028 Tak Sejalan dengan Pikiran
Meski sudah dilarang, dijuteki, dan dimarahi, nyatanya cowok itu tetap melajukan kendaraan menuju kediaman seorang janda galak. Mobilnya telah menepi dengan pelan saat sebuah sepeda motor keluar dari rumah yang ia tuju.
Fashion Klein menautkan alis heran. Saat itu hari masih terlalu dini untuk berangkat sekolah. Namun, rekan kerja sekaligus tokoh utama dalam otaknya telah rapi dan siap berangkat. Padahal, Fashion sendiri sudah datang pagi-pagi sekali untuk mengantisipasi hal ini.
Pengendara sepeda motor itu tidak menyadari kehadiran Fashion. Roda dua ia lajukan cepat membelah kelengangan jalan. Fashion pun mengikuti dari belakang. Kedua tangannya mencengkeram setir erat-erat ketika melihat wanita dengan pasmina hitam itu turun dari kendaraan membawa sebuah plastik. Di atas sepeda motornya, anak kecil berjaket putih duduk dengan merebahkan kepala di atas setang. Wanita itu kembali mengegas sepeda motornya ke tempat lain yang bukan sekolah. Lagi-lagi dia mengetuk sebuah pagar rumah orang lain untuk mengantarkan paket. Barulah sepeda motor matic itu berputar haluan menuju jalan ke tempat kerja.
Neima Devira
Semua yang disaksikan oleh Fashion Klein pagi ini membuat isi kepalanya gelisah. Dia ingin menarik kedua perempuan itu naik ke mobilnya saja agar sang anak dapat melanjutkan tidur dan sang ibu tidak kedinginan berkendaraan.
"Om Ion!" teriak anak kecil berambut kusut sambil melompat-lompat.
Ibunya juga ikut berhenti menanti Fashion.
"Hagia," jawabnya dengan menekuk kedua lutut, melihat wajah si gadis kecil dan menyadari bahwa Hagia belum mandi. Pasti sang ibu langsung membawanya sebangun tidur.
Tampaknya Hagia menyadari keadaannya. Dia ketawa sambil menutup mulutnya. Matanya yang ceria begitu manis dan menghibur. Pelan-pelan Hagia mundur dan bersembunyi di belakang tubuh ibunya. Ia mengintip sebentar juga sambil tertawa.
"Pagi, Kak Ne," sapa Fashion begitu bangun dari posisinya.
Neima melihatnya sejenak, lalu berkata, "Ayo," dan membimbing tangan Hagia. Mereka berjalan bertiga.
"Hagia ikut lagi?"
Sapaan tersebut menyambut kedatangan Neima. Pertanyaan yang tak perlu dijawab itu seakaan sindiran bagi diri Neima. Ia tahu bahwa ini terlihat tidak profesional saat kau membawa keluargamu ke tempat kerja, selain pada acara khusus bagi keluarga karyawan. Bukankah Neima telah mengantongi izin? Apakah ia harus mewartakan ke seluruh orang bahwa Pak Gufran sudah mengokean? Walau izin itu terdengar terpaksa, sih, pikir Neima. Untuk itu, Neima hanya tersenyum, tetapi ...
"Iya, Bu Badia." Hagia yang mendahului. "Kita nanti cerita-cerita lagi, ya." Hagia menguap setelah itu.
"Ngantuk?" tanya Bu Badriah. "Hagia tadi nggak mandi dulu, ya? Ih bau," canda Bu Badriah.
Hagia yang terlalu ngantuk tak lagi menanggapi perkataan itu. "Hagia apa boleh tidur lagi?"
Neima bergumam. Ia menyiapkan alas seperti kemarin dan menepuk-nepuk bantal kecil dari debu. Jaketnya sendiri dilepas untuk selimut Hagia.
Fashion ingin melakukan sesuatu, tetapi apa? Ia sangat membenci kepalanya yang tak membantu sama sekali saat hatinya sudah berteriak bahwa ia tak bisa membiarkan Neima dan Hagia menjalani kehidupan yang seperti itu.
"Kak Neima baik-baik aja?"
"Kenapa denganku?" Neima menjawab secuek biasa sambil mengoreksi buku tulis di atas mejanya. Ia tak menoleh sama sekali.
"Saya ingin tahu apa Kak Nei mungkin membutuhkan sesuatu."
Neima bergumam saja.
"Bagaimana dengan orang yang akan menggantikan Kak Aulia?"
Neima akhirnya melihat Fashion saat tangannya tak lagi bergerak di atas kertas. Jemarinya tetap mengapit pena.
"Lebih baik kau tidak memulainya. Aku membenci orang-orang yang berusaha masuk ke ranah pribadiku."
Fashion mengangguk, tak lagi bicara apa pun. Bel lalu berbunyi. Neima membangunkan Hagia untuk pamit ke kelas. Fashion juga bersiap kemudian langkahnya ditahan oleh Asumi. Kelas mereka di arah yang sama. Mereka berdua melihat Dena dan Neima berjalan bersama.
"Jadi betul?" selidik guru yang memeluk buku paket serta mencangklong kotak pensil tersebut.
"Betul apa?"
"Perhatian khusus itu hanya untuk Kak Nei-mu saja, bukan ke seluruh orang. Sayangnya, Kak Nei sembunyi di balik durinya ... bukan mawar, lebih tepatnya seperti landak. Dia akan menembak saat ada yang mengganggunya."
"Saya tidak mengganggu?" Awalnya ia yakin dengan apa yang akan ia katakan, sampai di akhir ia pun ragu-ragu.
"Kita semua tahu, Pak Ion. Neima tidak suka membicarakan tentang dirinya secara personal. Pak Ion melanggar itu."
"Tapi maksud saya, saya tahu beberapa hal. Saya ingin membantu sebisa saya. Apa itu salah?" Justru salah kalau dia diam saja.
"Betul, sebagai sesama, kita wajib tolong-menolong. Masalahnya ini Neima. Dia gak suka dibantu. Dia mungkin menganggap semuanya bisa dia atasi sendiri."
"Walau dia kesulitan?"
Asumi mengangguk. "Banyak yang perhatian kepada Pak Ion. Aku pikir, mereka juga tahu sekarang Pak Ion lagi suka sama Neima. Pelan-pelan aja. Perempuan yang pernah gagal, akan sulit mengizinkan dirinya untuk memulai lagi. Jangan sampai karena orang lain tahu, akibatnya justru membuat Pak Ion tidak bisa menjangkaunya sama sekali."
Fashion terdiam. "Saya suka apa?"
"Jangan bilang Pak Ion kasihan. Jarang ada orang yang terima dirinya dikasihani. Itu menyedihkan sekali. Sukailah dulu kelebihannya. Lengkapi kekurangannya."
Asumi berbalik karena kelasnya sudah kelewatan.
"Sekarang sudah boleh?" bisik cowok 21 tahun itu teringat obrolannya dengan Arjun malam itu.
Sepanjang hari Fashion tidak menegur Neima sama sekali. Meja yang berdempetan, penghuninya seakan berada di belahan dunia yang berbeda. Neima di utara dan Fashion di selatan. Namun, diam-diam cowok itu mengaktifkan radarnya. Dia tahu dan dengar semua yang dilakukan serta diobrolkan si ibu dengan anaknya. Tak ingin kehilangan satu momen.
Kalem.
Sesampai di rumah kos, Fashion berusaha agar dirinya tidak mendatangi kediaman Neima. Ia bolak-balik buka media sosial yang sejak tidak aktif di dunia fashion show, mulai dikuranginya. Dahulu berguna sekali untuk branding. Ia melihat-lihat jejaknya di bidang itu dan mengenang betapa bahagia saat rancangannya dikenakan model berjalan di catwalk. Ada fotonya mengangkat piala saat gaun buatannya memenangkan kompetisi.
Nostalgia itu membuat waktu berlalu tanpa terasa. Itu juga karena Fashion ketiduran dan saat bangun sudah pukul enam sore. Fashion cepat-cepat duduk dan membersihkan dirinya. Tanpa diperintah otak, kaki telah berjalan menuju mobil. Beberapa menit kemudian berhenti di depan rumah Neima. Tak ada cucian sama sekali yang ia bawa.
"Sebentar aja." Ia memberanikan diri. Terlanjur sampai sana, lebih baik masuk sekalian karena kedatangannya tidak membawa niat jahat.
Sebelum mengucapkan salam, Fashion melihat tuan rumah tertidur di atas kursi tempat menyetrika pakaian. Di sebelah lengannya yang diimpit kepala ada setrikaan yang menyala. Pemuda itu buru-buru mendekat dan menjauhkan benda panas itu dari yang punya. Tak lupa Fashion mengecilkan setrikaan tersebut.
Sekarang ia jadi serba salah berdiri di sana. Apakah ia pulang saja? Atau duduk dan menunggu Neima bangun? Ngapain duduk di rumah orang seperti gak ada pekerjaan? Sanggah batinnya.
Diam-diam ia memperhatikan separuh wajah Neima yang kelihatan dari posisinya berdiri. Tidur wanita itu cukup pulas. Kasihan melihatnya ... Fashion lantas menggeleng agar otaknya berhenti mengatakan kata tersebut. Melihat Neima tertidur sambil bekerja membuat ia tidak suka. Ingin memindahkan Neima ke tempat tidur, tapi sayang ia tidak bisa. Fashion memandangi wajah yang berkilau di bawah cahaya lampu tersebut. Muka Neima saat di rumah sama sekali tidak dipoles apa-apa. Begitu juga bibirnya. Rambutnya juga hanya diikat asal-asalan tanpa disisir.
Tak ingin memandangi wanita itu lebih lama lagi, Fashion pergi ke bangku tempat ia biasa duduk. Penglihatannya diedarkan ke halaman. Ia menemukan sesuatu yang membuat ia tidak bengong. Fashion berdiri dan ke halaman lalu mulai mengangkati jemuran satu per satu. Dia mengelompokkan satu-satu pakaian berdasarkan tempatnya dijemur. Jangan sampai Neima kesusahan membedakan pemilik dari pakaian-pakaian tersebut.
Ternyata mengangkat jemuran hanya menghabiskan waktu sepuluh menit. Setelah meletakkan pakaian dalam beberapa kelompok, Fashion menganggur lagi. Ia enggan pulang. Takkan tenang batinnya meninggalkan rumah Neima saat penghuninya tengah tidur, sementara pintu tidak dikunci.
"Nei! Nei!" Hagia datang dari dalam. Ia baru saja mandi dengan handuk melingkar di tubuhnya.
"Sstt." Fashion menempelkan telunjuk di hidung.
"Ada Om Ion." Hagia tersenyum menyambutnya.
"Nei ketiduran lagi? Bener 'kan Nei capek," keluh Hagia.
Gadis cilik itu kembali ke dalam. "Om Ion, ayo masuk." Tak lupa menawarkan kepada tamunya.
"Hagia pakai baju dulu. Bentar, ya."
Fashion berdiri di tengah-tengah rumah memperhatikan sekeliling. Dinding polos bercat putih. Tidak ada bingkai foto atau hiasan lainnya. Hanya terdapat jam dinding di sebelah pintu kamar yang tadinya dimasuki Hagia. Agak ke belakang ada lorong yang kemungkinan adalah dapur. Sebelum lorong ada pintu lagi yang menandakan sebuah kamar. Ruang tamu sendiri cukup kecil dengan empat buah sofa berbeda ukuran. Benar-benar sebuah rumah yang minimal-is.
"Om Ion gak kelamaan nunggu Hagia?" tanya putri kecil seperti orang dewasa bicara.
Fashion menggeleng.
"Kenapa udah malam baru mandi?"
"Keasyikan nonton," aku bocah itu tanpa malu. "Nei gak ngingetin, rupanya tidur. Nei aja belum mandi tuh."
Fashion mengangguk. "Belum mandi aja cantik," pikirnya tanpa sadar melenceng ke pemandangan yang tak ingin dia lihati berlama-lama tadi.
"Om duduk aja di sana. Hagia kalau ada tamu disuruh Nei ambilkan minum. Bentar, ya." Hagia berlari ke belakang, mungkin akan meletakkan air minum kalengan atau botolan lagi.
"Minumnya, Om. Es teh manis. Bikinan Hagia sendiri loh," pamernya. Ternyata bukan kedua, melainkan sebuah gelas ukuran jumbo.
Hagia tidak meletakkan segelas besar minuman dingin tersebut di atas meja, melainkan menyuruh Fashion mengambil alih.
"Pintar udah bisa bikinin minuman," puji Fashion hendak meletakkannya di atas meja sebelum Hagia menyela.
"Diminum. Langsung dihabisin."
"Iya, Om Ion minum pelan-pelan," jawabnya.
"Om beneran mau jadi langg4nan londri Hagia? Orang lain gak mau datang ke sini. Kata Hagia gak apa-apa, gak usah banyak yang datang. Lihat Nei kerja sendirian, Hagia gak bisa bantu. Hagia ingin bantu cuman gak ngerti caranya. Hagia jadi gak suka ganti baju. Nanti Nei makin banyak cuciin bajunya Hagia. Kan Hagia gak bayar."
Gelas es tersebut dikosongkan dalam sekejap oleh Fashion setelah mendengar keluhan Hagia.
"Enak 'kan es buatan Hagia. Hagia tambah lagi. Sini gelasnya," katanya merebut wadah dari tangan Fashion. Dalam sekejap ia datang lagi membawa minuman yang sama.
"Hagia buatnya banyak. Habisnya kemanisan jadi Hagia tambah air banyak-banyak. Tehnya juga Hagia cemplungin dua lagi deh. Nih, Om."
Untuk menghargai usaha Hagia, Fashion meminumnya sampai tandas sekali lagi.
"Perut Om Ion sampai gendut. Tehnya enak. Terima kasih, ya." Fashion menahan baju Hagia waktu hendak kembali ke belakang. "Cukup dua gelas aja."
"Hagia pagi-pagi udah bantuin ibu." Fashion membesarkan hati anaknya Neima. "Kalau ibu tahu Hagia gak tukar baju karena berpikir akan membantu ibu, nanti yang ada ibunya salah paham. Katanya Hagia jorok lagi."
"Hagia mau cuci baju sendiri cuman nanti gak bersih."
"Bantu ibu mudah aja, kok."
"Om Ion tahu?"
Fashion mengangguk yakin. "Tetap sehat dan tetap senyum yang cantik di depan ibu."
"Gitu aja?"
"Ibu kalau lihat Hagia sedih, pasti akan sedih juga. Pikirannya akan bertambah selain mikirin pekerjaan."
"Om," bisik Hagia.
"Apa?" Fashion mendekatkan telinganya sambil berbisik juga.
"Kalau pekerjaan biar bisa dapat uang yang banyak, Om Ion tahu caranya?"
"Uang banyak itu untuk apa?"
"Dikasihin Nei supaya Nei gak kerja sampai ketiduran lagi. Kalau Nei ketidurannya di kelas kakak-kakak SMK gimana?"
Mereka terus mengobrol dengan asyik dengan Hagia yang mengajukan bermacam-macam model pertanyaan. Sementara itu di depan, Neima tersentak kemudian cepat-cepat memeriksa baju yang ia setrika. Ia merasa lega begitu melihat setrikaan terletak di tempatnya sendiri dalam posisi sleep. Neima bangkit dari kursi dan meregangkan badan.
"Nei, baru bangun?"
Neima kaget mendengar suara tersebut. Dari depan terlihat ibunya datang dengan membawa satu tas pakaian yang cukup besar.
"Bu! Kok Ibu ke sini, sih?"
"Kenapa kalau Ibu ke sini?" Meida melangkah ke dalam tanpa menghiraukan raut kesal Neima.
"Baru dari sini udah datang lagi," gerutu Neima berjalan di belakang Meida.
Keduanya sama-sama terpaku melihat seseorang yang baru keluar dari kamar.
Begitu juga dengan Fashion yang tak kalah kaget. Dan tanpa sadar bicara random karena desakan alam, "Numpang kamar mandi, Kak." Ia langsung ke belakang, seakan tahu sekali dengan setiap sudut rumah tersebut.
"Kau!" teriak Neima geram.
"Apa karena dia, Ibu tidak boleh datang?"
***
Bersambung ....
17 Desember 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro