[4] Hantu Kereta Gajayana
Kereta Gajayana, 6 Mei 2016, 05.14 WIB.
Tak terasa, kereta telah memasuki Kabupaten Malang setelah hampir 13 jam perjalanan. Hari baru telah datang.
Indri terbangun ketika sekali lagi kereta berguncang agak keras. Gadis itu mendapati dirinya semalaman tidur berbantalkan pundak bidang seseorang.
"Pagi, Indri," sapa Zaki dengan senyum tipis dihiasi ringis--yang mungkin disebabkan oleh kesemutan. Sebab, hampir lima jam ia duduk tanpa bergerak.
Astaga, sudah sejak kapan aku bersandar di bahunya? Kira-kira tadi malam gue ngorok nggak, ya? Atau, jangan-jangan malah ngiler? Gadis yang disapa malah berpikir panik.
Lalu ia menegakkan tubuh sambil menggeleng kuat, telapak tangannya dengan cepat mengusap mata serta mulut. Berusaha menghilangkan jejak belek dan iler yang mungkin saja masih menggantung.
"Kenapa, Dri, kamu pusing? Atau masih ngantuk?" tanya Zaki penuh perhatian. Laki-laki itu tak menyadari kalau apa yang dilakukan malah membuat gadis di sebelahnya semakin salah tingkah.
Indri kembali menggeleng dan segera mengalihkan pandangan ke luar jendela. Langit masih sedikit gelap. Semburat kebiruan di ufuk timur baru saja mengintip malu-malu menyapa Bumi.
"Masih lama perjalanan kita, kalau masih ngantuk tidur lagi aja. Nanti, kalo sudah sampai aku bangunin."
"Eh. Enggak, kok, Kak. Aku udah nggak ngantuk lagi," elak Indri seraya menahan kuap agar tak terlalu lebar.
Zaki tersenyum kecil melihat tindak-tanduk sang junior yang menggemaskan.
"Emm. Kalau gitu, aku titip tas, ya. Mau ke toilet." Pria itu berkata lagi sambil menepuk tas selempangnya.
"Iya, Kak." Indri mengangguk kecil tanpa menatap mata sang senior.
Mendengar jawaban tersebut, Zaki dengan segera memberikan tas kecilnya. Lalu dengan cepat berjalan menuju ke ujung gerbong dan terlihat sedikit terburu-buru mengetuk pintu toilet. Sekilas terlihat laki-laki itu meregangkan bahu kanan yang sempat kram akibat tak digerakkan hampir semalaman, tepat sebelum masuk ke toilet.
Indri menatap geli dan bergumam pelan, "Sudah berapa lama dia menahannya?"
Gadis itu sungguh tak menyangka, sang ketua ternyata memiliki sisi manis di balik sikap tegasnya selama ini.
Ups! Apa yang aku pikirkan?
Gadis itu kembali menggeleng dan ikut meregangkan tubuh, berharap ototnya yang sedikit kaku setelah duduk lama kembali rileks. Ia pun kemudian mencoba memejamkan matanya lagi, sebab masih ada sisa kantuk di sana.
"Indri," panggil seseorang.
Indri pun membuka matanya lagi.
Suara itu?
Suara yang dalam dan terdengar mirip seseorang yang pernah dikenal oleh Indri entah di mana.
Gadis itu mulai mencari asal suara, ia berdiri dan mengedarkan pandangan guna mencari sumbernya. Namun, seperti layaknya pemandangan dalam gerbong kereta yang tengah melaju di malam hari, penumpang lain sebagian besar masih tidur. Hanya sedikit yang membuka mata dan jelas tidak mungkin ada yang iseng memanggil namanya. Kawan-kawan satu organisasi bahkan masih pulas semua.
Lalu siapakah yang memanggilnya barusan?
Indri mengalihkan pandangan ke ujung gerbong belakang. Baru ia menyadari ada sosok yang berdiam di dekat pintu keluar dekat toilet, sosok tersebut kini tengah memandangnya dengan mata kosong.
Sungguh-sungguh kosong, bagian matanya gelap. Eh, sebentar. Sepertinya sosok itu memang tak memiliki bola-mata.
Gadis itu bergidik ngeri, lalu cepat-cepat duduk meringkuk di sudut. Meski sudah terbiasa dengan keberadaan hantu, tetapi sosok tersebut terlalu seram. Indri yakin, kalau hantu yang ia lihat barusan bermaksud jahat.
"Kenapa, Dri? Dingin?" tanya Zaki--yang baru saja kembali dari toilet--heran melihat tingkah gadis mungil itu yang tiba-tiba menggigil.
Laki-laki itu bingung saat mendapati Indri yang tiba-tiba seperti orang ketakutan. Apalagi gadis tersebut hanya dapat menjawab dalam diam.
Di sana, ada yang melihat.
Indri menunjuk dengan sudut matanya ke ujung gerbong, ke arah sosok mengerikan tanpa mata yang terus memperhatikannya.
Sedang laki-laki di depan Indri masih abai tak mengerti. Ia malah sibuk mengatur AC agar menghadap ke tempat lain, sebab mengira gadis itu mungkin kedinginan. Kemudian Zaki memberikan jaketnya guna menutupi tubuh mungil gadis tersebut.
Setelah Zaki duduk dan mereka saling bertukar pandang, barulah kemudian pria itu menyadari. Mata Indri terus menatap ketakutan ke satu arah.
Laki-laki itu segera menghalangi pandangan gadis tersebut dengan telapak tangannya.
"Indri, apa yang kamu lihat? Abaikan saja, lihat aku saja!" pintanya sambil berusaha mengalihkan pandangan gadis itu.
Indri pun berkedip, lalu memandang pria di depannya lekat. Kemudian ia memejamkan mata dan mulai menggumamkan doa dari bibir yang bergetar. Napasnya pun mulai teratur setelah beberapa menit berselang.
"Kenapa begini lagi?" gumam Indri kepada dirinya sendiri. Ia merutuki diri karena selalu merasa lemah. Sedangkan Zaki hanya memandang gadis itu tanpa tahu harus berbuat apa.
Setengah jam kemudian, dari balik jendela kaca kereta tampak semburat mentari akhirnya muncul memamerkan warna keemasannya yang mulai mewarnai langit.
Seiring terbitnya mentari, sosok mengerikan tadi pun menghilang bagai asap.
☘️☘️☘️
Di sisi lain, tepatnya di lokasi yang cukup jauh dari Kerajaan Negeri Sukma Hilang. Dua sosok yang dipercaya penduduk sekitar sebagai penjaga Gunung Semeru, sedang duduk di ketinggian bukit.
Pemandangan alam di sekitarnya sangat luar biasa. Terdapat danau yang dikelilingi hutan hujan tropis luas yang menghijau bak serpihan zamrud. Permukaanya bagai cermin yang memantulkan bayangan indah bukit yang berbaris.
Cipta, adalah dewa yang menjaga Gunung Semeru. Penampakannya adalah pria tua, gemuk, dengan wajah arif yang dihiasi jenggot putih panjang. Ia selalu memakai pakaian serba putih seperti petapa dan di kepalanya terdapat mahkota berbentuk stupa bertingkat tiga.
Ia kini sedang bermandi matahari pagi bersama pria lainnya, yaitu Jaga. Pria itu merupakan koleganya dalam menjaga keseimbangan alam gunung.
Berbeda dengan Cipta, Jaga tidak berjanggut. Rambut sebahunya pun belum memutih sedang wajah tampannya selalu tersenyum ramah. Ia sangat menyukai bunga serta selalu membawa seruling di tangan kiri. Namun, ia juga memakai pakaian serba putih seperti yang dikenakan Cipta. Mahkotanya pun berbentuk stupa bertingkat, tetapi dihiasi bulu merak di sisi kanan.
Angin sejuk menerpa janggut Cipta dan rambut Jaga, saat keduanya tengah asyik bercengkerama seraya menatap danau dari kejauhan.
"Arjuna kini sedang dalam perjalanan dari Lawu. Sepertinya, ia telah menerima titah ayahnya untuk memboyong gadis yang terpilih itu," ujar Cipta seraya memainkan janggutnya.
"Hal itu memang sudah seharusnya, jika ingin Negeri Sukma Hilang bertahan. Wijaya sebagai raja tak memiliki jalan lain selain menitipkan benih kepadanya," sambung Jaga yang matanya menyipit menatap matahari yang mulai terik.
"Itulah kendala yang terjadi pada negeri itu. Mereka juga tidak bisa mengambil sembarang manusia, mereka hanya dapat memiliki pewaris melalui titisan Dewi Amarawati saja."
"Ya. Selain itu, memang sudah waktunya bagi Arjuna menunaikan tugas sebagai pangeran. Sebab prosesi pernikahan dua dunia ini hanya dapat dilangsungkan ketika Purnama Biru terbit saja. Seperti saat Wijaya meminang Widyadari, 38 tahun yang lalu."
"Kalau begitu, Arjuna harus bergerak cepat kalau ingin memenangkan hati gadis itu sebelum pernikahan. Sebab purnama tersebut akan terjadi dua minggu lagi."
Cipta dan Jaga mengangguk-angguk, seraya menarik napas panjang dan kembali menikmati pemandangan alam lagi.
☘️☘️☘️
Sumber gambar:
https://www.1001malam.com/travel/museum-kartun-rumahnya-kartun-kartun-penuh-arti/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro