005 Anak Terlantar dan Pahlawan
Bahagia Hingga Janna menjadi anak yang sangat menggemaskan di usianya yang kedua tahun. Rambutnya lurus berwarna cokelat tua alih-alih hitam. Kulitnya putih. Badannya tergolong gempal sehingga membuat orang dewasa yang melihat ingin mencubitnya. Dia senang bertanya dan berbicara walaupun kata-katanya belum lancar.
Hagia main di kamar Neima karena rasa penasaran selalu tumbuh melihat hal-hal yang dilakukan Neima. Berbeda dengan neneknya yang senang mengajak Hagia bicara dan menjawab semua pertanyaan Hagia, Neima tidak. Namun, Hagia tidak bisa berhenti bicara apabila bersama Neima. Hagia pun tidak suka ditinggal saat Neima keluar. Dia selalu ingin ikut. Sayangnya tidak pernah dibawa serta.
Ikatan batin itu tampaknya semakin menguat karena intensitas pertemuan mereka yang lebih banyak dibandingkan dengan Meida maupun Aben. Orang sepuh itu setiap hari pergi bekerja, sementara Neima tidak. Otomatis Hagia tinggal di rumah bersama Neima.
"Napa cucuk mata, Ne? Matanya nanti sakit." Hagia bertanya kenapa Neima menusuk matanya saat melihat Neima menggunakan maskara.
"Ntu litik, Ne. Hagia mau pakai juga. Cantik. Ne cantik. Hagia juga mau cantik." Kosakata cadel Hagia sebetulnya terdengar sangat lucu, akan tetapi Neima berusaha sekuat hati untuk tidak tertawa bahkan mencubit pipi gadis kecil itu.
"Neyi mau mana?" Hagia mengikuti langkah Neima dari kamar ke kamar mandi. Neima menutup pintunya cepat dan Hagia duduk dekat pintu.
Begitu menyelesaikan urusannya dengan closet, Neima keluar. Dia menemukan anak kecil imut itu tengah asyik mengenyot botol dot di depan pintu dalam posisi berbaring. Neima tidak menegur tempat si kecil Hagia minum. Neima ke kamar lagi untuk mengganti pakaiannya. Sudah pukul sepuluh dan Neima harus segera siap. Travel yang dia pesan sudah mengabarkan bahwa akan tiba sekitar setengah sebelas.
Suara mobil terdengar di halaman. Hagia lantas bangun ketika mendengar langkah sandal berkeletukan. Hagia mulai merengek karena dilihatnya Neima yang berpenampilan cantik bersiap untuk pergi.
"Ne pegi mana? Hagia ikut, Ne. Neyi, mau ikut." Kaki Hagia yang pendek itu menyusul langkah-langkah Neima. Di pintu gadis kecil yang berkaus singlet itu menangis kencang. Hagia menarik-narik ujung kardigan yang dipakai Neima.
"Kau tinggal! Sebentar lagi Nenek pulang. Ke sana masuk kamar! Tidur!"
Firasat Neima memang sudah menebak akan mengalami kejadian seperti ini. Makanya sewaktu melihat Hagia hampir tertidur di depan kamar mandi, dia membiarkan anak itu. Neima tidak menduga kalau telinga Hagia sangat tajam. Sementara itu, supir travel sudah membuka pintu mobil.
Tangisan Hagia bagai guntur di pagi hari yang memekakkan telinga. Neima sangat malu dengan supir travel yang melihat adegan tersebut. Pada tempat duduk bagian belakang Neima menduga ada orang lain yang menyaksikan hal memalukan ini.
Neima menarik tangan kecil Hagia ke kamar.
"Ikut, Neyi. Neyi mau pegi mana? Hagia ndak mau tinggal."
"Siapa juga yang mau mengajak kau! Duduk di sini! Dan diam! Bikin pusing kepalaku aja tangisanmu."
"Neyi! Neyi!" Hagia menjerit kala Neima menutup pintu kamar.
"Ada barang, Kak?" Saat tiba di halaman, supir travel bertanya kepada Neima.
Raungan Hagia terdengar jelas dari tempat mereka berdiri. Raut wajah lelaki tukang setir itu terlihat tidak tega.
"Anaknya tidak biasa ditinggal, Kak?"
"Memang begitu. Udah biarkan saja."
Jeritan Hagia semakin kuat.
"Kenapa itu, Kak? Tidak dilihat dulu?"
Kaca jendela tengah terbuka. Perempuan berhijab putih gading menjulurkan kepalanya. "Mungkin jatuh, Kak. Coba cek dulu sebelum berangkat."
"Sebentar, Bang." Neima memohon izin lantas bergegas melihat ke kamar Meida.
Benar saja, Hagia tertelentang di lantai. Tadinya dia diletakkan Neima di atas ranjang. Anak itu menangis terisak dengan kening merah.
"Neyi. Neyi. Hagia ikut. Ndak mau tinggal. Ikut." Sambil terisak tangan anak kecil menggapai ibundanya.
"Kau ini bandel sekali dibilangin. Lihat kening jadi benjol kan! Mati aku dimarahin nenekmu." Neima mengangkat Hagia, diusapnya kening anaknya yang memar.
"Sakit, Ne."
Neima semakin bingung sebab Hagia selalu bersikap manja kepadanya padahal Neima tidak pernah memanjakannya.
"Kau boleh ikut, tapi tidak boleh nakal. Kubuang kau di jalan kalau jerit-jeritan."
Neima memakaikan baju Hagia karena tadinya si kecil cuma memakai kaus dalaman. Malas mengolesi pipi anak itu dengan bedak tabur, Neima menarik tangan Hagia keluar. Tak lupa dia meminta Hagia memakai sandal.
"Kita mau naik mobil, Ne?"
Karena Neima memesan satu bangku di bagian depan samping sopir, Hagia terpaksa ia pangku. Anak itu jelas senang berada dalam pangkuan Neyi-nya.
"Anak gadisnya cantik, Kak," puji sopir terdengar berbasa-basi di telinga Neima. Sesungguhnya diucapkan dengan tulus ikhlas oleh pria tiga puluh tahun tersebut.
Neima tidak menanggapi. Di luar dugaan Hagia yang menjawab hingga si lelaki di sebelah Neyi-nya takjub.
"Makasih, Oom," kata anak itu ceria.
"Ne kita mu ke mana? Pat ayah, ya?"
Sontak dada Neima seperti disiram air panas. Hagia tidak pernah menyebut kata tersebut dan dari mana pikiran itu muncul di otak kecil Hagia? Ingin rasanya Neima menyahuti anak itu seketus biasa, tetapi ia malu kepada seisi mobil jika bertengkar dengan balita. Neima hanya bergumam.
"Ail mancul, Neyi! Ada ail mancul besal," ucap Hagia takjub menyaksikan air terjun di pinggir jalan. Pinggulnya dinaik-turunkan. Kalau dia sedang berdiri, dipastikan anak kecil itu sudah meloncat-loncat.
"Oom ndak tulun lihat ail mancul?" pintanya kepada lelaki di belakang setir.
"Sudah lewat, Dek. Kapan-kapan aja lihat air terjunnya."
Hagia memajukan bibirnya, tapi perasaan sedih itu hanya bertahan sebentar karena digantikan oleh pemandangan lain. Patung gajah putih dan besar di depan gedung pemerintahan menarik perhatiannya.
"Tu apa tadi, Ne, besal. Sapi ya, Ne?"
"Itu tadi patung gajah, Dek," jawab sopir.
"Patun apa, Om?"
"Patung itu hewan boongan. Nggak bisa makan dan minum," kata sang sopir.
Hagia tak menyahut sebab perhatiannya tercuri oleh wajah Neyi. Mata Neima terpejam dengan kepala bersandar pada jok. Hagia mengamati wajah cantik Neyi-nya lalu tangan kecil itu mengusap-usap pipi ibundanya. Bibirnya ditempelkan ke pipi Neima, mencium Neyi dengan penuh sayang. Anak itu pun bersandar juga ke dada sang Neyi dan ikut memejamkan mata.
Di sebelah kanan sang supir tersenyum tipis melihat kelakuan si kecil kepada ibunya. Ia sangat gemas dengan anak tersebut dan semakin terharu ketika Hagia mencium ibunya dengan sayang.
***
Ibu dan balita telah turun dari travel. Mereka berdua berada di sebuah tempat makan dalam mal. Hagia menatap dengan tertarik arena permainan dan mengabaikan roti di depannya. Neima asyik makan tak memperhatikan arah pandangan anaknya. Tak ada tujuan pasti Neima pergi ke kota siang itu. Dia hanya ingin melepaskan stres selama di kampung. Makan enak salah satu caranya menyenangkan diri sendiri. Asyik sekali Neima dengan makanan hingga tidak menyadari balita di depan tempat duduk sudah tidak berada di tempat. Begitu selesai makan, Neima baru mengetahui Hagia hilang.
Neima sempat mengedarkan pandangan ke sekeliling mal yang cukup ramai. Ia tidak menemukan anak kecil tersebut. Berarti memang sudah takdirnya untuk berpisah dari anak menyebalkan itu. Neima mengambil tas dan pergi dari resto. Tujuannya kini adalah bioskop di lantai yang sama.
Sementara itu, Hagia merasa sudah lama melihat anak-anak bermain di arena gim ingin menemui Neima. Dia berjalan di antara banyaknya pengunjung tempat tersebut. Kaki kecil itu terasa lelah. Dan Hagia juga mulai mengantuk. Dia tidak menemukan Neyi.
"Neyi kat mana? Ne ...." Hagia menangis sambil berjalan.
Beberapa orang menyadari ada anak kecil yang menangis. Sebagian tidak peduli karena mengira anak tersebut menangis bersama orang tua yang berjalan di belakangnya.
"Ne kat mana? Neyi di mana?" Hagia mengeluarkan jeritan superkeras.
Ia cemas tak dapat melihat Nei-nya. Bagi anak kecil, ibu adalah wanita pertama yang paling dia cinta dan butuhkan. Sementara Hagia menyebutnya Neyi. Neyi adalah ibu meski sebenarnya Neima adalah ibunya. Nama Neima disebut-sebut dalam jerit ketakutan sang balita.
"Adik kenapa menangis? Ibunya mana?" Seorang cowok berkaca mata, terlihat masih berstatus mahasiswa, menegur Hagia. Terlebih dahulu cowok itu meletakkan kantung belanjaan, kemudian menopang tubuhnya dengan lutut ke lantai. Ia menyamakan tingginya dengan gadis kecil.
"Adik Cantik, mau ikut Kakak? Kita cari ibunya." Tangan cowok berkumis tipis itu membelai pipi Hagia, mengusap pipi yang basah. Hagia tetap menangis. Tidak kehilangan akal, pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari salah satu kantung celananya.
"Hei, lihat ini. Adik, lihat nih Kakak punya apa? Adik mau?"
Hagia mulai teralihkan. Orang di depannya mengangsurkan satu kotak cake yang dari warnanya membuat Hagia terpana.
"Apa itu, Om?"
Lelaki itu tersenyum mendengar suara cadel si bocah. Mata yang tampak ingin tahu itu membiusnya, meski ia agak malu dipanggil om di usianya yang masih muda. Namun, rasanya terlalu berlebihan untuk mengajarkan bagaimana ia dipanggil kepada anak yang lebih butuh dipertemukan dengan orang tuanya.
"Kue. Adik mau? Kalau mau, ikut Kakak. Kita duduk di sana."
Lelaki itu mengumpulkan seluruh barang belanjaannya di tangan kiri. Dengan tangan kanan ia menggendong Hagia ke tempat yang dimaksud. Mereka pergi ke sebuah tiang besar yang di sekelilingnya terdapat bangku.
"Sudah boleh makan. Baca apa dulu sebelum makan, Dik?"
Hagia hanya diam saja. Itu membuat laki-laki berwajah mulus bak perempuan itu menjentikkan jarinya.
"Ikuti Kakak, oke. Kita sama-sama baca doa sebelum makan. Bismillah ...."
Hagia terdiam dengan mata menatap kue di tangan si lelaki. Ia terlihat tidak sabar menikmati kue tersebut. Cowok itu menarik perhatian Hagia dengan eye contact dan gerakan bibir. "Bismillah ...."
Hagia pada akhirnya paham dan ikut mengucapkan doa yang diejakan oleh lelaki itu. Sang pemuda mengusap puncak kepala Hagia dan berharap Hagia merasa aman bersamanya. Lalu ia mulai membuka obrolan terpenting, "Adik namanya siapa?"
Dua kali pertanyaan tersebut dia ulang, barulah Hagia paham.
"Hagia, Om."
"Hagia?" ulang cowok itu. "Nama kamu cantik sekali. Kuenya enak, Hagia?"
Hagia mengambil kue dengan jarinya yang gemuk. Ia mengulurkan tangannya kepada si cowok.
"Untuk Kakak, ya?"
"Kuenya enak, Om mau?"
Si lelaki tersenyum, lantas menggeleng. "Semuanya untuk Hagia. Dengan ini, ada susu juga untuk Hagia. Mau minum dulu?"
Hagia menerima botol minuman tersebut. Lalu meminum isinya.
"Lagi?"
Hagia terdiam. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan kiri. Tidak satu pun orang yang terlihat seperti Neyi.
"Neyi mana, Om? Hagia mau sama Neyi."
Si lelaki kini membersihkan wajah Hagia dengan tisu. Setelah itu ia menyimpan sisa makanan Hagia ke dalam kantung plastik jinjing. Hagia juga ia minumkan air putih.
"Ayo, kita cari Neyi." Tidak sulit bagi si pemuda sebab ia telah mendapatkan nama yang akan ia sebutkan kepada karyawan di pusat informasi.
Mereka turun ke lantai satu dengan Hagia berada dalam gendongan.
"Hagia ke sini sama siapa?"
"Neyi. Naik mobil."
"Dengan siapa lagi?" Mereka semakin dekat ke tempat tujuan.
"Sama om sopil. Mana Nei Hagia, Om?" Hagia mengira akan diajak ke tempat Neima, tetapi ia tidak dapat menemukan keceradaan wanita itu.
"Nei siapanya Hagia? Kakak?"
Hagia mengangguk saja.
"Iya tunggu sebentar kita panggil Neyi untuk Hagia."
***
Bersambung ...
8 November 2022
Bahagianya hati Nei berpisah dengan Hagia, tapi sayang ada oom oom.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro