Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mozaik 42 : Ruang


‘Rahasia hati dalam kecupan yang tak terhindarkan.'

.
.
TARGET!
60 Vote
30 Comment
.
.

[NEO] TWILIGHT
Minggu-Senin
29-30/08/2021 {07:03PM-08:04PM}


“Aduh, kakiku! Siapa yang menginjak kakiku?!”

“Maaf, Renjun-ah, terlalu gelap jadi tidak bisa lihat.”

“Lee Jeno, baru saja minta maaf, kau injak lagi kakiku.” Renjun loncat-loncat di tempat.

“Maaf, Renjun-ah, kali ini aku yang menginjakmu,” sahut Heejin sambil meraba-raba tembok ketika menuruni tangga.

Saat itu saklar lampu ditemukan dan ruangan menjadi terang. Yoona berdecak melihat ke empat remaja berdiri merapat ke tembok, di tiap anak tangga dengan sedikit membungkukkan tubuh, tampak sangat berhati-hati.

Renjun yang berdiri paling depan, perlahan mengangkat tubuhnya. “Detektif Im, Anda memang ahlinya,” katanya sambil mengacungkan dua ibu jari sebagai apresiasi.

Yoona tersenyum bangga. Menurutnya menyalakan saklar lampu bukan hal sulit. Mereka berempat pun lanjut menuruni tangga dengan nyaman, berpencar mengagumi ruang bawah tanah serta isinya.

Bola mata Yoona bergulir ke setiap sudut ruangan. “Jangan… jangan sentuh apa pun,” kata Yoona memperingati, sebelum tangan Jaemin mampu meraih gagang lemari pendingin.

“Aku tidak tahu, kalau ayah memiliki laboratoriumnya sendiri.” Heejin bergumam tak percaya.

“Heejin, bukankah ini parfum aroma yang selalu kau pakai.” Jeno menunjuk botol-botol parfum yang tertata rapih.

Heejin menghampiri Jeno, melihat barisan botol parfum dengan seksama. “Jangan-jangan ayah sendiri yang membuat parfumnya.”

Sementara itu Yoona dan Jaemin melihat ke dalam lemari pendingin. Mereka dengan jelas membaca tulisan yang tertempel di tiap deretan botol kaca, berisi cairan merah pekat berupa darah. Tulisan itu memuat beberapa informasi golongan darah lengkap dengan tahunnya. Di paling atas ada sekumpulan botol ditempeli tulisan Darah Keabadian.

“Akhirnya aku menemukan Sampel Darah Keabadian.” Mata Yoona berbinar melihat betapa segarnya darah yang telah difermentasi, sampai harus menegak ludah.

Tiba-tiba saja Renjun sudah berada di sebelah Jaemin. “Boleh aku mencicipinya?”

Yoona dan Jaemin kompak membalas, “Tidak boleh!”

Heejin tidak bisa ikut senang mendengarnya. Muncul perasaan terkhianati oleh sang ayah. “Apa itu semua adalah darahku?” tanya Heejin dengan suara bergetar saat kakinya melemah.

Di sebelahnya, Lee Jeno sontak memegangi tubuh Heejin agar tidak terjatuh.

“Bagaimana bisa… untuk apa ayah mengumpulkan darahku, melakukan penelitian? Memberikannya kepada vampir? Ayah… ahh, pantas saja ayah selalu menyuruhku rutin mendonorkan darah setiap enam bulan sekali.”

Yoona hampir lupa kalau Heejin bisa saja terguncang. “Heejin-ah, tenanglah, apa pun tujuan ayahmu pasti demi kebaikanmu.”

Sudah puluhan kali, Heejin memikirkan kemungkinan yang terjadi padanya di masa lalu sehingga berakhir di dunia yang ditinggali para makhluk penghisap darah. Kehidupannya sebagai manusia seketika berubah drastis. Tanpa penjelasan, ayahnya pergi entah kemana dengan hanya meninggalkan surat.

Tolonglah, siapa saja beritahu Heejin, apa yang tengah terjadi? Tepat saat kemelut permasalahan berdebat dalam otaknya, sebuah tangan hangat tertempel di kening.

“Kubilang apa, otak kecilmu tidak mampu mengatasinya.” Penglihatan yang tadinya tidak fokus, kini terpaku pada sosok laki-laki yang selalu Heejin anggap menyebalkan.

“Na Jaemin,” ujar Heejin, matanya berkaca-kaca.

“Kita pulang sekarang.” Jaemin berubah menjadi sosok yang dapat diandalkan, setidaknya untuk saat ini.

Pegangan tangan Jeno terlepas, ia tidak lagi membantu Heejin untuk berdiri tegak karena sekarang ada Jaemin yang telah menuntunnya.

Yoona melihat Jeno dan Renjun bergantian. “Kalian pulanglah, hati-hati, jangan sampai ketahuan penjaga perbatasan.”

Dari situ Heejin tahu ayahnya begitu banyak menyimpan rahasia. Heejin merasa telah gagal menjadi seorang anak, keluarga satu-satunya sang ayah yang bahkan tidak bisa dijadikan teman untuk berbagi cerita. Ingin meluapkan kemarahan, tapi ia terlalu menyayangi ayahnya. Sekali lagi saja, ia akan memahami keadaan.

***

Pagi itu kecerobohan Heejin dimulai dengan memecahkan vas bunga kesayangan sang ratu. Melamun sepanjang lorong menuju meja makan, dan tepat setelah bergabung ia memecahkan piring favorit putri sulung kerajaan. Semua anggota keluarga kerajaan dapat mengetahui bahwa Heejin sedang ada masalah.

Sampai gadis itu mengakhiri acara sarapan, berdiri dari duduknya, kemudian salah mengambil tas yang tersampir di punggung kursi. Padahal sudah jelas kursi itu bukan tempat duduknya.

“Itu tas milikku, hadiah dari Wonyoung yang ke tiga belas!” Jisung merebut hati-hati tas berharganya.

“Maaf, maaf,” kata Heejin, tak terhitung berapa kali telah mengucapkannya dalam kurun waktu kurang dari satu jam.

Tatapan menyipit Jisung teralihkan pada Yoohyeon yang baru saja berpamitan kepada raja dan ratu. “Jisung, katanya ingin menumpang naik Rebecca. Ayo, cepat.”

Noona, tunggu aku!” seru Jisung, kelewat senang berangkat sekolah dengan menunggang kuda. “Asyik, aku bisa lebih cepat bertemu Wonyoung.”

Yesung menggeleng-geleng. “Uri maknae, sudah tergila-gila rupanya.”

“Iya, apa sebaiknya segera menikahkan mereka,” imbuh Yuri, terkekeh kecil ketika penglihatannya menangkap Heejin yang menghela. “Heejin-ah, kau baik-baik saja?”

“Aku baik, Yang Mulia.” Heejin berbohong, masalahnya ia tidak cukup berani menanyakan perihal ayahnya kepada Raja dan Ratu.

“Kalau Jaemin mengganggumu bilang saja, biar aku memarahinya.”

Di bangkunya Jaemin mendesis sebal, kenapa jadi ia yang disalahkan. Padahal jelas-jelas Heejin-lah yang telah ceroboh sehingga merusak barang-barang.

Raja Yesung langsung mendelik. “Issh?”

Jaemin tersadar karena telah berlaku kurang sopan di depan makanan, kelak ia tidak akan berdesis lagi, terutama saat ada raja. Maka dengan hati-hati menaruh sendok, sebisa mungkin tidak mengeluarkan dentingan pada piring.

“Ayahanda, Ibunda, sejak kemarin otak Heejin terlalu berkerja keras, makanya agak panas. Nanti di UKS aku akan mengompresnya. Serahkan saja padaku.”

Heejin menaikkan sebelah alisnya. Bukankah perkataan Jaemin terdengar seakan peduli padanya.

***

Sesampainya di sekolah, Jaemin benar-benar membawa Heejin ke UKS. Tetapi tidak menemukan Seulgi di mana pun. Terpaksa ia sendiri yang harus mengompres Heejin.

Sudah seperti pasien saja, Heejin berbaring dengan selimut menutupi setengah badannya. Memerhatikan laki-laki yang terduduk di kursi dekat ranjang, tampak dengan telaten memeras kain handuk kecil yang sebelumnya dimasukkan ke dalam air di dalam baskom berwarna merah muda. Heejin tidak tahu kalau Jaemin mempunyai sisi kalem lagi lembut.

Kini Jaemin melipat kain menjadi persegi panjang. “Aku tidak demam,” tolak Heejin bertepatan dengan kain handuk yang sebentar lagi mendarat di keningnya.

Jaemin ganti menengadahkan tangan, menempelkan punggung tangan di kening Heejin. Kemudian melakukan hal yang sama pada dirinya sendiri. “Kau agak panas, jujur saja… pasti semalaman kau susah tidur karena banyak pikiran, ‘kan.”

Perkataaan Jaemin memang benar. Heejin termasuk tipe yang suka memikirkan banyak hal. “Apa kemungkinan ayah tergabung ke dalam sebuah organisasi yang dipimpin langsung oleh raja? Seperti mengemban misi tertentu untuk menyelamatkan dunia?” tutur Heejin, mengutarakan semua yang ada dalam pikirannya. “Atau… berencana menyerahkanku kepada kalian kaum vampir, agar mendapatkan kekekalan abadi yang semakin abadi?”

“Gadis ini sudah gila,” kata Jaemin bersamaan dengan menaruh kain handuk, menutupi mata Heejin.

“Mataku tidak perlu dikompres juga, ‘kan,” protes Heejin, menaikkan kain handuk sampai pas menutupi semua dahinya kemudian menatap Jaemin dengan mata lelahnya, “Na Jaemin, aku mulai pusing. Bisa tolong ambilkan obat sakit kepala.”

Heejin kira permintaannya akan diabaikan. Namun, secara tak terduga Jaemin langsung berdiri dan beranjak ke rak penyimpanan obat sembari menggerutu,

“Kenapa aku repot-repot mengurusinya… ahh, benar, ini karena tadi ingin tampil baik di depan ayah dan bunda. Tapi sekarang mereka tidak ada…”ᅳtangan Jaemin sibuk mengaduk-aduk isi lemariᅳ“di mana, sih, obatnya.”

Heejin tersenyum simpul mendengar gerutuan Jaemin, yang tetap mencarikan obat untuknya meski terus mengeluh. “Kalau tidak bisa menemukannya, kita tunggu Dokter Kang saja.”

Sejenak Jaemin terpaku di tempat. “Ide bagus,” katanya.

Dari semua hal yang luar biasa tentang Heejin, Darah Keabadiannya-lah yang paling istimewa. Entah memang sejak awal sudah memilikinya, atau sesuatu terjadi di masa lampau sehingga membuat darahnya sangat berharga. Heejin menatap langit-langit, semakin dipikirkan semakin pening rasanya.

“Na Jaemin,” kata Heejin setelah laki-laki yang sesaat lalu mencari obat sambil mengomel, kembali mendudukkan dirinya di kursi.

“Sekarang apalagi?” Jaemin membalas dengan malas.

“Kudengar pihak kepolisian Neogara telah memindahkan sampel darahku dengan aman. Apa artinya aku juga akan aman selama tinggal di sini.”

“Kau memintaku untuk tetap menjagamu… baiklah, sebagai gantinya berikan aku sekantung darahmu sebelum pulang ke duniamu.”

“Hanya sekantung, anggap saja aku sedang mendonorkan darah.” Heejin memutuskan nanti saja dirinya mencemaskan soal darah. Ia memejamkan mata dengan santai. Mumpung berada di UKS, Heejin akan tidur sebentar.

Jaemin manggut-manggut walau tidak dilihat lawan bicaranya. Berinisiatif mengambil kain handuk, yang sudah agak kering untuk dibasahi lagi.

“Aku akan tidur sampai jam pelajaran pertama selesai, jadi kau boleh… BASAH!”

Jaemin tertawa keras, bahkan ia yang mengusulkan agar Heejin istirahat di UKS masih sempat-sempatnya berbuat jahil. “Aku lupa memeras airnya.”

“Kau sengaja!” tuding Heejin, bangun dari berbaringnya dengan sekali hentakan. Kain handuk di kening pun terlempar, jatuh ke pangkuannya. “Seragamku.”

Pada saat bersamaan, Heejin dan Jaemin hendak mengambil kain handuk. Suara kepala saling beradu terdengar di ruangan yang nyaris hening. Mata keduanya bersitatap.

Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Heejin mulai bergumam dalam hati, tergesa menuruni ranjang. Sialnya mengapa ia harus membawa selimut yang membuat pelarian terhambat, saat kaki menginjak ujung selimut dan…

Na Jaemin tidak membiarkannya jatuh sendirian. Melainkan berusaha meminimal rasa sakit, dengan Heejin yang berakhir dalam pelukan Jaemin, pun sebuah kecupan tak terhindarkan mendarat di bibir Jaemin. Mata bening Heejin membulat sempurna.

Selimut yang sempat terlempar beberapa sentimeter ke atas, jatuh menutupi keterkejutan Heejin dan Jaemin.

***

THANKS FOR READING
Don’t forget for vote, comment and share 💞


Bagian hari ini udah cukup panjang! Mari kita bertemu lagi di Mozaik 43 dan melanjutkan kisah yang bersambung ini.
SEE YOU

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro