"Huh? Benarkah?" ucap Yudhis nyaris tak percaya. "Aku benar-benar beruntung!"
"Beruntung, ya?" ucap Cemani mengulang perkataan Yudhis dengan senyum yang simpul.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro