Mozaik 3 : Janggal
‘Sesuatu yang tak masuk akal.’
[SEBELUMNYA DI MOZAIK 2]
Hampir saja Jaemin tidak bisa menahan kekesalan ketika ucapannya kembali disela. “Tetaplah di sini selama tiga menit,” katanya kemudian.
“Mwo (Apa)?” Heejin merasa telah masuk ke kandang serigala setelah keluar dari kandang harimau.
“NA JAEMIN! APA KAU SUDAH GILA!” sentak Jeno, sepertinya setelah ini ia dan Jaemin akan bertengkar untuk pertama kalinya.
[NEO] Twilight
Rabu, 17/02/2021
.
.
Jeon Heejin jadi ketakutan mendengar makian ‘gila’ untuk lelaki bernama Na Jaemin yang kini tersenyum samar, memajukan kepala ke lehernya seraya mengendus pelan dengan cara elegan. Tidak bisa ia lihat mulut Jaemin yang setengah terbuka, diarahkan ke samping lehernya. Namun dapat dengan jelas terlihat oleh Jeno yang merapalkan sumpah serapah terhadap si pangeran.
Sekarang ini Jeno tidak bisa melepaskan Renjun yang siap menyerang untuk menghisap darah. Hanya berharap Jaemin dapat menjaga sikapnya, jangan sampai berbuat ulah. Sedikit lagi saja Jeno akan memercayai Jaemin, ia meyakini sahabatnya itu pasti bisa menahan diri.
“Kau terlalu dekat!” gelagap Heejin sambil mendorong Jaemin.
“Ah, iya, kalau terlalu dekat akan bahaya.” Jaemin menelan ludahnya seolah telah selesai menelan darah si manusia lemah di hadapannya yang lalu menoleh pada Jeno, memberi isyarat bahwa semuanya masih terkendali selagi Renjun tak menyerah melepaskan lengan kekar Jeno di sekeliling tubuhnya.
“Lepaskan aku kawan, minuman lezat tidak boleh dilewatkan!” racau Renjun.
“Melepaskanmu sama dengan ditahan di Neozrane!” Jeno berseru sembari bergidik membayangkan penjara untuk vampir pelaku kejahatan yang disebut-sebut sangat mengerikan.
Telinga Heejin berkedut mendengar percakapan aneh kedua lelaki itu. Apa sih yang mereka bicarakan? Kurasa berterima kasihnya sudah cukup, lebih baik aku segera pergi. Heejin berucap dalam hati, melangkah perlahan agar lelaki di depannya tidak menyadarinya. Tetapi lelaki yang diberi indra pendengar dua kali lebih baik dari manusia itu menangkap lengan terayun Heejin.
“Tunggu sebentar, aku harus memastikan sesuatu.” Jaemin memberi pandangan serius kepada Heejin. “Segera bawa Renjun pergi,” titahnya masih memaku sepasang mata dari sosok wanita yang menurutnya memiliki aroma darah sangat kuat dan tercium begitu lezat, pantas saja Renjun sampai hilang kendali.
Heejin tahu kalimat itu ditujukan pada lelaki yang tengah mengunci pergerakkan lelaki lainnya.
“Tapi,” tukas Jeno ketika tiba-tiba hasrat ingin meminum darahnya muncul. Sepertinya khasiat dari Kapsul Anti Haus Darah telah melemah, bisa gawat kalau ia juga kehilangan kendali seperti Renjun. “Aku pergi, cepatlah menyusul! Jangan melakukan hal bodoh yang akan kau sesali,” lanjut Jeno bergegas menyeret Renjun agar ikut bersamanya.
Dalam seperkian detik saja mereka sudah melewati Jaemin dan Heejin. Menghilang di belokan ujung gang, meninggalkan sunyi yang langsung menguasai suasanaᅳbisa dibilang sedikit menegangkan.
“Siapa kalian sebenarnya?” tanya Heejin, merasa ada kejanggalan yang tidak bisa dijelaskan secara nalar. Pegangan di tangannya sama sekali tidak erat, tapi mengapa sulit dilepas.
“Saat mengetahuinya, kamu akan mati,” balas Jaemin bernada rendah. Namun, jelas terngiang dan sedikit ngeri.
Heejin mengeryit semakin ketakutan. “Apa yang kau inginkan?
“Darahmu, tidak, tidak … lebih baik kita jangan pernah bertemu lagi.” Jaemin agak melemparkan lengan Heejin ketika melepaskannya.
Satu menit berlalu setelah berakhirnya waktu tiga jam dari khasiat Kapsul Anti Haus Darah yang berhasil Jaemin tes ketahanannya. Tidak terjadi apa-apa, bahkan gairah ingin mengigit pun tidak dirasakannya meski bau darah amat sangat menggoda. Jaemin jadi curiga kalau sebenarnya ketahanan dari Kapsul Anti Haus Darah dapat bertahan lebih lama dari tiga jam.
Atau mungkin tidak? Karena bila diingat lagi Renjun dan Jeno mengalami gejala penurunan ketahanan terhadap darah sebelum tiga jam. Lalu kenapa ia masih bisa menahannya selama ini? Jaemin jadi menduga-duga hal tak masuk akal.
“Setuju, kita tidak perlu bertemu lagi. Kalau begitu aku pergi.” Heejin melangkah lebar-lebar, lebih seperti hendak kabur.
Tangan Heejin dicekal. Lagi-lagi sentuhan dari kulit telapak tangan Jaemin terasa dingin, menjalar dan memicu degup jantung tak keruan. Terpaksa Heejin menoleh.
“Aku perlu memastikannya sekali lagi.”
“Sebenarnya apa yang perlu kau pastikan?”
Tidak ada yang tampak istimewa dari gadis di hadapannya. Jaemin menggeleng bersamaan dengan berdesis keheranan. Sebelum rasa haus darah itu muncul secara tak terduga, lebih baik ia bergegas menyusul kedua sahabatnya.
Jaemin merasa tidak perlu menjelaskan sesuatu pada Heejin yang sesaat lalu bertanya padanya. “Lawan ketakutan akan dirimu sendiri dan kalahkan mereka, menjadi lemah bukanlah satu-satunya pilihan. Hari ini kau beruntung ada aku yang membantumu, tapi besok dan besoknya jangan harap keberuntungan itu datang lagi.”
“Nde (Ya),” balas Heejin seolah baru saja terhipnotis.
“Omong-omong, kau harus hati-hati pada vampir.” Selesai mengatakannya Jaemin berlalu pergi. Tak butuh waktu lama untuk Jaemin melesat ke persimpangan gang, berbelok ke arah menghilangnya Jeno dan Renjun, meninggalkan Heejin yang bergeming.
“Vampir?” gumam Heejin dengan was-was menoleh ke kanan lalu ke kiri. “Yang benar saja, vampir itu tidak ada!” lanjutnya berlari menghalau rasa takut yang entah sejak kapan menyergap.
***
Sepanjang perjalanan pulang Heejin menjadi tidak enak perasaan. Setiap percakapan menyeramkan yang terlontar dari ketiga lelaki yang menolongnya tadi terus berputar dalam pikirannya. Taring, darah dan vampir. Semuanya terdengar nyata, sedikit pun tidak ada nada bercanda. Mungkin saja mereka berada di klub penggemar vampir. Percaya akan adanya makhluk penghisap darah tersebut.
“Benar, mereka pasti bermain peran sebagai vampir.” Heejin menyimpulkan sambil kembali memeriksa penampilannya sebelum memasuki rumah. Dia tidak boleh terlihat berantakan oleh ayahnya.
Heejin membuka pintu dan berseru ceria, “Ayah, aku pulang!”
“Akhirnya kau pulang juga,” sahut sebuah suara yang tidak Heejin harapkan.
Bukan sang ayah, ia malah dikejutkan dengan adanya Hwang Yeji di ruang serbaguna.
Alis Heejin bertaut. “Sedang apa kau di rumahku?” ia segera menambahkan ketika dilihatnya sang bibi keluar dari arah dapur. “Seojin Imo (Bibi, panggilan adik dari ayah).”
“Ayahmu menyuruh kami untuk menjagamu, jadi mulai hari ini kami akan tinggal di sini,” tutur Seojin berlagak menjadi nyonya rumah.
“Lihat, lihat, kita bisa menjual jam tangan”ᅳlaki-laki berusia 35 tahun itu menuruni tangga dan baru mengetahui keberadaan keponakannyaᅳ”halo Heejin, ternyata kau sudah pulang!” lanjutnya memaksakan seulas senyum.
“Memangnya ayah ke mana?” tanya Heejin.
“Entahlah, ayahmu hanya bilang ada urusan pekerjaan dan membutuhkan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya,” terang si paman.
***
Semenjak kedatangan keluarga bibinya, hari-hari Heejin berubah drastis. Sang bibi yang aslinya adik kandung ayahnya itu hampir menjual habis semua barang dan alat elektronik di rumah. Meski dalang utama dari pencurian barang secara terang-terang adalah Hwang Jaerim, tetap saja Heejin menyalahkan Jeon Seojin yang tidak bisa menegur suaminya. Atau malah enggan melakukannya, karena Seojin juga menikmati uang hasil penjualan.
Kali ini Heejin tidak bisa membiarkan piano peninggalan ibunya diangkut di depan matanya. “Tunggu, jangan bawa pianonya!”
“Kami sudah membayar mahal untuk ini, minggirlah,” kata sopir dengan nada malas. “Gara-gara piano, aku harus bekerja lembur. Kenapa pula mereka melakukan transaksi malam-malam begini, auh!”
Sayangnya seorang Jeon Heejin tidak bisa bersikeras yang lalu menyingkir dari jalan. Mobil bak terbuka segera melaju, membawa piano dan penyesalan gadis berusia delapan belas tahun akan kekalahannya.
“Imo, Samchon, sekalian saja mereka menjual rumah juga!” sungut Heejin selagi sambungan telepon memberitahunya dengan nada formal singkat bahwa nomor tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi. “Ayah, anakmu sebentar lagi menjadi gelandangan dan sampai sekarang ayah tidak memberi kabar.”
“Sungguh aku tidak ingin pulang,” kata Heejin sambil melangkah enggan memasuki rumah dan berkata, “Aku pulᅳang,” pupil mata Heejin melebar sekaligus menekap mulut mendapati seorang pria menggigit tepat di leher Yeji. Tak jauh bibi dan pamannya tergeletak tak sadarkan diri.
“Hwang Yeji!” panggil Heejin dengan suara bergetar. “Ahjussi, lepaskan dia!” teriaknya histeris.
Pria itu urung menggigit lebih dalam, dahinya mengeryit. “Jadi gadis ini bukan Jeon Heejin,” ia melempar tubuh terkulai Yeji dan segera melanjutkan, “Ternyata aku salah orang.”
“Aku, aku Jeon Heejin! Apa yang telah kau lakukan pada mereka!” pekik Heejin, mengumpulkan semua keberanian dan tergesa-gesa menyentuh layar ponselnya untuk menelepon polisi.
Tetapi tangannya ditepis sehingga ponsel terjatuh dari genggamannya. Gerakan si pria sangat cepat, sampai-sampai Heejin tercekat ketika dengan mudah lehernya dicekik. Heejin mencoba memberontak.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Heejin kesulitan mangambil napas.
Pria yang tampak seusia dengan pamannya itu tersenyum miring, menjilat sisa darah di sekitar bibirnya. Tiba-tiba Heejin teringat perkataan pemuda bernama Na Jaemin lima hari lalu. Omong-omong, kau harus hati-hati pada vampir.
“Vampir.” Satu kata yang Heejin ragukan keberadaannya keluar begitu saja dari mulutnya.
***
Don’t forget for vote, comment and share
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro