Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

004 Anak Nenek

"Sampai kapan payudara Nei berhenti keluar air susunya, Bu?"


Laporan dengan nada masam diucapkan Neima pada suatu siang. Dia sudah gerah karena masalah tersebut. Tiba-tiba dadanya basah dan lengket menjijikkan. Rasanya menyesakkan dan mengganggu aktivitas Neima. Neima sudah bosan berdiam diri di rumah. Dia ingin bekerja. Namun, kalau keadaannya seperti ini, masak dia harus bawa pompa ke tempat bekerja?


"Bisa berhenti kalau kau susukan si Hagia." Meida sudah sering meminta bahkan merayu Neima untuk memberikan ASI. Nah, kalau dia berbohong demi kebaikan cucunya dan Neima sendiri, tidak masalah bukan?


"Enggak, terbayang bapaknya yang gak tahu diri itu tiap lihat muka dia."


"Kalian sebagai orang tua yang salah. Seharusnya kamu bisa jaga diri. Sekarang anakmu yang menjadi korban. Minta haknya saja tidak kamu berikan. Tolong, Nei, sadarlah. Kamu ibunya Hagia. Kamu harus memikirkan dia. Cuma kasih sayang kamu yang dia butuhkan. Lihat, dia cantik, Nei. Seperti Nei sewaktu bayi."


"Malah ceramah Ibu. Nei menyesal sekali, Bu, jadi bolehkan aku melupakan semua masa lalu? Termasuk melupakan kalau aku punya bayi hasil hubungan terlarang? Ibu pun kenapa Ibu sayang sekali sama dia yang ayahnya saja tidak sayang?"


"Dia tidak salah apa-apa. Kenapa Ibu tidak boleh menyayangi Hagia? Hagia cucu Ibu."


Neima menggeram. Bukannya dapat solusi, dia malah diceramahi. Neima masuk ke kamarnya dan mengambil pompa. Wanita berkaus pendek hijau daun itu mulai mengosongkan air susunya.


"Nei! Ibu keluar sebentar. Sapi belum dikasih minum. Kamu lihatin Hagia jangan sampai jatuh. Dia sudah tidur."


Malas. Neima membatin. Siang-siang terik seperti itu, Neima suka memakai masker wajah. Neima memang tinggal di kampung, tetapi dia tidak akan terlihat kampungan. Neima menjaga bentuk tubuh juga wajahnya. Tidak sedikit pun Neima terlihat seperti wanita beranak satu kecuali payudaranya yang membesar karena berisi air susu.


Baru beberapa menit kepergian Meida, Hagia menjerit dari kamar. Anak itu benar-benar merepotkan. Neima ingin membiarkan saja Hagia memekik sendirian sampai Meida pulang, tetapi tangisan Hagia sangat kencang. Bumi bisa berguncang akibat tangisannya. Ayahnya bisa mengamuk besar sebab tidurnya terganggu.


Aben memang sedang berada di rumah. Dia tidak berangkat ke kebun karena sakit gigi. Pantangan bagi orang sakit gigi seperti Aben adalah suara bising. Aben yang pendiam juga sangat membenci kebisingan. Apalagi saat sakit seperti sekarang. Neima ingin mengomeli Hagia juga percuma. Akan lebih ribut.


"Bayi merepotkan kau, Hagia. Kapan kau biarkan hidupku tenang? Kau tahu, Hagia, tidak ada yang mengharapkan kehadiranmu! Ayahmu dan aku juga tidak. Kenapa kau masih hidup sih? Bayi lemah begini kok panjang umur?"


Saat Neima masuk ke kamar Meida, Hagia mulai menghentikan tangisan. Dia masih menangis, tetapi agak pelan. Selesai Neima menyumpahi anak itu, Hagia bergumam tidak jelas. Dalam pendengaran Neima, Hagia menyebut bu-bu yang artinya ibu, kemudian menangis lagi.


"Apa sih, Hagia? Berisik sekali."


Hagia bangun dari posisi berbaring, lalu tengkurap. Kedua lututnya ditekan ke kasur, kemudian tangannya menjangkau ke atas ke arah Neima.


"Bu Bu!" Ucapan Hagia masih kurang jelas. Namun, Neima berfirasat kalau Hagia memanggilnya ibu. Neima tidak pernah mengajarkan. Siapa lagi jika bukan neneknya?


Neima mendekat. Ia mencoba mengajari Hagia yang sepertinya mulai mengerti perkataan orang dewasa.


"Heh! Aku bukan ibu. Jangan panggil aku ibu. Mengerti?"


Hagia memanjat ke tubuh Neima yang mungkin dikiranya hendak menggendong. Tangan anak kecil itu menepuk-nepuk payudara Neima yang terbungkus dalam baju kaus. Tangisan Hagia dimulai kembali. Neima melepaskan Hagia dan menjauhkan darinya. Tubuh Hagia digulingkan ke tempat tidur. Anak itu menangis lebih keras.


"Kamu bisa diam tidak, Hagia? Mau kusumpal beneran mulut kamu pakai kaus kaki hah?"


Neima pusing mendengarkan suara anak itu, tetapi dia tidak tahu cara membuat diam. Ayahnya terdengar batuk dari kamar belakang. Begitulah Aben, dia sengaja mengasingkan diri agar istirahatnya tidak terganggu. Tanda-tanda ayahnya mulai terganggu membuat Neima bergegas mengambil kain. Dia membekab mulut Hagia dengan benda itu.


Neima menunggui Hagia agar tidak sampai ketahuan oleh ibunya. Saat Meida sudah terlihat memasuki pekarangan, Neima membuka ikatan lalu menyerbu ibunya di pintu.


"Tuh, si Hagia menangis terus dari tadi."


Neima kembali ke kamar.


Tengah malam saat Neima baru tidur satu jam, terdengar tangisan Hagia. Meida juga kedengarannya sedang menenangkannya. Sementara itu, Aben batuk-batuk.


"Kenapa?" Aben bertanya dengan suara serak.


"Pilek." Meida menjawab sedikit, lalu menyanyi kecil sambil menggendong Hagia.


"Badannya panas. Ada obat?"


"Tidak ada. Insya Allah, besok sembuh. Hagia anak kuat, kok, Kakek."


Aben teringat apa yang dilakukan Meida saat Neima sakit. Aben ke kulkas untuk mengambil ASI. Namun, ketika plastik beku sudah di tangan, Aben berjalan ke lain arah.


Neima mendengar ketukan di pintu kamar. Dia memang tidak bisa melanjutkan tidur karena rengekan Hagia. Perasaannya selalu kesal dan emosinya meninggi ketika mendengar Hagia. Mau itu tawa, ocehan, apalagi tangisan. Neima membuka pintu dengan wajah tertekuk. Karena bayi itu, tidur Neima terganggu.


"Susukan Hagia. Dia demam." Inilah pertama kali Aben meminta sesuatu kepada Neima untuk Hagia. Selama ini dia diam saja setiap Meida dan Neima berdebat tentang sikap Neima kepada Hagia.


"Nei ngantuk, Yah."


"Segera ambil Hagia pada ibumu." Aben seakan tidak peduli dengan alasan Neima. Dan memang jika Aben sudah menyuruh, tidak ada yang bisa menolak.


"Bu," ucap Neima pelan.


Meida menggendong Hagia di ruangan tengah menggunakan kain panjang. Aben mengamati dari pintu perantara ruangan depan dan dapur. Kamar yang ditempati Aben saat ini berada di dapur. Bukan karena dia tidak suka tidur bersama cucu. Aben sengaja memisahkan diri karena sedang sakit gigi. Dia ingin istirahat yang cukup tanpa terganggu atau mengganggu cucunya.


Meida tidak mengetahui maksud Neima. Dia terlalu fokus kepada Hagia saat Aben berbicara dengan Neima. Neima melirik ayahnya. Pria tua itu masih memperhatikan.


"Aaaah! Nei ke kamar Ibu." Kaki Neima mengentak selesainya ia mendesah pasrah. "Bagaimana caranya? Nei duduk atau rebahan?" ucap Neima dari kamar dan mengundang Meida menyusulnya.


"Sayang, Hagia cantik. Besok main ke luar, ya, kita lihat sapi, sawah, sama ikan kecil di kolam." Meida datang sembari mengusap-usap bokong Hagia di balik kain gendongan. Dia melihat Neima duduk di ranjang dengan cemberut.


"Kenapa kamu?" tanyanya.


"Bagaimana menyusui? Duduk atau berbaring? Ck. Nei malas sekali memegang anak itu."


Meida terheran. Dia sempat tidak percaya. Meida langsung bangun dari rasa terkejut karena tak akan menyiakan kesempatan. Segera Meida menutup pintu karena bagaimana pun ini kali pertama Neima menyusui. Dia tak ingin Aben tiba-tiba masuk.


"Kenapa bertanya? Sama aja. Menyusui ayahnya kau bisa," sindir Meida saat mengatupkan daun pintu.


"Apa sih, Ibu." Neima lalu berbaring miring. "Seperti ini?" tanyanya. "Taruh dia di sini. Ibu menyingkir."


"Hagia sama Ibu ya, Sayang. Nen sama Ibu tuh. Ayo Hagia ke Ibu dulu."


"Please, jangan ajarin ibu-ibu gitu. Emosi Nei dibuatnya."


Meida membuka kain gendongan dilanjutkan menurunkan Hagia ke samping Neima. "Kamu ingin dipanggil apa? Mama? Bunda? Mami? Umi? Yang mana?"


Neima memutar bola mata. Hagia seakan tahu ada minumannya di depan mata. Dia menepuk-nepuk dada ibunya.


"Nggak ada. Jangan panggil apa-apa."


Meida yang mendengarkan jadi bosan. Anak keras kepala, gumamnya. Dia memberikan privasi kepada Neima dan Hagia.


"Daya tahan tubuh bayi lebih kuat bila diberikan ASI yang teratur. Rajin-rajin menyusui agar Hagia tidak rentan sakit. Kamu pun juga harus rutin mengeluarkan ASI supaya payudara tetap terjaga kesehatannya. Jangan sering-sering menggunakan pompa kalau tidak mau keriput."


Meida berkata acuh tak acuh padahal dia tidak dapat menahan tertawa setelah membelakangi putrinya. Perkataan Meida itu pasti memberikan efek kejut bagi Neima. Meida sengaja menakut-nakuti. Anaknya yang tidak pintar itu akan menyetujui pesan-pesan Meida yang dianggap sebagai orang  berpengalaman. Neima selama ini sangat hati-hati terhadap kecantikan tubuhnya, baik itu wajah apalagi asetnya tersebut. Harapan neneknya Hagia itu semoga Neima mau sering-sering melakukannya. Tentu Hagia akan semakin dekat dengan ibunya dan Neima akan mulai mencintai anaknya sendiri. 

Terkadang Meida senang dengan ukuran otak Neima, akan tetapi ia lebih sering kesal karena Neima orang yang sangat keras kepala dan semaunya sendiri. Apalagi semenjak melahirkan, sikap Neima semakin menyebalkan dan tidak bisa dibilangi. Meida sering mengelus dada melihat kelakuan Neima. Entah angin apa yang membuat Neima mau membuka branya untuk Hagia.


***

6 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro