031 Satu Regu
Sorry lama update, internet susah banget di sini hehee.
Waktu Fashion baru tiba di kantor, beberapa orang tampak meramaikan mejanya. Ternyata mereka tengah mengerumi Neima yang sedang memegang sebuket uang. Sebuah hadiah tanpa nama berisi lembaran merah yang banyak sekali.
Ketika Fashion berjalan mendekat, barisan tersebut memberikan Fashion ruang. Hanya satu orang yang menatap wajah Fashion dengan maksud selidik. Fashion yang tidak tahu apa-apa menggeleng kepadanya. Dia merasa bahwa Asumi menunjuk dirinya sebagai biang keladi kerusuhan tersebut.
"Penggemar Bu Neima sepertinya beruang," kata Bu Badriah yang Fashion bisa tangkap saat bokongnya menyentuh bangku.
Fashion meletakkan tas laptop di atas meja. Ikut duduk agak miring demi bisa mengintip rupa buket dari orang kaya tersebut.
"Hai, ada apa di sana?" seru seseorang dari depan pintu.
Kumpulan di meja Fashion dan Neima teralih perhatiannya. Ibu-ibu berteriak dan yang agak muda berlari menyambut seorang perempuan bertubuh tinggi yang baru sampai.
"Waaah! Kangen!" teriak ibu guru perempuan memeluk seseorang yang belum pernah dijumpai oleh Fashion dan Neima, juga Asumi serta Dena.
"Bagaimana operasinya? Lancar? Maaf, kita tidak bisa jenguk kamu."
"Lancar dan, yah, beginilah sekarang. Harus jalan pelan-pelan seperti keong. Gerak agak sedikit kasar, di sininya masih perih," kata perempuan itu menekan perut bagian bawah. "Katanya ada empat yang baru. Mana?" Dia agak menjulurkan kepalanya ke bangku Neima. Lalu menunjuk, "Oh di sana!" Dia berjalan perlahan menemui empat CPNS di SMK tersebut.
Tangannya terulur kepada Asumi terlebih dahulu, "Maya," ucapnya sambil tersenyum. "Ibu?"
"Asumi."
Kepada Dena juga dia melakukan perkenalan yang sama. Terasa hangat dan akrab. Maya maju dua langkah memutari meja Fashion.
"Maya, Pak. Pak ...."
"Ion," jawab lelaki berseragam olahraga tersebut.
"Nama yang unik," ungkap Maya, lalu kepada Neima, "Maya," katanya dan mengangsurkan tangan.
"Neima."
Maya kemudian mengangguk. Dia duduk di sebelah Neima yang terpisah oleh lorong seukuran bisa lewat satu orang.
"Guru baru sudah punya pengagum dermawan," ucap Maya tanpa ekspresi berarti.
Neima menoleh dan mengangkat kedua bahunya. Dia meletakkan buket tersebut. "Ini membuat heboh pagi-pagi."
"Tak apalah, ambil saja. Kalau bunga, boleh deh kalau mau dibuang ke tong. Ini uang." Kedua bibir Maya melebar tanpa menunjukkan gigi.
Neima bersandar. Pandangan ke depan melewati ambang pintu dan menatapi lalu lalang siswa di gedung seberang. "Mau dipulangkan, tidak tahu alamatnya." Neima berpikir akan menyedekahkan uang tersebut ke panti asuhan sepulang ia nanti.
"Kantongi saja. Hidup serba susah, gak perlu gengsi," kedip sebelah mata Maya seakan ia cuma bercanda.
Sementara Neima merasa Maya tengah menyindir dan merendahkan dirinya. Memang betul Neima butuh uang, tetapi tidak menyebabkan ia mengambil uang tersebut. Jumlahnya sekitar tiga jutaan malahanbisa saja lebih dari itu.
"Boleh saya lihat?"
Pertanyaan Fashion menyentakkan kedua guru wanita yang sedang berdiskusi santai. Neima menyerahkannya kepada Fashion.
Begitu memegang buket tersebut, Fashion berdiri.
"Kak Nei ikut?" tanyanya.
Neima melirik tanpa menoleh ke arah Maya, kemudian berjalan bersama Fashion.
"Mau kau bawa ke mana itu?"
Sementara ketika mereka berdua berjalan di lorong-lorong kelas yang dilewati siswa, tidak sedikit anak sekolahan tersebut yang terkejut. Mereka berbisik-bisik mengenai kemungkinan Fashion hendak memberi Neima buket mewah. Dengan kaki yang dibalut celana trening orange, mudah saja bagi Neima menyamai langkah Fashion.
"Mau diapakan?" tanyanya ulang.
Fashion mengarah ke lapangan.
"Fashion!" panggil Neima sempat tertinggal karena berhenti sebentar akibat merasa bingung ingin ikut atau tinggal saja.
"Kak Nei," panggil Fashion berhenti. "Taruh di mobil saja. Kalau Kakak yang bawa pakai motor, terlalu menarik perhatian."
"Aku tidak bermaksud ingin membawanya ke rumah," tolak Neima.
"Mau Kakak buang?"
Perempuan berpasmina hitam itu menggeleng. Mereka bergerak lagi menuju arah parkir roda empat.
"Lalu?" Neima bertanya setelah Fashion meletakkan benda tersebut ke bangku tengah mobilnya.
"Simpan saja, sambil menunggu yang ngasih ini menunjukkan diri. Emang mau Kakak taruh di UKS?"
Neima kembali menggeleng.
"Mungkin orang yang meletakkan ini salah meja," gumam Neima. "Apa mungkin hadiah itu untuk Ibu Maya? Bisa jadi kan?"
Neima ingin mengambil buket tadi dan Fashion menghadang langkahnya.
"Kakak ingin apa?"
"Bawa ke kantor. Itu milik Bu Maya."
"Kata siapa?" Fashion menatap Neima tegas.
"Kau dengar sendiri tadi. Bu Maya mungkin yang dituju oleh orangnya." Neima merasa disindir habis-habisan oleh rekan kerja yang baru dijumpai pertama kali tersebut. "Ada orang yang mengucapkan selamat datang kepada Bu Maya."
"Meja itu kosong sejak kita masuk," sergah Fashion, "dan siapa pun yang mengantarkan ke dalam, tahu kalau meja di sebelah yang kosong adalah tempat Kakak."
"Kalau itu untuk Bu Maya?" tolak Neima keras.
"Dan kalau itu untuk Kak Neima?"
"Aku tidak mungkin mendapat hadiah seperti itu."
"Kenapa tidak mungkin?"
Tak ada yang bisa Neima katakan. Segila apa orang yang sudah meletakkan tumpukan uang di mejanya itu?
"Kalau Kakak kenal sama orangnya, apa Kakak akan menerima hadiah yang diberikannya?"
"Hadiahnya untuk apa?"
"Bisa jadi karena ingin membuat Kakak senang? Atau bisa jadi dia mengungkapkan perasaannya?"
"Malah melantur jauh omonganmu. Ayolah masuk kelas."
Fashion membuang napas keras-keras.
Siapa orang itu?
***
"Bang."
Fashion mengempaskan bobot tubuhnya pada bangku panjang di hadapan Arjun. Minggu ini jadwalnya pulang untuk bertemu Mimi. Tak pernah Fashion tetap di indekos apabila akhir pekan. Ia rutin pulang karena dia bisa membantu butik semampu dan sesempatnya.
"Rokok?" tawar laki-laki pemilik warung makan tersebut.
Bukannya menyahut yang benar, Fashion malah meracaukan sesuatu, "Ion suka dia. Ion sayang banget sama orang itu."
Sebelah sudut bibir Arjun terangkat. "Tapi ...."
Fashion angkat bahu. "Ion gak tahu caranya. Rasanya mau bilang suka aja bakalan dibentak, dimarahi, mungkin sampai dia gak mau lagi Ion dekat dengan dia."
"Tipe lo yang begitu? Kok bisa?"
"Memang kenapa?"
Arjun membentuk persegi panjang dengan kedua jari telunjuk dan jempol. Dia sipitkan mata seakan membidik Fashion menggunakan kamera paraloid.
"Dia kebalikan lo. Anggaplah begini, lo lidah dia gigi. Macam-macam dikit saja, lo bisa digigit sampai putus."
"Terus, Bang," lanjut Fashion, "ada yang suka dengan dia. Belum-belum sudah ada yang nikung." Anak Mimi Riris itu menggaruk lehernya.
"Sebelum namanya tertulis di buku hijau, dia masih bisa dijangkau. Lo tenang aja, jodoh takkan ke mana."
"Walau gak ke mana-mana, tetap tidak jodoh."
Arjun tergelak. "Suka benar lu," katanya paham bahwa Fashion sedang menyindir nasib cintanya.
"Masalahnya lagi, dia sudah pernah punya buku hijau."
"Ape?!" teriak Arjun dramatis.
Fashion mengerut di bangkunya. "Ion sayang dia, Bang. Gak tega melihat dia kebingungan menjaga anaknya sambil bekerja. Dia tidak suka Ion tolong. Apa yang Ion harus lakukan agar Kak Nei tahu kalau Ion ingin selalu bantu dia dalam semua hal?"
Arjun memeluk Fashion. Meskipun Fashion menyentak ingin dilepaskan, Arjun malah merangkul lebih erat sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Kita satu tim."
Fashion lekas melepaskan diri.
"Pertama yang harus Ion lakukan," ujar Arjun berkata dengan manis seolah bicara dengan anak kecil, "jangan anggap dia kakak. Tempatkan dia sebagai wanita. Lu mau jadi kekasih atau adek dia?"
Fashion tak menjawab.
"Kalau ingin jadi kekasih, jadilah pria. Model lo begini kalau sama dia paling lo dianggap gak ada apanya karena lo sendiri yang membuat diri lo lebih kecil dari dia, meski emang betul usia dia lebih banyak."
"Cuma empat tahun," sela Fashion.
"Jadi pria, itu aja. Wanita itu suka didengar. Bikin dia mau menjadikan elo sebagai tempat pulang, tempat dia menceritakan beban. Dia gak suka dibantu, coba lo usaha menjadi sandaran. Dan jangan menye-menye, please."
"Bang Arjun mau lihat orangnya?" tanya Fashion bersiap memperlihatkan kontak WhatsApp Neima.
"Gak usah. Penting banget gitu gue tahu?" ejek pewaris rumah makan tersebut. Dia menyeruput sisa kopi yang telah dingin. "Yon."
"Empat tahun itu gak terlalu jauh, sih." Arjun membenarkan Fashion. Dia bahkan mengatakan sambil mengangguk-angguk. "Panggil namanya aja kali."
"Gak." Fashion dengan tegas mengatakan keberatannya.
Arjun mencibir, "Mana sopan kayak gitu, Bang Arjun," ujarnya meniru gaya bicara anaknya Mimi Riris.
Fashion tak menyela bagian itu.
"Mari saling support, Bro," ucap Arjun di penghabisan pertemuan mereka malam itu.
***
Bersambung ....
28 Desember 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro