Mozaik 4 : Terminal
‘Fasilitas transportasi jalan menuju ke tempatmu.’
[NEO] Twilight
Kamis, 18/02/2021
.
.
“Kau benar-benar vampir?” Susah payah Heejin mengatakannya sembari berusaha melepaskan cekikan yang semakin kuat di lehernya.
“Ternyata benar kata Pangeran Kematian bahwa kau memiliki darah keabadian. Sudah lama aku ingin meminum darahmu.” Suara pria itu sangat dingin, bahkan dapat dengan jelas Heejin lihat sepasang gigi taring mencuat bersamaan melonggarnya cekikan.
Heejin terhuyung nyaris jatuh, ketika lehernya terbebas, ia terbatuk merasa sakit seperti habis tersedak. Tetapi ini lebih sakit sehingga sontak memegangi leher sembari meraup udara. Ketakutan melandanya. Dia melangkah mundur selagi pria yang diduganya vampir itu berjalan mendekat.
Setelah pikirannya dihantui oleh ketiga pemuda yang menolongnya tempo hari, Heejin mulai memercayai omong kosong mengenai makhluk penghisap darah. Berharap satu kali lagi saja, keberuntungan itu datang detik ini juga untuk menyelamatkannya.
“Jangan mendekat!” kecam Heejin.
“Kau pikir dengan berbicara begitu aku akan melepaskanmu, tentu saja tidak.”
Heejin berbalik hendak melarikan diri. Tiba-tiba vampir itu sudah berada di hadapannya lagi, membuka mulut, bersiap mengigit lehernya. Ia berteriak meminta pertolongan dengan panik.
DUAK, dilihatnya tubuh si vampir terlempar cukup jauh. Heejin terpekik kaget. Seseorang atau mungkin vampir lain telah menerjang pria yang hendak mengigitnya itu, amat sangat keras sampai tembok retak dan sekejap kemudian sesosok pria jangkung, berkulit seputih susu dengan mengenakan setelan jas rapih tapi tidak seperti umumnya tampak berdiri membelakangi Heejin.
Siapa pun pria itu, Heejin merasa terselamatkan. Walaupun pria yang entah datang dari manaᅳuntuk sekarangᅳtelah menyelamatkan nyawanya. Tapi jika kedua pria itu vampir yang bersiteru karena berebut mangsa, ia perlu kabur sejauh mungkin. Pokoknya harus tetap waspada akan sekitarnya.
“Kau baru menemukan gadis ini … ternyata kerjamu sangat lambat, KAI.”
Pria yang dipanggil dengan nama ‘Kai’ tengah bangun dari jatuhnya, menggerakkan punggung yang nyeri akibat membentur tembok sembari menatap geram pria yang telah menggagalkan makan malamnya.
“Oh Sehun, masih bekerja sebagai kacungnya raja,” ucap Kai dengan mendenguskan tawanya.
“Apa ada pekerjaan kacung? Sepertinya kau tidak cukup pintar untuk mengetahui tiap-tiap profesi, aku ini pengawal kerajaan. Dan… kau tidak boleh menyakiti tamunya raja.” Sehun berujar santai ketika di ambang pintu sana Heejin bergegas mempercepat langkah terburunya.
“Aku tidak bodoh! Dasar kauᅳAish, sial! Makananku!” pekik Kai melihat Heejin baru saja keluar, ia segera mengejar tetapi dengan sigap Sehun menghadangnya. Terpaksa Kai harus menghadapi Sehun terlebih dahulu.
“Di sini kau-lah yang kacung setianya Pangeran Kematian, mungkin julukan itu tidak lagi berlaku karena tuanmu sudah mati,” ujar Sehun dengan agak menyinggung. “Van Dracula telah lama mati,” tekannya.
“Berani kau menyebut namanya!” Emosi Kai tersulut tatkala tersadar tujuannya mencari Jeon Heejin untuk dibawa kepada tuannya. “Pangeran Kematian akan bangkit kembali!” berang Kai sambil melayangkan pukulan ke wajah Sehun.
Sehun tersenyum kecil, menghapus darah dari sudut bibirnya. Kali ini ia pastikan tidak akan kalah dari Kai.
***
Tidak biasanya langit malam di Neogara tampak cerah oleh cahaya rembulan yang nyaris bulat sempurna, menambah kesan ramah dari kastel bagian timur yang dinding batunya berwarna putih gading. Kediaman sang putri vampir memang tampak berbeda dengan atap kerucut berwarna kebiruan dan ruangan lebih bersahabat. Makanya Huang Renjun sangat menyukai berada di paviliun Na Yoohyeon.
“Terima kasih, Nuna.” Renjun langsung menyambar macaroon yang baru saja dibawakan oleh pelayan. “Entah mengapa makanan yang disajikan di sini selalu membuatku berselera, tidak seperti di tempatnya Jaemin,” tutur Renjun dengan mulut penuh makanan.
Jeno mengangguk setuju. “Mungkin tabiat pemilik ruangan berpengaruh pada cita rasa makanan yang seharusnya enak, malah tidak enak,” imbuhnya menghindari tatapan mata Jaemin.
“Kau mau bilang kalau wajahku tidak enak dipandang, perlu aku panggilkan dokter kerajaan supaya matamu diperiksa,” sewot Jaemin.
“Bukan wajahmu tapi perilakumu,” sanggah Yoohyeon sambil terkekeh menikmati ekspresi kesal Jaemin.
Saat itu pintu menjeblak cukup keras menghentikan niatan Jaemin untuk membalas perkataan sang kakak yang selalu saja memojokkan dirinya di depan Jeno dan Renjun. Alhasil, Jaemin hanya menggerutu tak jelas selagi adiknya melenggang masuk tampak memasang wajah serius.
“Na Jisung, kau membuatku tersedak!” protes Renjun setelah menegak habis segelas air putih.
“Kalian jangan kaget.” Jisung berlagak penting bak agen rahasia.
“Pangeran Jisung, kau tidak lihat aku sudah kaget begini,” tukas Renjun selalu saja menambahkan gelar ‘pangeran’ ketika menyindir keturunan kerajaan. Meski begitu baik Jaemin dan Jisung tidak menyadari maksudnya.
Jisung sendiri jelas memilih melanjutkan perkataannya tanpa repot-repot menanggapi Renjun. “Telah terjadi penyerangan terhadap satu keluarga manusia, sekarang pihak kementerian sedang melacak keberadaan vampir tersebut.”
“Kejadiannya di mana?” tanya Jeno, memusatkan perhatian penuh yang seketika itu juga membuat Jisung bersemangat karena semua pandang mata tertuju padanya.
“Di Seoul, menurut apa yang aku dengar vampir itu pengikut setianya Van Dracula.”
“Van Dracula. Setahuku dia sudah mati delapan belas tahun lalu,” kata Yoohyeon menyangsikan penuturan si bungsu.
Kini keempat lelaki kompak mengalihkan pandangan ingin tahunya pada Yoohyeon.
“Nuna, kau kenal Van Dracula?” Jisung mewakili yang lainnya untuk bertanya.
***
Terminal Seoul Nambu
Jantung Jeon Heejin masih berdegup kencang. Berjalan dalam ketakutan setiap berpapasan dengan manusia. Ia tidak bisa membedakan mana yang manusia dan mana yang vampir. Selembar kertas di tangannya tampak bergetar yang lalu ditutupnya dengan sekali hentakan.
“Ayah sebenarnya apa yang terjadi, surat macam apa yang ayah tulis ini.”
Surat yang Heejin temukan di kamarnyaᅳtergeletak di atas kasur dengan warna amplop mencolokᅳlima hari lalu ketika sang ayah pergi tanpa berpamitan. Berapa kali pun ia membaca isinya sungguh tidak masuk akal, tapi suatu hal yang mustahil itu kini terasa berbeda setelah pertemuannya dengan pria bertaring runcing yang mengatakan bahwa dirinya memiliki darah keabadian. Heejin yakin pasti ambulans yang setengah jam lalu dipanggilnya telah membawa bibi, paman dan sepupunya ke rumah sakit.
“Mereka akan baik-baik saja, kan,” kata Heejin sambil terus mengintai keadaan sekitar.
Lalu lalang calon penumpang bus di setiap peron bertuliskan rute bus telah menyadarkannya. “Sejak kapan ayah mulai menulis novel, selembar kertas ini bukan surat melainkan ide cerita. Mana ada bus tujuan Neogara!” sangkal Heejin, tepat saat itu juga matanya tak sengaja membaca tulisan rute di papan peron.
“Neogara,” ucapnya tidak langsung memercayai penglihatannya, ia mangucek mata dan kembali memastikan. “Bus berwarna hitam dengan tulisan nomor 23 dan Neogara sebagai tujuannya.” Itulah yang dikatakan dalam surat.
“Tempat aman macam apa yang ayah maksud.” Heejin ragu untuk menaiki bus, sampai meyakini kalau ayahnya pasti berada di Neogara.
Padahal tadi ia sempat mencari di internet mengenai kota bernama Neogara dan hasilnya tidak ditemukan. Bahkan beberapa orang yang ditanyainya menjawab tidak tau. Belum satu menit Heejin duduk di salah satu bangku kosong dekat kaca, seorang laki-laki menyapa seraya menunjuknya.
“Jeon Heejin senang bisa bertemu denganmu di sini, boleh aku duduk di sebelahmu,”ᅳtanpa menunggu jawaban laki-laki itu sudah dudukᅳ“aku kira kau tidak membaca suratku, keputusan yang baik untuk pindah sekolah, kau tidak perlu berpura-pura lemah lagi dan terbebas dari bullying.”
“Tunggu, kau siapa? Apa kita saling kenal?” tanya Heejin kebingungan, satu-satunya surat yang dibacanya hanya dari sang ayah.
“Kita satu angkatan di SMA Saebom, kelas kita bersebelahan dan namaku Jung Sungchan,” balas laki-laki itu dengan ramah.
“Jung Sungchan.” Heejin sepertinya pernah mendengar nama itu dan segera teringat, “Jadi kau laki-laki yang disukai Yeji.”
“Yeji yang tukang bully itu menyukaiku?!” kata Sungchan setengah berseru.
Tanpa Heejin sadari bus sudah penuh. Melaju perlahan meninggalkan peronnya. Sebagian penumpang tampak seperti karyawan kantoran yang baru pulang kerja. Sementara sisanya ada remaja seusia Heejin, ibu paruh baya serta sekelompok wanita dengan bingkisan belanjaannya.
“Tadi kau bilang akan pindah sekolah, ke Neogara?” Sungchan mengangguk kecil, mengiyakan dan Heejin kembali bertanya sambil mengepalkan kedua tangan di pangkuannya, “Apa mungkin kau juga vampir?”
Dalam hatinya Heejin ingin mendengar jawaban kalau Sungchan bukanlah vampir.
“Iya, aku vampir.”
Ucapan Sungchan tidak sesuai harapan, menambah kepanikan dalam diri Heejin. Tempat apa yang ditujunya? Kenapa pula sang ayah menyuruhnya pergi ke Neogara, jika sesuatu yang buruk menimpanya. Sejak awal ayah tau kalau aku akan berada dalam bahaya. Heejin mulai membatin dan kontan berdiri. Berpikir untuk turun saja dari bus.
“Rupanya kau tidak sabar untuk bersekolah di Neoshkole, sama sepertiku, mari kita turun!” seru Sungchan selagi penumpang lain ikut berdiri, bergantian keluar dari bus.
“Kita sudah sampai … ishh, sial,” rutuk Heejin.
***
Don’t forget for vote, comment and share
Support Cast
NB:
Apa yang menanti Heejin dan Sungchan di Neogara?
Temukan jawabannya rabu depan ya ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro