048 Harus Merelakan Kepergiannya
Kalian pasti gak akan suka membaca part ini.
🌻🌻🌻
”Dedi sama Nei suami istri?”
Dika mendapati wajah penasaran gadis kecil berpipi tembam dan rambut ikal yang sedang menatapnya. Tangan kecil Hagia menepuk-nepuk punggung tangan Dika. Lelaki itu berhasil membangkitkan rasa ingin tahu putrinya.
”Bukan.”
Suara lain mengalihkan pikiran Dika dari pesona wajah sang anak.
”Yang dikatakannya tidak benar,” sambung Neima.
Neima mengangkat tubuh Hagia.
”Tidur supaya besok tidak mengantuk bangun pagi.”
Dika menyaksikan punggung Neima yang berjalan dengan menggendong Hagia. Sepasang mata bulat Hagia bertatapan dengan mata Dika.
”Hagia sekolahnya ditemani Dedi ya, Ne?”
Dika mendengar Hagia bertanya sambil melihatnya.
”Nei juga, tapi agak siang.”
”Hore! Om Ion diajak juga? Katanya Om Ion mau lihat Hagia pakai baju sekolah, Ne.”
”Tidur, Hagia.” Kedua perempuan itu menghilang di balik pintu kamar.
Dika duduk di sofa panjang dengan kedua tangan bertopang di pahanya. Matanya menatap lekat pada pintu kamar Neima dan Hagia.
”Kau telah berubah, Neima. Kamu sangat cocok menjadi ibu.”
Neima Devira adalah perempuan pertama yang dicintai Dika. Gadis polos yang karena keluguannya membuat Dika ingin menjadi orang yang selalu diandalkan Neima. Pada awalnya, Neima memiliki kepercayaan diri yang rendah. Dika berkali-kali ditolak karena menurut Neima, dirinya tidak cocok dengan Dika. Dika tak menyerah terhadap Neima. Setiap hari perasaannya kepada Neima semakin dalam. Ia sangat ingin memiliki Neima di sisinya. Apa saja dilakukan Dika supaya Neima menerimanya. Semua kebutuhan Neima dipenuhinya. Dika hadir di masa-masa sulit Neima. Dika membantu Neima dalam tugas kuliahnya, meskipun jurusan mereka berbeda. Mengantar-jemput Neima ke kampus dan ke mana saja yang dituju Neima. Membawakan Neima makanan juga camilan. Membayar kos-kosan Neima. Membelikan laptop dan printer. Memastikan selalu ada kertas dan tinta. Semua itu dengan paksaan Dika tentu saja karena Neima selalu menolak bantuan Dika. Namun, di antara banyaknya alasan, satu hal yang dikatakan Neima kenapa akhirnya dia menerima Dika. Dika membuat Neima merasa berharga.
”Kau janji ini tidak apa-apa?” tanya Neima ketika melepaskan ciuman Dika yang menuntut.
”Tentu. Kita sudah membicarakannya, Nei.”
”Pasti aman?” tanya Neima.
”Seperti syaratmu, aku akan pakai pengaman.”
Neima kala itu masih takut-takut. Tangannya dingin saat digenggam. Neima menangis berjam-jam setelah mereka bercinta untuk pertama kalinya. Neima tidak mengatakan apa yang menyebabkannya menangis.
Saat ini, Dika menyadari alasannya. Dika telah membuat Neima merasa tidak berharga. Sebab setelah yang pertama kali, Neima akan mengiyakan kapan saja Dika mengajak tidur bersama. Yang mana, biasanya Neima selalu menyudahi sesi berciuman mereka sebelum mereka sama-sama menginginkan hal-hal yang lebih jauh.
Neima berubah seiring intensnya hubungan mereka. Neima yang dahulu serba takut kepada Dika menjadi lebih berani. Neima tak lagi memosisikan Dika sebagai alfa, sosok yang lebih tinggi darinya. Neima sudah bisa melawan perkataan Dika, tak jarang berteriak dan memaki kesalahan Dika. Neima bukan lagi sosok polos dan lugu seperti yang Dika kenal.
”Kau aku izinkan di sini.”
Suara perempuan yang sedang ia pikirkan masuk ke telinganya. Dika mendongak. Wanita itu berdiri beberapa langkah dari tempat Dika. Kedua lengan Neima terlipat di dada.
”Karena ada hal yang harus kita bicarakan,” sambung Neima.
Neima melepaskan tautan tangannya, lalu berjalan ke salah satu kursi. ”Kau tahu caranya mengurus surat cerai?”
***
Neima memikirkan ini saat Dika menamparnya dengan kenyataan. Status mereka memang masih resmi sebagai suami istri, walaupun pada kenyataannya sudah bercerai sejak lama.
”Tidak tahu,” jawab Dika.
”Coba tanyakan kenalanmu,” desak Neima.
Neima mengambil ponsel dari saku bajunya. Mengetik beberapa kata pada pencarian Google.
”Ini caranya. Pelajari,” kata Neima. Ponselnya diserahkan kepada mantan suaminya.
Dika membaca beberapa waktu. Lelaki itu kemudian menggeleng.
”Kenapa? Kau juga tidak bisa memahaminya? Ada kenalanmu yang bisa menjelaskan secara mudah?”
Lama Dika hanya menatap Neima. Neima yang sebelumnya hanya merisaukan bagaimana mengurus perceraian, terlambat memalingkan wajahnya. Kedua mata Neima terperangkap dalam sepasang manik hitam milik Dika.
”Aku rasa kita perlu memulai dari awal.”
”Tidak.” Neima hampir berteriak di tengah malam.
Ia bersyukur mendengar suara Dika sehingga tidak terperosok dalam kenangan yang disajikan dalam sepasang mata yang menatapnya intens.
”Apa kau benar-benar ....” Neima menyerah berharap kerja sama dari Dika. Ia membuang napas, ”Baiklah. Aku akan pelajari sendiri.”
Neima pikir Dika akan dengan senang hati membantu mengurus peresmian perpisahan mereka. Namun, lelaki itu mencetuskan hal yang tidak masuk akal.
”Semoga berhasil.” Dika mengulas senyum. Lelaki itu merebahkan punggungnya di sofa. ”Pinjamkan aku selimut, Nei.”
Neima mendengkus. ”Nggak sudi.”
Dirasa sudah tak ada yang perlu dibicarakan, Neima pun berniat meninggalkan ruangan yang ada Dika.
”Ya sudah, apa boleh buat.”
Neima terkejut ketika melihat Dika berjalan lebih dulu ke arah kamarnya.
”Kau pikir kau mau ke mana?" Neima tak lagi menahan suaranya. Ia juga berlari untuk mengadang Dika sebelum lelaki itu masuk kamarnya.
”Ayolah, kamu pelit sekali, Neima. Pinjam selimut tidak boleh. Tidur di kasurmu pun tidak boleh?”
”Apa kau gila, Dika? Tidak ada yang mengundangmu datang ke sini!” Neima berdiri di ambang pintu kamar, lalu tangannya menutup pintu tepat di depan wajah Dika.
Tok tok tok
”Neima,” panggil Dika dari luar. ”Aku datang sendiri. Atas kemauan sendiri karena besok putriku masuk sekolah dan ibunya tak bisa menemani. Aku berniat baik, Nei.”
Mendengar Dika menyebut Hagia putrinya, Neima tidak terima. Pintu dibukanya kembali. Sebelum keluar, Neima melihat ke tempat tidur, memastikan Hagia tidak mendengar perkataan Dika. Neima lalu menarik lengan Dika ke ruangan tengah.
”Kamu nggak malu mengatakan itu?”
”Kenapa aku malu kalau yang aku lakukan adalah hal sewajarnya?”
Neima mengacungkan telunjuk ke muka lelaki itu. ”Jangan pernah mengakui Bahagia-ku sebagai putrimu. Hagia adalah anakku.” Neima menunjuk dirinya sendiri.
Dika mengangguk. ”Iya anakmu denganku.”
”Kau tidak punya hak mengatakan itu.”
Dika melipat tangan di dada. ”Hagia punya hak mengetahui siapa aku.”
Wajah Neima semakin memerah. ”Hagia tidak membutuhkan kamu. Dia tidak perlu mengenalmu.”
”Oh, ya?” Dika mendekat membuat Neima harus mundur. ”Apa kau pernah mendengarnya langsung dari Hagia?”
Neima menggeleng. Selama ini, Hagia tak pernah menanyakan kenapa dia tidak punya ayah. Ketika memasuki sekolah, Hagia akan merasa berbeda dengan teman-temannya. Hagia akan menanyakan kepada Neima atau mungkin akan memendamnya sendiri. Sama seperti saat Hagia menahan rasa sakit agar Neima tidak melihatnya.
”Tapi aku betul-betul ingin memulai dari awal … dengan Hagia.”
Neima terpojok. Punggungnya menabrak lemari. Dika berdiri beberapa sentimeter saja di depannya.
”Aku menyayangi Hagia.”
Neima mendengar ketulusan dalam pengakuan Dika. Memastikan apa yang ia dengar, Neima menatap Dika.
Dika menatap ke tempat Hagia tidur. Seakan ia dapat melihat menembus pintu. ”Saat ini yang kuinginkan adalah memberikan kehidupan yang terbaik untuk anak-anakku.”
Neima menangkap sesuatu dalam pendengarannya.
”Anak-anak?”
Dika belum memahami pertanyaan Neima. Dia sepertinya baru saja keluar dari gelembung pikirannya sendiri.
”Kau bilang anak-anak,” jelas Neima.
Neima memastikan kalau benar yang dimaksud Dika lebih dari satu, artinya Dika memiliki anak lain selain Hagia. Meski tidak mengizinkan Dika mengakui Hagia sebagai anaknya, tetapi Neima merasa dikhianati, diabaikan, dan ditinggalkan. Hagia-nya tak memiliki ayah, sementara anak lain ada.
Neima mendengar tawa Dika.
”Anak-anak kita, Nei. Adiknya Hagia.”
”Enak saja!” Tangan Neima dengan ringan telah melayang ke kepala Dika bagian belakang. ”Jangan bercanda.”
”Aku serius.”
Neima memutar bola mata. Dika yang dilihatnya sedang menahan tawa. Neima senang ternyata Dika cuma bercanda. Neima tak bertenaga untuk meladeni kegilaan Dika kalau yang dia katakan itu memang betulan.
”Aku serius, Nei. Aku ingin Hagia merasakan punya ayah.”
***
Seragam pdh cokelat telah terpasang rapi di tubuh tinggi pemuda yang memakai kacamata baca. Tas laptop siap disandang. Sepatu kulit hitam mengetuk-ngetuk lantai ketika ia berjalan. Mesin mobil telah dipanaskan sejak pagi-pagi sekali. Kendaraan itu siap membawanya ke rumah perempuan yang mengganggu isi kepala di tiap waktunya.
Fashion Klein, pemuda berusia 23 tahun itu, sedikit lagi tiba di kediaman Neima. Sejak dari beberapa meter dia telah melihat sesuatu yang membuat perasaannya tidak enak. Fashion memarkirkan kendaraan di depan pagar yang terbuka lebar.
”Eeh, ada Bang Ion.” Aulia sedang mendorong pagar.
”Kak Nei dengan Hagia masih di dalam?” tanya Fashion. Berharap dugaannya salah.
”Baru pergi.” Wajah Aulia terlihat gelisah. ”Katanya hari pertama harus masuk kerja. Kak Neima pasti langsung ke sekolah,” tambah Aulia.
Fashion mengangguk. Segera ia memacu kendaraan di jalan yang mulai ramai oleh kendaraan. Ia tak langsung ke SMK. Fashion mengikuti mobil yang keluar dari rumah Neima itu ke dalam lingkungan Raudhatul Athfal (RA), sekolah tempat Hagia didaftarkan. Masih dari balik kemudi Fashion melihat seorang pria keluar dari mobil yang dia ikuti. Disusul oleh Neima dan Hagia.
Neima menggandeng tangan Hagia ke bagian dalam RA. Pria yang Fashion ketahui adalah ayah Hagia berjalan di belakang mereka. Itu adalah pemandangan yang mengharukan sebetulnya. Namun, sebagian besar hati pemuda di balik kemudi itu merasakan nyeri.
”Sebulan belakangan, Om Ion sangat nggak sabar mengantar Hagia sekolah. Om jahat, ya. Ngapain Om Ion sampai berharap hal yang seharusnya tidak boleh Om harapkan? Hagia berhak merasakan diantar ayah di hari pertama sekolah.”
Fashion melajukan kendaraan ke SMK setelah beberapa menit Neima belum juga muncul dari tempat hilangnya. Setiba di sekolah, guru Sejarah Indonesia itu berjalan dengan tak bersemangat.
”Hai!”
Pundaknya terasa ditepuk. Namun, suara si pelaku tidak terlalu dia dengarkan.
”Kak Neima!” seru Fashion dengan wajah sangat terkejut. ”Kak Neima?” Ia mulai ragu dengan matanya sendiri.
”Gini nih kalau jalan sambil melamun. Iya, ini Neima.”
”Bukannya Kak Nei di RA?”
”Kenapa aku harus di sana?”
Fashion gelagapan. Ia tak mungkin mengakui kalau tadinya dia mengikuti kendaraan yang Neima tumpangi.
”Kak Neima memangnya tidak mengantarkan Hagia di hari pertama sekolah?”
Neima melangkah. ”Ya jelaslah. Kau ….”
Neima tidak menyambung ucapannya. Perempuan itu berjalan dalam diam.
”Bagaimana Hagia dengan seragamnya? Pasti cantik sekali Hagia,” kenang Fashion.
”Kalau mau, istirahat pertama kita ke RA.”
Neima menjadi jalan di depan karena Fashion berhenti.
”Boleh, Kak?”
”Boleh kan di jam isitahat.”
Fashion membiarkan pemahaman Neima yang salah. Karena Neima sudah mengajaknya, Fashion akan bersuka hati. Hari pertama di tahun ajaran baru yang awalnya terancam mendung, tiba-tiba menjadi cerah.
”Kak Nei.”
Mereka sudah duduk di bangku ruangan kantor. Bersisian tentu saja.
”Apa?” Neima tak menoleh.
”Aku takut Kak Neima makin jauh.”
Barulah detik ini Neima menoleh kepada Fashion.
”Aku?” ulang Neima.
Fashion mengangguk. ”Ion takut Kak Neima … pergi.”
Neima tertawa tanpa suara. ”Nah, itu baru Fashion yang kukenal.”
Fashion hanya diam sambil memikirkan perkataan Neima.
”Sudah sarapan?”
Pertanyaan sederhana yang sangat bermakna. Hati Fashion Klein menggelembung senang. Pemuda itu menyukai perhatian-perhatian kecil dari Neima.
”Jangan sampai kejadian dulu terulang lagi. Badan aja gede, tapi fisik lemah. Kena panas sebentar pingsan.”
Jleb.
Neima sudah kembali ke mode asli. Namun, tak mengurangi kebahagiaan Fashion. Neima tetap saja mengungkapkan kepeduliannya.
***
Jam istirahat Neima menunjukkan kepada Fashion jalan kecil menuju sekolah Hagia. Fashion baru mengetahui kenapa Neima bisa sampai lebih dulu darinya ke SMK padahal sebelumnya masih di RA. Dengan berjalan kaki, mereka tidak perlu memutar di jalan raya, seperti jika naik mobil.
”Tuh anaknya,” tunjuk Neima ke rombongan anak kecil yang sedang bermain di depan kelas.
”Hagia yang mana, Kak?” Fashion kesulitan membedakan anak perempuan yang memakai seragam apalagi kepala mereka tertutup jilbab.
”Yang lagi melambai-lambai ….”
Penglihatan Fashion mengikuti arah pandangan Neima. Ia menghela napas. Hagia rupanya sedang melambai dengan semangat kepada ayahnya.
”Hagia!” Neima memanggil.
”Neyi!” Hagia pun berlari ke arah mereka. ”Om Ion! Yes!”
”Om Ion! Hagia cantik nggak pakai baju sekolah?”
Sebelum Fashion menanggapi, Hagia lebih dulu bertanya lagi, ”Hagia boleh pulangnya sama Om Ion?”
”Pulangnya dengan Daddy.” Seseorang menyambar jawaban yang akan Fashion berikan.
”Dedi tadi sudah antar Hagia. Kan harusnya gantian ya kan, Nei?”
Neima berjongkok. ”Pulang dengan … dia saja. Om Ion harus masuk kerja lagi.”
Hagia tampak sedih, tetapi anak itu langsung mengangguk. Dia pun berbisik di telinga Neima, ”Berarti Om Om nggak bisa pulang sama-sama Hagia?”
Dengan suaranya yang tidak dikecilkan, Fashion masih bisa mendengar.
”Aku harus kembali.” Neima tak menanggapi pertanyaan Hagia dan malah berdiri di sebelah Fashion.
”Hagia cantik sekali pakai baju sekolah.” Fashion menyentuh kepala Hagia.
”Hagia boleh pulang sama Om Ion. Kapan saja Hagia mau.” Jam pulang Hagia bertepatan jam istirahat kedua SMK.
”Yes. Kalau gitu, Hagia suka. Nei sama Om Ion kerja lagi. Nanti kena marah Bu Ida.”
Fashion melirik Neima. Bu Ida siapa yang dimaksud Hagia?
”VN aku kalau kau sudah tiba di rumah. Oke?”
”Iya, Nei.” Hagia memeluk erat Neima.
Perjalanan Neima dan Fashion kembali ke SMK dilalui dalam keheningan.
”Kak Nei nggak akan ke mana-mana ’kan?”
Pertanyaan yang dimulai Fashion membuat langkah kaki keduanya terhenti.
”Ion takut,” gumamnya.
Fashion memikirkan Hagia. Apalagi Neima. Jika Neima memutuskan kembali bersama ayah Hagia, Fashion tidak mungkin memaksa Neima memilih dirinya.
***
Bersambung ....
15 Mei 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro