Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1] Mimpi yang Terabai

Hari Keberangkatan, 5 Mei 2016, 08.10 WIB.

Kamar dengan cat dinding warna kuning gading milik Indri masih gelap. Sinar mentari mengintip melalui sela lubang angin dan jendela yang tidak tertutup gorden. Di sisi kanan tempat tidur, terdapat tas carrier merah marun yang masih belum terkancing sempurna. Jas hujan, sleeping bag, matras, jaket, dan beberapa perlengkapan untuk mendaki lainnya masih berserakan di atas lantai keramik. Sedang sang pemilik kamar, masih mendengkur pelan di atas kasur dengan seprai bergambar daun maple.

Getar gawai yang terus-menerus terdengar, membuat Indri akhirnya terjaga dari perjalanannya di alam mimpi. Dengan malas ia meraih ponsel di atas nakas. Mata yang pelupuknya masih setengah terpejam itu, melirik layar dan melihat nama Tika--sahabatnya--tertera di sana. Gadis itu pun menggeser telunjuk di atas layar.

"Halo. Ada apa, Tik?" sapa gadis manis itu dengan suara parau.

"Woiii! Indri Arkadewi! Busyet! Lo masih molor, ya? Inget! Jam sembilan kita udah harus kumpul di sekret!" Suara di seberang terdengar melengking.

Gadis yang dipanggil, otomatis segera menjauhkan ponsel dari telinga.

"Lo kepagian morning call-nya, ini baru jam enam," sahut Indri dengan mata yang masih setengah terpejam.

"Melek dulu, tuh, mata! Sekarang udah jam delapan lewat." Suara Tika terdengar gemas.

Mata sayu Indri berpaling ke arah jam beker di atas meja dan ia pun terlonjak. Ya, ampun! Lupa disetel! serunya dalam hati. Rasa kantuk serta merta hilang, gadis itu pun langsung menyibak selimut sampai terjatuh ke lantai.

"Oke, Tik, kita ketemu di sekret, ya, bye!" Sambungan telepon pun segera dimatikan bahkan sebelum Tika sempat menjawab.

Tika yang sedang berdiri di pinggir jalan jelas merasa kesal saat mengetahui panggilannya dimatikan. Meski merasa kesal seraya menatap gawai yang digenggamnya, tetapi sebagai sahabat ia sudah paham kalau Indri memang harus terus diingatkan saking susahnya bangun pagi.

"Yeee! Untung gue telpon. Kalo enggak, lo pasti kita tinggalin!" omelnya sambil mengentakkan kaki.

Namun, kini ia sudah bisa bernapas lega karena seperti telah menyelesaikan tugas penting, gadis tomboi itu pun langsung melambaikan tangan pada angkot yang hampir saja melewatinya.

"Kampus UPKI, ya, Bang!"

Sang sopir mengangguk lalu tancap gas setelah gadis itu duduk.

Saat Tika sedang dalam perjalanan menuju salah satu universitas bergengsi di kotanya. Indri--gadis mungil dengan tinggi 158 cm tersebut--bangkit secepat kilat dari tempat tidur dan segera meraih kasar handuk dari dalam lemari, ia sampai tak peduli gara-gara kelakuannya membuat dua buah handuk lain terjatuh.

Namun, selangkah setelah dirinya menyampirkan handuk ke bahu, sekelebat teringat pula mimpi semalam yang terasa begitu nyata. Ia bertemu dengan seorang pangeran dari negeri antah-berantah.

Indri tengah berdiri di tepi danau. Alam sekitarnya berwarna hijau keperakan. Paduan warna yang terasa mistis itu terjadi akibat pantulan sinar rembulan pada air yang tenang. Akar pohon beringin menggantung sampai menyentuh permukaan air jernih bagai surai kuda yang menjuntai.

Selagi menikmati eloknya pemandangan tak biasa itu, Indri pun menyadari kalau dirinya tidak sendirian. Ada pria gagah yang sedang memandang dari sisi lain danau. Ia memakai pakaian khas kerajaan bak seorang pangeran dalam tayangan drama kolosal televisi Angling Dharma.

Laki-laki itu kemudian berjalan di atas permukaan danau yang tiba-tiba seperti membeku. Napas Indri seketika tertahan, ia terpana dengan kejadian yang terasa aneh itu.

Sang pangeran terus berjalan mendekat, bahkan Indri sampai tak berani berkedip kala pria tersebut semakin mendekat dan tampak tinggi menjulang terbingkai wajah rupawan. Jarak antara keduanya yang hanya tinggal beberapa meter saja. Membuat gadis itu dapat menilai postur pria di depannya. Sempurna.

"Masyaallah, alangkah tampannya makhluk ciptaan-Mu ini," lirih gadis itu tanpa sadar, ia terlalu takjub sampai hanya bisa berkata dengan bibir setengah terkatup hingga tak mampu menyembunyikan decak kagum yang terdengar seperti bisik.

Ketika jarak kian memendek, gadis itu otomatis mundur. Entah mengapa dirinya gentar terhadap kharisma sang pangeran.

Melihat gadis di depannya mundur, sang pangeran tampan segera meraih jemari Indri. Senyum yang menggetarkan jiwa pun tersungging setelahnya.

"Aku, Arjuna Birawa--"

Gelengan kuat membuat rambut panjang bergelombang milik Indri berayun. Ia mencoba menghalau lamunan akan mimpi yang diingatnya barusan.

Meski begitu, dirinya tak dapat menampik perasaan kalau mimpinya terasa nyata. Percikan air terjun yang sejuk bagai menembus pori-pori, suara gemeretak kerikil dan dahan kecil yang tak sengaja terinjak, termasuk juga sentuhan lembut sang pangeran yang menggenggam jemarinya erat. Kalau saja kini ia tak sedang berada di kamar, gadis itu yakin kalau memang berada di tempat asing tersebut.

Aih! Tidak ada waktu buat memikirkan hal itu, pikir gadis yang segera bergegas lagi menuju kamar mandi.

☘️☘️☘️

Di sebuah negeri nun jauh dari tempat Indri berada, seorang laki-laki gagah dengan pakaian kebesaran khas seorang pangeran, berjalan mantap menuju balairung yang berada di tengah istana. Langkah lebarnya membuat kain batik cokelat tua berpadu sinjang sewarna kuning gading seperti melayang diterpa angin. Walau pakaian kebesarannya tampak berat dengan berbagai aksesoris yang terbuat dari emas, ia tak terlihat lelah. Justru setiap kakinya menyentuh lantai, terdengar suara gemerincing lembut bagai menggetarkan tanah di bawahnya. Menandakan seberapa tinggi ilmu kanuragan yang dimiliki.

Setelah melewati lorong dengan banyak pilar. Sampailah ia di depan pintu berukir dari kayu jati berwarna cokelat kemerahan--yang terbuka seketika bak menyambut dirinya.

Dengan percaya diri, pria itu kembali melangkah lebar memasuki ruangan paling luas dalam istana tersebut. Membuat kain panjang yang tersampir pada pundak, melayang terempas udara akibat gerakannya yang mantap sekaligus ringan.

Di tengah balairung, terdapat kubah besar yang menambah kesan megah ruangan yang dipenuhi dengan ukiran emas berpadu batu alam berwarna biru. Hampir di ujung, terdapat undak tertinggi tempat singasana yang terbuat dari kayu jati berukir sepasang naga saling berhadapan. Singasana tersebut diduduki oleh seorang laki-laki lain yang sama gagahnya. Hanya saja, ia telah berjanggut panjang dengan wajah sedikit keriput yang menyisakan ketampanan bersahaja.

Sang pangeran menatap hormat kepada pria tersebut--yang langsung duduk tegak bak menyambut kedatangannya.

Ayunan tangan lembut seperti melambai diberikan oleh sang pangeran--bagai perintah tanpa suara--untuk kedua dayang yang tengah mengipasi dengan bulu burung merak--yang dirangkai menyerupai kipas besar--agar segera beranjak mundur ke luar ruangan.

"Anakku, Arjuna Birawa," panggil laki-laki yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi negeri yang bak dalam dongeng itu. Bibirnya menyunggingkan senyum bangga akan keberadaan sang pangeran yang telah tumbuh sangat baik, diluar ekspektasinya sebagai raja.

"Ya, Yang Mulia Ayahanda," sahut sang pangeran seraya mengangguk patuh. Suara berat milik Arjuna menggema seantero ruangan.

"Tak terasa, usiamu kini sudah sepantasnya untuk menikah." Mata Prabu Wijaya yang merupakan pemimpin Negeri Sukma Hilang, menatap putra satu-satunya itu.

"Menikah? Apa gunanya?" balas sang pangeran, ia heran dengan kalimat ayahnya barusan.

"Aku sudah semakin tua, Arjuna. Tampuk kepemimpinan akan segera diserahkan kepadamu dalam waktu dekat. Bukankah, sudah saatnya aku lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta? Untuk itu, kau harus segera memiliki istri sebagai pendamping dan memiliki keturunan bersamanya."

"Iya, Yang Mulia, aku mengerti. Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah kita ditakdirkan tak lagi dapat memiliki keturunan? Jangankan diriku, Anda dan seluruh penduduk negeri juga memiliki kondisi yang sama?" Sang Pangeran menatap sang raja dengan tatapan bingung.

"Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Anakku. Apa saja bisa terjadi atas seizin Yang Maha Agung," jawab sang prabu, ia mengerti arti dari tatapan putranya.

"Kalau begitu, dengan siapa aku bisa menikah dan memiliki keturunan?" 

Prabu Wijaya tersenyum kecil, ia pun menuntaskan rasa penasaran anaknya tersebut dengan memintanya mendekat.

"Kemarilah!"

Arjuna pun menaiki undakan dengan langkah yang mantap. Meskipun dalam benaknya masih jelas tersimpan banyak pertanyaan.

"Aku akan memberitahukan kepadamu sesuatu, wahai Pangeran dari Negeri Sukma Hilang."

"Memberitahukan tentang apa, Yang Mulia Ayahanda?"

"Rahasia negeri ini, rahasia yang tak sembarang orang bisa tahu. Rahasia yang menjadi anugerah tersendiri dari Yang Maha Esa untuk negeri kita. Termasuk di dalamnya, ada rahasia tentang kelahiranmu."

Sang pangeran menengadah, matanya melebar dengan tambahan kernyit pada dahi. Arjuna menatap lekat wajah sang raja yang matanya menyorotkan keseriusan atas kalimat barusan.

"Rahasia tentang kelahiranku?"

☘️☘️☘️

Foto adalah, ilustrasi danau tempat Indri dan Arjuna bertemu dalam mimpi.

Sumber Gambar:

https://pin.it/3WarlTs

☘️☘️☘️

Revisi:
14 Juli 2024, 21.15 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro