CHAPTER 14 - NEXT MOVE
ARC I - SCARLET MOONLIGHT
Yukari Yakumo.
Orang yang menjadi ibu asuh Ran semenjak kecil dan merupakan pemimpin wilayah pusat Gensokyo. Terkenal tidak suka tampil di muka publik, kecuali saat kegiatan-kegiatan tertentu. Namun dia tidak pernah menunjukkan wajahnya.
Alice menegak ludah. Tidak menyangka Yukari Yakumo ternyata terlihat jauh lebih muda dari yang dia bayangkan. Jika dibandingkan dengan Ran, mereka akan lebih pantas terlihat sebagai kakak beradik daripada ibu dan anak. Menyadari Alice termangu, Yukari mendekat ke arah Alice. Alice terkejut melihat wajah Yukari yang dekat sekali dengannya hingga ia bisa merasakan aroma wewangian yang digunakan Yukari.
"Hawawa!" Alice meracau sambil memalingkan wajahnya yang panas dan memerah. Melihat reaksi Alice, Yukari tidak dapat menahan diri untuk tertawa.
"Oh? Ada apa nona kecil? Apa saya membuat anda takut?" Nada bicara yang seperti tanpa dosa itu membuat Alice makin kehabisan kata. Untunglah orang bertopeng di samping Yukari berdeham untuk membuat Yukari kembali focus.
"Maaf Ibara. Aku tidak bisa menahan diri melihat gadis manis, apalagi ia sudah bertambah dewasa sekarang. Aah." Ucap Yukari dengan santai sambil memberikan pose tehepero. Ibara hanya menggeleng dan Alice memiringkan kepala karena bingung.
"Apakah kita pernah bertemu?" tanya Alice penasaran. Yukari membisikkan sesuatu pada Ibara dan Ibara meninggalkan mereka. Yukari balik menghadap Alice.
"Hmm, kau tidak keberatan bila kita bicara ini di tempat lain? Saya tidak enak mengganggu istirahat temanmu."
Alice menoleh ke arah Marisa yang terlelap. Sebenarnya ia juga ingin bertanya mengenai keadaan Reimu, tapi dalam hatinya ia yakin Reimu pasti selamat. Karena itu ia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengenal Yukari Yakumo.
"Baiklah, nona Yakumo."
"Oh, panggil saja Yukari. Ayo ikut saya."
Alice berjalan mengikuti Yukari Yakumo. Di saat bersamaan ia mengamati ornamen rumah tempat mereka berada. Tak banyak foto kecuali foto pemandangan yang membuatnya tidak asing. Ada juga foto Ran dan Chen bersama Yukari maupun tidak.
"Ran dan Chen adalah anak-anak yang sangat saya sayangi. Sejujurnya saya bahagia bisa melihat Ran tumbuh menjadi seseorang yang dikagumi oleh murid-muridnya. Dan berkat kalian juga, ia semakin mandiri dan dapat membuat keputusan tanpa bergantung pada saya."
Alice menangkap nada bahagia bercampur sedih di akhirnya. Mungkin begini perasaan orang tua ketika melihat anaknya tumbuh. Alice berpikir apa ibunya merasakan hal yang sama. Tak lama kemudian mereka tiba di ruang santai Yukari.
Ruangannya tidak begitu luas dan sederhana. Alasnya berupa tatami, memberikan nuansa Jepang tradisional. Ibara tengah meletakkan kudapan dan teh di meja, kemudian pergi setelah membungkuk pada keduanya. Yukari mempersilahkan Alice duduk dan menyantap hidangan.
"Oh enak! Teh ini enak!"
"Kau suka? Ibara yang membuat teh dan memasak makanan ini. Ia pasti senang mendengar pujianmu."
Keduanya menikmati hidangan dengan sunyi. Setelah meneguk tetesan terakhir, Alice membuka suara.
"Nona Yukari, kenapa anda menolong kami?"
Yukari masih meminum tehnya, lalu meletakkannya dengan rapi sambil menaruh tangannya di dagu.
"Hm? Sebenarnya bukan saya yang menolong kalian, melainkan Ibara. Saya menegur Ibara akan tindakannya tanpa seizin saya, tetapi setelah dipikir baik-baik saya juga akan melakukan hal yang sama di saat Ran ataupun Chen dalam bahaya."
"Eh, berarti anda akan membiarkan kami mati begitu saja?"
"Oh bukan begitu! Saya akan menolong kalian, tetapi kejadian kali ini sangat aneh. Jika bukan karena Ibara pergi, saya tidak akan menyadari adanya serangan di sekolah."
Alice yakin Yukari tidak berbohong soal itu. Kabut hitam yang datang tiba-tiba ini dapat menjadi ancaman bagi semua orang.
"Lalu, apakah monster yang menyerang kami sudah dikalahkan? Bagaimana dengan teman kami Reimu? Anda juga menyelamatkannya kan?" Alice memutuskan langsung bertanya ke hal yang paling mengganjal pikirannya saat ini. Yukari hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
"Ibara langsung datang menyelamatkan teman kalian yang pemberani itu. Benar-benar. Gadis itu tahu dia tidak akan menang, tapi masih sempatnya memikirkan cara agar kalian dapat melarikan diri."
Alice menghela napas lega, lalu bertanya lagi.
"La ... lalu di mana Reimu sekarang?" Yukari menoleh ke arah jendela, di mana hujan mulai turun. Ia mengangkat tangannya. Tiba-tiba televisi di ruangan itu menyala, dan terlihat Ran yang tengah membawa Reimu menuju ruang kesehatan bersama Chen.
"Jangan khawatir. Dia hanya kehabisan tenaga. Istirahat semalaman dan dia akan kembali seperti semula."
"Terima kasih sudah membantu kami semua, nona Yukari. Saya takut sekali! Kami tidak menduga bahwa level kami masih jauh di bawah monster itu. Jika kami diserang lagi seperti itu, aku ... aku ..."
Tubuh Alice gemetar hingga akhirnya butiran air mata mengalir melewati pipinya. Ia tidak ingin hidup seperti ini. Awalnya dia memang menerima kenyataan bahwa dia merupakan reinkarnasi dari Alice Margatroid, akan tetapi dia masih belum cukup kuat. Ia tidak mau teman-temannya nyaris terbunuh seperti tadi lagi. Di tengah isak tangisnya, ia merasa seseorang memegang kepalanya.
"Maafkan saya. Saya seharusnya memperingatkan Ran untuk tidak jauh-jauh dari kalian semenjak ia melatih kalian. Situasi sedang tidak aman, dan saya ceroboh dalam mengantisipasi ini dengan asumsi kalian sudah mampu." Yukari mengelus kepala Alice perlahan sambil memperlihatkan wajah bersalah. Alice merasa tidak enak sudah mengeluh, menangis, dan bahkan dihibur oleh Yukari.
"Sa... saya yang seharusnya minta maaf. Saya tidak pantas marah-marah pada anda sedangkan ini bukan salah anda. Kami saja yang merasa sudah kuat. Yang penting kami semua selamat dan bisa berlatih untuk menjadi lebih kuat lagi."
Alice mengelap air matanya sambil tersenyum. Yukari merasa lebih baik melihatnya.
"Kalau begitu, menginaplah dulu di sini. Akan kusampaikan lewat Ran kalau kalian berdua ada di rumah."
Alice berterima kasih. Tidak lama kemudian Ibara datang dan berniat mengantarkan Alice ke kamarnya untuk beristirahat. Hanya saja, ada perasaan yang masih mengganjal di hati Alice, seperti terlupakan akan sesuatu.
---
Flandre Scarlet terbangun. Keringat bercucuran deras di sekujur tubuhnya. Matanya menerawang memastikan keberadaannya. Ia ada di kamarnya dan berada di tempat tidurnya. Pakaiannya juga sudah diganti.
"Saya ... sudah pulang..." Pikirannya kembali ke saat bertemu Ibara yang membawa Alice dan Marisa ke tempat lain. Seketika teringat keadaan teman-temannya, Flandre buru-buru bangkit.
"Teman-teman! Saya harus menolong mereka!" Mendengar kegaduhan dari dalam kamar, Sakuya dan Patchouli buru-buru masuk.
"Nona Flandre! Anda sudah bangun!"
"Flan! Jangan memaksakan diri dulu!"
"Sakuya! Patche! Teman-teman Flandre dalam bahaya! Kita harus segera menolong mereka!"
"FLAN! TENANGKAN DIRIMU!"
Suara lantang dari luar kamar membungkam tiga orang di dalam. Remilia Scarlet dengan baju goth warna putihnya tampak serius. Melihatnya, Flandre terdiam dan membungkuk.
"Maaf kakak, tetapi Flan khawatir akan teman-teman Flan."
"Aku tidak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi jika kau tidak cerita dari awal. Yang aku tahu Meiling dengan panik menggotongmu ke dalam karena kau tiba-tiba muncul di depannya melalui lubang hitam."
Flandre akhirnya menceritakan apa yang terjadi di sekolah tadi. Sakuya dan Remilia melirik ke arah Patchouli, yang sepertinya tidak tahu mengenai kejadian itu meskipun terjadi di lapangan sekolah. Saat pulang, ia hanya tahu bahwa Flandre izin ke tempat Reimu.
"Kabut hitam yang mengeluarkan monster, orang bertopeng dengan perban yang mampu mengeluarkan lubang hitam, ini seperti sebuah dunia buatan sindrom anak SMP saja." Ujar Remilia sambil meminum tehnya. Sakuya tampak cemberut di sampingnya.
"Saya kan tidak begitu nona! Dan tidak aneh hal-hal semacam itu terjadi di sini, berhubung kita bukan manusia biasa."
"Maaf, maaf. Hm, mungkin ada baiknya aku bicarakan hal ini dengan teman baru kita yang sepertinya lebih paham akan situasi. Jika tidak, berarti kita menemui pihak luar yang dapat menghambat tujuan kita."
Pikiran Flandre masih dipenuhi akan teman-temannya. Kartu bergambar kelelawar merah di bawah rembulan miliknya ditatapnya tajam. Ia kesal akan dirinya yang ragu dan lemah.
'Kalau saja, kalau saja aku bisa mengendalikan kekuatan ini, teman-teman tidak akan...'
"Flan? Flan kau baik-baik saja?"
"Eh?" Remilia memperhatikan Flandre yang tadi tengah terbawa lamunannya, lalu ia melihat kartu yang ada di tangan Flandre. Remilia menatap tajam Flandre seolah menginginkan jawaban darinya.
"Tenang saja kakak. Flandre tidak menggunakannya. Semenjak hari itu, Flandre sudah bersumpah untuk tidak menggunakan wujud itu lagi."
Sakuya dan Patchouli menatap sang putri dengan sedih. Mereka paham akan niat mulianya, akan tetapi bencana lebih besar dapat menimpa mereka semua. Dalam hati mereka berdua menyalahkan diri mereka masing-masing yang tidak dapat membantunya.
"Aku tahu Flan. Kakak tidak akan meragukanmu. Yang penting, jangan sampai menggunakannya kecuali nyawamu yang terancam, mengerti?"
"Mengerti kakak."
Sesudahnya mereka semua bersiap untuk makan malam. Namun, suasananya tampak berat dan tegang. Remilia menyadari bahwa sekarang Flandre terlibat dalam lingkup bahaya yang ingin dihindarinya. Ia tahu ia tak punya pilihan lain selain meminta bantuan pada sekutu barunya, Satori Komeiji.
---
Di sudut kota, beberapa berandalan terkapar berlumuran darah. Hampir semuanya sudah tak bernyawa. Yang masih hidup sudah mulai sekarat.
"Haah, masih ada yang hidup rupanya." Berandalan yang sekarat itu tewas setelah jantungnya dihujam oleh tombak. Dicabutnya dengan paksa oleh pemiliknya. Ia lalu menjilatinya dan ekspresinya tampak puas.
"Hm hm hm. Pekerjaan ini tidak akan selesai jika tak kukerjakan sendiri. Hei kupluk! Jangan lupa akan kesepakatan kita." Teriaknya ke arah orang bertopi yang tengah meminum kopi kalengnya.
"Siap. Yang penting bereskan empat penjaga Chireiden itu dan anjing-anjing peliharaan Yakumo. Sehabis itu, akan kuberikan jawaban yang kau inginkan."
"Tahu begini aku seharusnya menemuimu dari awal. Ya sudahlah. Aku akan ke Chireiden sekarang." Pemilik tombak itu pergi meninggalkan lokasi pembantaian. Orang bertopi melemparkan kopi kalengnya yang sudah kosong ke arah tong sampah. Namun meleset.
"Cih! Malah nambah sampah saja." Gerutunya sambil menggaruk kepalanya dengan kesal. Ia membetulkan posisi topinya lalu pergi.
"Nah, bagaimanalangkah kalian selanjutnya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro