Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

034 Sedikit Cerita Masa Lalu

Mobil menepi di rumah laundry. Harapan Fashion Klein bisa bertemu Neima dan memuaskan rasa ingin tahunya. Lagi-lagi ia kecewa. Kali ini puncak khawatir menyerang dada cowok bercelana selutut itu. Setelah di sekolah mendapati Neima menangis diam-diam, sekarang menemukan rumah Neima terkunci.

Hari beranjak senja. Matahari perlahan mulai digantikan oleh bintang-bintang. Fashion masih di sana menunggu sang empu rumah tiba. Tak ada lampu yang dihidupkan. Itu menandai bahwa Neima pergi sedari siang. Mungkin dia tidak berencana untuk meninggalkan rumah sampai malam sebab lampu tidak dinyalakan. Dan besok masih hari sekolah. Tak mungkin Neima membolos. Dahulu dia tanpa kabar karena Hagia sakit. Apakah .... Fashion cepat-cepat memeriksa teleponnya. Jangan-jangan memang betul Hagia sakit lagi.

"Ngapain di sana gelap-gelapan? Mau maling?"

Kedua lutut Fashion seketika melurus guna membawa tubuhnya dapat berdiri.

"Dari mana saja, Kak?"

Rumah Neima memang tak bercahaya, tetapi masih ada pantulan lampu jalan. Lagipula Neima hafal mobil milik cowok itu. Tak heran jika Neima langsung bertanya seperti itu dengan maksud tentu saja untuk menyindir. Memangnya sekelas anak mimi itu hendak mencuri apa dari rumah Neima?

"Dari mana-mana," jawab perempuan itu sembari membuka kunci rumahnya. Neima menekan sakelar untuk lampu teras.

Saat tempat itu telah disiram cahaya, terlihat jelas Neima yang mengenakan kaus lengan pendek. Pakaian itu menempel pas seukuran tubuhnya. Perempuan dengan rambut dicepol itu memakai celana panjang olahraga untuk membalut kaki panjangnya. Ketika Neima menunduk, Fashion pun bisa melihat bahwa perempuan itu memakai sepatu olahraga yang sedang dia lepaskan tali-talinya. Dapat ditebak tadinya Neima keluar untuk berolahraga.

"Joging?" tebak Fashion. "Kenapa malam sekali pulangnya?"

"Gak bisa memperkirakannya."

Jawaban Neima belum memuaskan. Namun, ada yang lebih mendesak untuk dilakukan terlebih dahulu. Fashion melihat jam di pergelangan tangan kiri.

"Boleh numpang kamar mandi, Kak?"

Neima menatapi Fashion sedikit lama, kemudian dagunya terangkat. Lelaki itu segera masuk begitu diperbolehkan. Suara air mengalir terdengar saat Neima ke dapur untuk membuka lemari es mengambil sebotol air mineral.

Fashion keluar dari kamar mandi dengan wajah basah. "Kak Nei punya sajadah dan sarung?"

Perempuan itu mematung dengan botol di tangan. Dia pun pergi ke kamarnya setelah meletakkan tempat air minum ke kulkas.

Fashion yang menunggu jadi gelisah sebab Neima lama sekali. Waktu semakin terkikis. Fashion ingin sekali menyusul ke tempat Neima pergi untuk mencaritahu apa yang terjadi dan kenapa Neima belum kunjung tiba.

"Nih!" Neima melempar kedua kain itu ke tubuh Fashion. "Udah tahu waktunya mau habis, kenapa malah duduk di depan dari tadi?"

Neima berdecak. Pasalnya, sulit sekali menemukan sajadah yang diminta dalam lemari. Neima yang sadar bahwa waktu salat hampir usai terpaksa menarik asal-asalan ketika benda itu kelihatan di antara susunan baju paling bawah. Itu menyebabkan susunan pakaiannya berantakan.

"Takut gak ketemu," balas pemuda itu mulai menggelar sajadahnya.

Neima tak memedulikan. Ia masuk ke kamarnya untuk mengambil baju ganti dan handuk. Saat hendak ke kamar mandi, rekan kerjanya itu masih dalam posisi duduk di atas alas sembahyang. Neima melanjutkan kegiatan pribadinya.

"Kenapa sepi? Ibu dan Hagia mana?" Fashion membatin selesainya salat Magrib.

Aroma segar sabun mandi terlebih dahulu menyapa penciuman Fashion. Diikuti hadirnya sosok Neima sambil menggosok rambutnya. Pakaiannya juga telah berganti menjadi piyama berwarna abu-abu tua. Lengan baju pendek dan celananya panjang.

"Sudah?" tanyanya duduk di bangku.

Masih berbalut kain sarung Fashion meletakkan sajadah ke punggung sofa lainnya dan menjatuhkan tubuhnya di sana. "Iya. Kakak?"

Neima memutar bola matanya. "Kalau sudah, pulang."

Pengusiran itu tidak diindahkan olehnya. Fashion mengambil jam tangan dari saku kemudian memasangnya.

"Kok sepi? Ibu Kakak mana? Hagia juga gak kelihatan."

Gerakan Neima terhenti dari mengeringkan rambut. Dia meletakkan handuk kecil di sebelah tangannya. Tatapan Fashion kini tertuju kepada rambut yang kusut tersebut. Lambat laun turun ke mata Neima yang memerah.

"Kak?"

"Hagia dibawa Ibu."

Terkuak sudah jawaban dari pertanyaan Fashion. Neima bersedih karena berpisah dengan putrinya.

"Kapan diajak ke sini lagi?"

"Entah. Mungkin waktu akan masuk TK."

"Kenapa?"

"Kenapa kau ingin tahu? Ini sudah larut, kau tahu pintu keluarnya."

"Iya." Fashion berdiri dan melepaskan kain sarung lalu melipatnya baik-baik. "Karena sudah malam, waktunya untuk makan. Cari makan di luar, yuk."

"Cari sendiri."

Fashion menggeleng. Sebelah tangannya tersimpan di saku jeans pendek. "Berdua. Kakak juga belum makan."

"Aku sudah makan atau belum tak ada hubungannya denganmu. Kuminta kau pergi, terserah mau makan atau pulang."

Fashion duduk lagi. Ia melihat Neima mulai mengeluarkan taringnya. Sudah dibilang, Ion gak takut lagi, pikirnya.

"Jangan bikin orang tambah kesel, deh!"

"Kesal juga butuh makan. Ayo, kita makan."

"Dibilang enggak! Mau kulempar kepalamu?"

"Terserah Kakak saja asal kita makan."

"Lama-lama," geram Neima. Ia berdiri, "Pulang gak?!"

"Gak."

"Fa—"

"Hm." Fashion mengubah duduk jadi posisi bersila kemudian menopang dagunya dengan tangan yang bertumpu di kaki. "Makin lama dilihat, Kak Nei makin manis."

"Apa? Ketinggalan di mana isi otak kau?"

Fashion masih dalam posisi yang sama. Ia mengangkat kedua bahu.

"Makin kacau aja hariku," keluh perempuan itu dengan wajah merengut.

Neima duduk lagi dan menggosok-gosok kasar rambutnya menggunakan handuk yang tadi. Kemudian dia tersadar bahwa dirinya dalam penampilan yang kacau ketika Fashion berkata 'manis'. Lantas dia melempar handuk basah itu ke wajah Fashion.

"Manis mulutmu!" berangnya.

"Kakak yang manis," ralat Fashion.

"Ck. Apa maumu sih?"

Fashion hanya bergeming sambil tersenyum menatap raut kekesalan Neima.

"Awas kau!" Neima beranjak ke kamarnya.

"Jangan lama-lama, Kak! Cepat berangkat, kita cepat pulangnya, dan Kakak bisa istirahat lebih cepat."

"Kusantet juga  lama-lama!" teriak Neima.

"Gak perlu! Sudah kena pelet, kok." Lelaki itu menyengir sendirian.

Neima kembali dengan rambut yang telah disisir, meski masih lembab. Ia memakai jaket rajut di atas piyamanya.

"Cepat."

"Alhamdulilah," ucap Fashion dan mencegat langkah Neima. Dia berdiri di depan Neima agak membungkuk. "Kakak cantik sekali."

Neima memukul kepala Fashion yang pas sekali di depan kepalanya.

Dalam mobil sambil melihat ke kanan dan kiri untuk menemukan rumah makan, Fashion melirik Neima sejenak. "Saya belum sempat mengajak Hagia main. Sudah rencana, tapi belum terlaksana."

"Ke mana?" tanya Neima tanpa menoleh.

"Pertama, ke mall."

"Kenapa ke mall?"

Fashion menemukan sebuah angkringan yang cukup ramai. Kendaraan roda dua dan roda empat diparkir di pinggir jalan.

"Kakak mau makan apa? Sampai lupa," tanyanya ketika telah berhenti.

"Terserah. Yang mau makan kamu," ujar Neima tak acuh.

"Terserah terus dari tadi. Makin mudah sayanya." Fashion melirik Neima yang masih tidak peduli dengan perkataannya. "Kalau begitu, kita makan di sini. Kelihatan banyak pelanggannya."

"Ter—"

"Tersayang," sela Fashion cepat-cepat.

Neima mendelik.

"Itu kata teman saya kepada Mimi."

Neima lebih tak ingin peduli. "Saya juga jadi suka mengucapkannya. Ayo, kita turun! Kakak gak minta saya gandeng 'kan?"

Sebelum Neima menidakkan, Fashion menyambung, "Soalnya saya takut ketagihan padahal gak boleh."

"Kenapa dengannya?" bisik Neima bergeleng-geleng melihat keajaiban cowok itu yang baru dilihat dan dirasakannya.

Fashion yang turun duluan sedang menunggu Neima beberapa langkah dari kendaraan mereka. Neima melihat ke warung dan kepada penampilan laki-laki bercelana selutut, lalu kepada dirinya sendiri. Pas.

Sedikit sulit menemukan meja yang kosong. Mereka harus menunggu beberapa menit sambil terus mengedarkan pandang ke area rumah makan yang padat. Keduanya melihat sebuah meja baru saja ditinggalkan oleh seorang laki-laki paruh baya dan remaja perempuan. Tampaknya memang tempat yang mereka pilih adalah rumah makan keluarga. Beberapa meja yang agak besar diisi oleh keluarga dengan anak serta barangkali kerabat. Hanya dua atau tiga yang datang berpasangan, termasuk Neima dan Fashion.

Setelah mengatakan pesanan mereka: gulai cincang kikil untuk Fashion dan Neima yang memilih tumis jamur dan jagung, kini keduanya mengedarkan pandangan ke sekitar tempat duduk. Malam itu, mereka menemukan rumah makan yang dari luar terlihat sederhana dan di dalamnya penuh oleh orang-orang. Begitu melihat kertas menu, tak salah lagi tempat itu diminati karena harga-harga yang sesuai kantong.

"Saya ketemu Hagia pertama kali di mall," kata Fashion mengisi waktu sembari menunggu makanan mereka tiba.

Topik yang dibawakan berhasil menarik perhatian Neima. "Kapan? Dia tidak pernah ke mall di kota ini. Belum."

"Dua tahun lalu di Padang."

"Dua tahun lalu?" ulang Neima. Suaranya tercekat.

Fashion mengangguk. "Dia mencari Neyi."

Kelopak mata Neima bergerak-gerak. Dia memutar lehernya agar tidak menghadap ke wajah Fashion.

"Saya ingin menunggu sampai Hagia bertemu dengan kakaknya. Waktu saya tanya, apa Nei adalah kakaknya, Hagia bilang iya. Saya harus pulang karena Mimi menelepon. Hagia saya tinggal bersama kakak-kakak di pusat informasi."

"Kau yang bantu Hagia?"

"Hm. Saya tidak pernah lupa dengan nama anak itu dan nama Kakak. Saya melihat nama Hagia di kertas selebaran jasa laundry. Saya langsung mencari ke alamat Kakak."

"Hagia membuat banyak orang terkesan," bisik Neima. "Aku ingin berterima kasih, walaupun sudah terlambat."

Saat itu, Neima siap kehilangan Hagia. Tiba-tiba ada pengumuman anak hilang dan Neima kembali dipertemukan dengan Hagia. Berbeda dengan sekarang, berpisah dengan Hagia adalah sebuah siksaan. Detik ini Neima sangat merindukan Bahagia Hingga Janna-nya.

"Kenapa namanya Bahagia Hingga Janna, Kak? Kakak yang memberikan nama itu?"

"Neneknya. Ibu ingin nama yang penuh arti."

Fashion membenarkan, "Artinya bagus sekali. Selain nama yang cantik, maknanya juga baik."

"Ya, dia cantik." Senyum terulas di bibir Neima. "Baru sehari tidak bertemu. Udah kangen banget."

Makanan mereka sampai. Neima yang tadinya tidak berniat makan, tak kuasa menahan gurihnya jamur dan manisnya jagung yang dibumbui pas dengan kecap. Lidahnya dimanjakan oleh rasa gurih, pedas, dan asin yang pas di indra pencecapnya.

"Setiap makan yang enak, aku ingin membawanya pulang untuk Hagia," kenang Neima.

"Kenapa Hagia diajak Ibu?"

"Karena aku. Kondisi tidak memungkinkan. Aku tidak bisa membawa Hagia ke sekolah. Mereka tidak senang melihat Hagia. Hagiaku tidak mengganggu mereka. Iya kan? Tidak menggangguku juga."

"Jadi Kakak ingin menyekolahkan Hagia di sini?"

"Hm. Di sebelah SMK ada TK. Dia bisa di sana sampai aku pulang. Ada penitipan anak."

"Kenapa tidak mulai dari sekarang Hagia dititipkan di sana? Agar Kakak bisa bersama Hagia."

Neima tertawa kecil. Selama gaji belum ia terima, mana bisa Neima menambah pengeluaran untuk itu. Bahkan sebelum pulang, Meida meninggalkan uang untuk pegangan Neima. Ibunya tak pernah diberitahu bahwa Neima belum menerima gajinya. Namun, Meida tetap bersikeras memberikan uang itu. Seolah ibu tahu apa yang sedang dihadapi putrinya.

"Aku akan terbiasa. Ya ... walau selama ini aku selalu bersama Hagia bahkan saat aku tidak inginkan dia."

Air mata Neima meluruh tanpa ia cegah. Tanpa disadari, sejak bayi, Hagia terus berada di sekitar Neima. Mereka tak pernah berpisah.

"Pasti."

Lupakan adegan menggenggam tangan wanita yang disayang. Fashion tak berani melakukan itu, meski ia ingin.

*** 

Bersambung ...

4 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro