[7] Malam di Ranu Kumbolo
Di atas sebuah batu besar yang terletak di tepi Sabana Pangonan Cilik. Terdapat seorang pria bertubuh pendek dan gemuk sedang bersemadi. Ia memakai pakaian layaknya seorang brahmana berwarna kuning keemasan. Rambutnya terikat membentuk cepol di atas kepala dan berwarna putih keabu-abuan. Wajahnya sudah dipenuhi keriput, menandakan dirinya telah lama hidup, mungkin lebih dari seribu tahun. Pria tersebut memiliki kelopak dengan kantung mata yang tebal, saking tebalnya sampai hampir setengah menutupi tatapan dinginnya kepada sosok lain yang mendekat.
Sosok itu merunduk rendah di hadapannya. "Mereka telah memasuki area Ranu Kumbolo, Tuanku," lapor makhluk kerdil pada junjungannya.
"Awasi terus! Gadis itu kini dapat bertemu Arjuna kapan saja. Aku harus menemukan jalan masuk Negeri Sukma Hilang melalui mereka," tukas Sabdo Palon, senyum sinisnya mengembang. "Brawijaya, mau lari ke mana kau kali ini."
"Tapi, Tuanku ...," lirih si makhluk kerdil sedikit ketakutan.
"Ada apa?"
"Dewa Jaga dan Cipta selalu berada di sekitarnya. Keduanya seperti melindungi gadis itu. Kami, tidak berani mendekat."
"Hmm, harum tubuh gadis titisan Dewi Amarawati memang beda. Tentu saja mereka harus melindunginya dari mahkluk lain. Sedang tubuh bernyawanya saja begitu menggiurkan, apalagi matinya nanti. Darah yang mengalir dalam tubuhnya begitu berharga." Sabdo Palon berkata sambil menerawang, lalu secepat kilat menatap tajam kepada—makhluk kerdil—abdinya lagi. "Kalian tetap awasi. Ingat! Jangan sampai kedua dewa itu tahu keberadaan kalian akibat tidak mampu menahan diri. Aku masih membutuhkannya sampai gerbang negeri itu terbuka."
"Baik, Tuanku." jawab makhluk itu, seraya mundur dan berbalik pergi setelah menerima perintah. Ia berjalan menembus hutan dan menemui banyak makhluk bertampang serupa di balik pepohonan.
Mereka, adalah Manusia Kerdil Ayek-ayek yang berperawakan hampir sama dengan majikannya. Namun, lebih pendek dan berparas buruk rupa, selain itu mereka hanya mengenakan pakaian dari daun-daunan yang menutupi tubuh bagian bawahnya.
☘️☘️☘️
Rombongan Mapala UPKI berjalan beriringan mencari spot untuk membuka tenda. Sepanjang kaki melangkah, terlihat beberapa pendaki yang sudah lebih dulu berada di sana tengah bersiap menyambut malam. Ada yang sibuk memasak untuk makan malam, bernyanyi bersama, juga ada yang terlihat baru saja melakukan salat magrib berjamaah. Di pinggir danau, beberapa lagi tengah duduk-duduk dengan santai menikmati keindahan alam malam yang baru saja turun. Benar-benar sebuah surga tersembunyi yang tak hanya bisa diceritakan dengan kata-kata saja.
Setelah mendapatkan tempat, mereka segera membuka dua tenda. Zaki memandori, sambil sesekali ikut membantu. Retno dibantu Ragil membuka perlengkapan logistik, sedangkan Anto dan Tika mengambil air. Satu jam kemudian, semua persiapan menyambut malam pertama mereka di Semeru sudah siap. Rombongan duduk membentuk setengah lingkaran sambil makan malam.
Di tengah canda setelah makan, Tika bertanya kepada Tanto, "Mas, kenapa Ranu Kumbolo disebut sebagai surga tersembunyi? Apa tidak ada tempat lain yang lebih indah dari danau ini?"
Mas Tanto pun menjawab setelah menelan keripik pisang, "Pertanyaan ini sudah berulang kali ditanyakan, Tik. Sebetulnya, Semeru memiliki enam danau. Danau-danau ini memiliki kecantikannya masing-masing. Letaknya tersebar di beberapa area sekitar gunung. Namun, danau-danau tersebut tidak semuanya bisa didatangi, karena ada beberapa danau yang berada di area terlarang sehingga sulit dijamah."
Semuanya sangat tertarik mendengar cerita Tanto. Sinta pun ikut-ikutan bertanya, "Enam Mas, danau apa aja?"
"Pertama, jelas Danau Ranu Pani. Kemudian yang tadi kita lewati itu Ranu Regulo, danau tersebut juga bisa diakses melalui Bromo. Selanjutnya Ranu Kumbolo, basecamp kita sekarang ini. Selain itu, ada Ranu Darungan, yang bisa mengering dan berair sesuka hati. Emm, mungkin karena danau ini adalah danau buatan. Oh, iya. Walaupun danau ini terbuka untuk umum, tapi terletak cukup jauh, jadi agak sulit untuk dicapai. Lalu, ada Ranu Kuning. Beberapa warga sekitar tidak semuanya tahu akan keberadaan danau ini, karena akan mengering bila musim kemarau dan akan membentuk danau lagi bila musim penghujan tiba. Keberadaannya pun hanya dapat ditemukan melalui satelit, oleh karenanya tidak semua orang dapat ke sana, apalagi akses menuju danau tersebut juga sangat sulit. Terakhir adalah ...."
"Danau Ranu Tompe," sambung Zaki. Pandangan setiap orang pun beralih kepadanya, laki-laki itu pun melanjutkan, "danau ini yang paling sulit untuk dicapai, juga tidak dibuka untuk umum. Padahal, disebut-sebut sebagai danau paling indah di Semeru. Hal ini dipercaya karena keanekaragaman hayatinya yang sangat melimpah. Namun, ...."
"Danau itu juga dikenal sebagai Ranu Lus. Kabarnya, merupakan pintu masuk menuju kerajaan lelembut yang memelihara alam Semeru." Tanto, kembali menyambung cerita Zaki, semua yang tadinya menatap Zaki berganti menatap Tanto. Bahkan, saking serius mendengarkan cerita keduanya, mereka sampai menahan napas.
"Akhhh!!!"
Tiba-tiba! Retno berteriak sambil memegangi lehernya. Semua orang yang tadinya serius mendengarkan cerita, beralih memandang gadis tersebut dengan ngeri. Indri menutup mata, Gilang memeluk Anto, Tika, dan Sinta berteriak sambil berlari masuk ke tenda. Keadaan menjadi kacau. Melihat hal ini Tanto, Zaki, dan Retno, tertawa bersama. Rupanya, mereka bertiga sudah merencanakan hal ini.
"Ha-ha-ha," tawa ketiganya membahana sampai ke atas langit danau yang gelap.
Mendengar tawa mereka, Indri membuka mata dengan takut-takut. Tika dan Sinta mengintip dengan malu, lalu perlahan keluar tenda. Gilang terkejut, karena menyadari yang dipeluk ternyata bukan Tika. Segera ia melepas genggaman tangannya yang kencang di bahu Anto. Anto yang meringis, menahan takut dan sakit bersamaan. Para junior tersebut menatap gemas guide dan dua orang senior iseng—yang bahunya berguncang karena senang candaannya berhasil. Mereka pun kembali duduk di tempat semula dengan masih memandang sebal kepada ketiganya.
Tanto pun kembali bicara, "Itu adalah cerita yang beredar di masyarakat sini, boleh percaya, tidak percaya juga tidak apa-apa. Oleh sebab itu, saya kembali mengingatkan. Demi keselamatan kita bersama, untuk tidak pergi sembarangan apalagi sampai keluar dari area basecamp tanpa pengawasan. Selain itu, kalian juga dilarang mandi, BAK, dan BAB di danau. Air danau ini sangat jernih dan bisa langsung diminum, jadi jangan sampai tercemar."
Anto, mengangkat tangannya ragu-ragu. Zaki yang melihat hal ini, bertanya kepadanya, "Mau nanya apa, Nto?"
Anto menjawab lirih, "Mas, bener nggak? Kalau ada beberapa kejadian misteri di Semeru? Terutama di danau ini."
Ayla, Tika, Gilang, dan Sinta, otomatis menjitak kepala Anto sambil menggerutu. Tanto, Zaki, dan Retno tersenyum dan melerai.
Anto meringis menahan sakit, tetapi tetap kekeh bertanya, "Salah gue apa? Ini semua demi keselamatan kita bersama, iya, kan, Mas?"
Tanto pun tersenyum dan kembali bercerita. "Semua tempat pasti ada hal-hal seperti itu, Nto. Apalagi gunung, pasti memiliki cerita mistisnya sendiri. Semua berpulang kepada niat kita. Asal selama pendakian hati dan pikiran kita bersih, mudah-mudahan Tuhan selalu melindungi. Lagipula, memang tempat ini rumah mereka. Oleh karena itu, demi keselamatan kita bersama, sebagai tamu, ya, harus bersikap sopan."
Semua pun mengangguk setuju dengan jawaban tersebut.
Ragil yang baru saja datang dari tenda sebelah, menyela sambil duduk sekenanya di samping Sinta.
"Mas, aku baru denger, nih, katanya di sini ada sosok wanita yang sering muncul gitu."
Mendengar perkataan Ragil, membuat Indri, Tika, Gilang, Anto, dan Sinta, semakin merapatkan duduknya satu sama lain.
Tanto pun menjawab pertanyaan Ragil. "Saya sendiri belum pernah lihat, Mas Ragil. Tapi, memang menurut beberapa pendaki yang kebetulan mendaki tepat saat bulan purnama, pernah melihat sosok tersebut. Rupanya seorang putri nan cantik jelita. Konon, kecantikannya bahkan mengalahkan Miss Universe. Dikatakan juga ia selalu menggunakan kebaya berwarna kuning. Itu sebabnya dipanggil sebagai Putri Jene Kumbolo, atau Putri Kuning penunggu Ranu Kumbolo."
Seperti dikomando, mereka semua menatap langit dan melongo. Malam itu, langit sangat indah bertabur bintang, tetapi fokus pandangan seluruh rombongan hanya pada satu benda langit yang bersinar paling terang. Lalu, dengan menelan ludah, mereka saling pandang tanpa berkedip.
Anto dengan melas berkata sambil menunjuk bulan--yang menggantung di langit dengan cantiknya. "Tapi, Mas, sekarang juga malam bulan purnama."
Tanto menelan ludah seraya mengikuti arah telunjuk Anto. Lalu, berkata menenteramkan, meski dari nada bicaranya ia sedikit tak yakin. "Itu, kan, hanya mitos, Nto. Masyarakat sekitar mengenal sosok tersebut sebagai Dewi Penunggu Danau. Wujud aslinya, adalah Ikan Mas. Makanya ada larangan lain yang menyebutkan kita tidak boleh memancing di sini. Nah, demi keselamatan kita bersama, ya, nggak usah mancing. Paling tidak kita berniat untuk tidak mengganggu keseimbangan alam. Mudah-mudahan Tuhan selalu melindungi, jadi kalian tidak perlu khawatir."
Mereka semua tampak tegang setelah mendengar penuturan Tanto. Kembali menengadah dan menatap purnama sempurna yang menggelayut di atas langit kelam. Mereka, yang telah duduk berdekatan, semakin merapatkan diri lagi. Tanpa terlihat oleh yang lain, Retno pun ikut menggeser duduknya lebih dekat ke sisi Zaki. Namun, dengan sok berani ia berkata nyolot kepada Ragil.
"Lo, nggak bisa lihat cewek cakep, sih, Gil. Jangankan manusia, hantu juga lo mau embat."
Semua tertawa setengah hati mendengar candaan garing tersebut. Zaki melihat ke arah jam tangannya dan tanpa basa-basi langsung berkata tegas.
"Sudah-sudah, malam ini kalian segera tidur, besok kita harus mendaki lagi."
Anto menyela sambil memandang Zaki, ia berharap jawaban yang layak. "Nyubuh, Kak?"
"Enggak, sih, tapi kalo bisa sepagi mungkin. Karena kita harus nge-camp dulu di Pos Kalimati, tengah malam baru kita ke puncak. Sebab, di puncak hanya boleh sampai jam sembilan pagi."
"Kenapa, Kak?" Anto kembali bertanya.
"Berdasarkan prediksi, antara jam sembilan sampai sepuluh pagi asap beracun akan keluar dari kawah." Tanto menjelaskan kepada Anto, sedang yang lain turut mendengarkan. "Sebetulnya prediksi tersebut bisa saja meleset dan hanya berupa perkiraan. Jadi, setelah naik ke puncak dan foto-foto, kita harus segera turun. Karena ini semua ...."
"Demi keselamatan kita bersama." Mereka menyambung perkataan Tanto dengan mimik serius.
Tanto sedikit kaget mendengar sahutan mereka, tetapi tersenyum puas setelahnya. "Benar sekali!" Perkataan Tanto pun mengakhiri perbincangan.
Malam memang sudah larut. Sebelum memasuki tenda, Indri memandang jauh ke arah danau. Sinar bulan terbias di atas permukaan yang tenang. Tampak indah bak berlian tersebar sepanjang mata memandang. Entah mengapa, semakin lama menatap danau ia merasakan suasana mistis mulai merebak, bulu kuduknya merinding. Perasaan gadis tersebut mengatakan, ada seseorang atau sesuatu yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Indri bergidik dan segera menutup ritsleting tenda, buru-buru ia meringkuk di balik sleeping bag. Setelah berdoa dengan khusyuk, tak lama kemudian gadis itu pun terlelap.
Dalam tidur, Indri kembali bermimpi tentang pangeran yang sama. Sosok yang tadinya sedikit kabur, kini semakin jelas. Ia memiliki tubuh tinggi nan gagah, terpadu sempurna dengan kulit yang kecokelatan. Rambut hitam ikalnya menjuntai hingga bahu, dahi laki-laki gagah itu diikat dengan udeng yang bercorak merah tua, hidung mancung, dan rahang tegasnya sangat serasi dengan bentuk dagu serta bibir yang—
Plak!
Indri ngelilir dan membanting tangan Retno yang baru saja mengenai wajahnya. Lalu, berbalik dan kembali tidur. Anehnya mimpi itu seperti bersambung, pandangan Indri kini teralihkan pada alam sekitar. Mereka berdua berdiri di tepi danau, tetapi danau itu bukan Ranu Kumbolo karena tak ada tenda-tenda di sana. Suasana alamnya juga jauh berbeda, airnya berwarna hijau keperakan, sinar rembulan membuat air menjadi seperti butiran Zamrud yang terserak. Vegetasinya pun lebih lebat dan rapat hingga banyak dahan-dahan pohon rimbun yang menjuntai. Di bagian kiri danau terdapat air terjun yang bertingkat-tingkat, suara air yang bergemericik membuai Indri semakin jauh dari alam sadar. Walaupun keindahan alam sekitarnya tak tertandingi, tetapi suasana sangat menyeramkan dan aura mistis terlalu pekat.
Indri bergidik dan mundur selangkah dari pangeran yang terus menatapnya lekat. Mata laki-laki itu sangat tajam dan memabukkan. Indri kembali mundur satu langkah. Namun, malang. Gadis itu malah menginjak batu dan limbung. Sang pangeran menangkap lengannya, membantu gadis itu untuk kembali tegak.
Seperti memahami kebingungan Indri, seraya tersenyum laki-laki itu berkata, "Selamat datang di duniaku, Indri."
☘️☘️☘️
Udeng: Ikat kepala
☘️☘️☘️
Ranu Kumbolo di Malam Hari
Sumber foto: https://bengkuluekspress.disway.id/read/164389/menyaksikan-keindahan-danau-ranu-kumbolo-di-bawah-kaki-gunung-semeru
= = = = = = =
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro