ROUND 9: Dua Bedebah Cukup
Sore harinya, Iram mengantarkan Anis ke bandara terdekat, mengusirnya pulang.
Setelah mendapat telepon Jeep pesanannya tiba, Iram tanpa peringatan menyeret—menggendong—Anis masuk ke mobil tanpa membawa barang-barangnya di apartemen.
Walaupun meronta dan mengamuk, Anis pada akhirnya kalah. Duduk diam hingga di kursi pesawat.
Iram mempersiapkan segalanya, termasuk uang agar Anis melanjutkan perjalanan ke rumah. Jangan lupakan dua penjaga yang disewa Iram untuk memastikan Anis benar-benar masuk ke pintu rumahnya.
“Ini tidak adil.” Anis mengepal tangan erat. Tidak berani berbicara nyaring saat Iram berbicara dengan dua penjaga berbaju hitam itu.
“Meski dia udah bilang kalau bokap ada di mana, gue tetep aja gak bisa tenang. Lagian niat banget ngusir gue sampe ikutan transit ke sini.”
Anis bersedekap dada. Tidak puas mendengar penjelasan Iram sepanjang perjalanan dari mobil hingga di pesawat.
Iya, om-om ini mengikuti penerbangannya sampai transit ke pesawat selanjutnya. Sebagai gantinya, dua penjaga itu akan mengikuti Anis sesuai perintah.
Sudah 23 tahun, tapi dia masih diperlakukan seperti balita.
Memangnya dia tidak bisa pulang sendiri apa?
Sangat marah.
“Ayo, kau cepat pergi. Aku ada urusan. Jangan merepotkan mereka berdua. Kau duduk diam saja seperti patung.”
Anis berdecak keras. Sengaja menempel ke telinga Iram. “Cerewet!”
“Kau-” Iram mendelik. Mengatur napasnya senormal mungkin, meredakan emosi. Bisa-bisa dia darah tinggi terlalu lama dengan sigung ini.
“Pergilah, sebentar lagi pesawatnya berangkat.” Iram melihat dua pria berbaju hitam. “Kalian jangan lengah. Dia bisa melakukan apa pun untuk menipu kalian. Bahkan jangan izinkan ke kamar mandi walau dia bersujud. Dia licin seperti belut.”
“Laksanakan, Tuan.”
“Oy!” Anis tidak terima. “Trus gue mau buang air di mana kalau gak ke toilet?”
“Pakai saja botol.”
“Idih, najis!”
Iram tetap keukeh. Dia mengancam kedua penjaga itu. “Pokoknya jangan biarkan dia berdiri dari tempat duduk. Kalau perlu borgol sekalian!”
“Siap, Tuan. Kami membawanya,” jawab mereka kompak.
“Bagus.”
“Apa sih, gue bukan penjahat kali! Gila lo, ya? Gak mau gue.” Anis sempurna menyalak, mencengkeram kerah baju Iram. Matanya melotot seakan bisa melompat kapan saja.
Iram balas menatap dengan tenang, tersenyum miring. “Aku tidak pernah lupa caramu mengelabuiku dengan berpura-pura ke kamar mandi dan terjun dari pesawat. Atau di kamar mandi bandara saat kau menyamar, berbaur dengan kerumunan orang. Aku memang meremehkanmu saat itu, tapi sekarang tidak lagi.”
Iram melepaskan tangan Anis. “Dan jangan pernah menyentuhku seolah pernah dekat saja.”
Anis membatu. Tangannya lunglai ke sisi tubuh, tertunduk menatap lantai bandara. Namun, sedetik kemudian tangannya mengepal kuat, memukul Iram telak di pipi.
Iram terhunyung ke belakang, tidak siap menerima serangan. Dua penjaga bergerak menolong, tapi Iram memberi isyarat dengan tangannya.
Sudut bibirnya mengeluarkan darah, Iram mengusap bekasnya dengan ibu jari. “Lumayan.” Dia menyeringai. “Dengan begini aku jadi tenang meninggalkanmu,” katanya lirih.
Iram berbalik, mengangkat tangan, menyuruh kedua penjaga itu membawa Anis pergi. Dia sudah tidak punya urusan di sini.
***
Arga bergegas meninggalkan Saudi ketika menerima paket berisi foto seseorang. Jantungnya berpacu cepat dengan waktu.
Segera memesan tiket paling awal ke New York, merampok sedikit uang Dash sebagai pegangan.
Anak itu tengah tidur. Arga kehabisan waktu hanya membuatnya bangun. Dia akan menerima omelan Dash setelah misi ini selesai.
Harusnya uang sekecil ini tidak aka mengganggu persahabatan mereka bukan?
Arga tidak tahu saja kalau uang yang diambilnya adalah uang terakhir Dash. Sudah pasti kepalanya akan menggelinding jika bertemu nanti.
“Silakan pasang sabuk pengaman Anda, Nyonya dan Tuan sekalian.”
Suara pramugari membuat Arga bergegas duduk, memasang sabuk, mengambil napas sebentar. Dia hampir tidak tidur semalaman setelah bermimpi buruk. Lalu keesokan harinya mimpi buruk itu hadir di selembar foto entah kiriman siapa.
Tidak ada nama atau alamat pengirim di berkasnya. Namun, Arga tahu pasti kalau Falgot yang mengirimnya.
Arga tahu pasti maksud mereka mengirimkan foto itu. Mereka tepat sasaran. Arga memakan kailnya tanpa berpikir, berlari bagai orang kesetanan.
Arga berkali-kali berdoa dalam hati meski dirinya tidak percaya Tuhan. Terus menggumam kata-kata baik agar dia selamat dan baik-baik saja.
Mimpi mengerikan itu terus membayangi Arga seolah nyata terjadi. Dia tidak sanggup membayangkannya di dunia nyata.
Satu-satunya cara menyelamankannya adalah bergabung dengan rencana konyol Falgot.
Arga tidak punya pilihan lain meski harus menjilat ludahnya sendiri. Dia habis-habisan memaki mereka, sekarang dirinya berlari secepat kilat setelah melihat satu foto.
“Memang kenapa? Toh, mereka yang lebih senang karena aku mau mengambil misi ini.”
Arga bukan mencari pembenaran, tapi memang faktanya seperti itu. Falgot jelas lebih butuh agen seprofesional dirinya.
Anak buah mereka pasti hanya kumpulan bocah bau kencur kemarin sore. Misi konyol menyelamatkan dunia tentu saja membuat mereka tertekan.
Iram saja sampai dipanggil bertugas kembali.
“Iram?”
Nama bedebah ini tidak asing.
Arga mengumpat kecil. Ingat dirinya masih di pesawat. Mengutuk diri sendiri yang lupa pada hal penting itu.
“Aku tidak mungkin bekerjasama dengan orang biadab sepertinya.”
Apa pun yang terjadi, sampai kiamat pun Arga tidak sudi menjadi partnernya. Bahkan, Arga saja cukup membuat misi ini sukses.
Kenapa harus dua jika satu orang bisa mengatasi?
Arga menghela napas. Dia akan mengusulkannya nanti. Bedebah itu tidak punya kepentingan apa-apa.
Sebaliknya, ada seseorang yang sangat membutuhkan Arga, begitupun sebaliknya.
***
Arga tiba di depan markas Falgot. Disambut seorang wanita yang memandunya masuk ke dalam.
Terakhir kali di sini Arga bangun di ruangan putih. Ternyata tampak depannya biasa saja seperti perkantoran pada umumnya.
Arga pikir akan menakjubkan dan spektakuler, misalnya bangunannya muncul dari dalam tanah atau air. Ternyata biasa aja.
Falgot, organisasi bawah tanah terbesar yang pernah Arga dengar selama hidupnya. Tidak jelas apa tujuan organisasi ini dibangun, siapa yang mengawali, atau darimana mereka mendapat pemasukan. Semuanya rahasia.
Namun, melihat sepak terjang Iram … mereka tidak beda jauh dengan organisasi gelap lainnya. Hanya mereka menjuluki diri sendiri sebagai organisasi putih.
Semacam kumpulan orang-orang yang menjungjung tinggi keadilan.
Arga mencibir. Bualannya bagus sekali.
Arga dipandu masuk lift, diberitahu menekan tombol lantai mana dan berhenti di ruangan berpintu besi. Wanita yang mengantarnya berdiri di luar lift, mengangguk sopan.
Arga mengangguk kaku. Melakukan sesuai instruksi, lima menit berikutnya lift terbuka dia melihat pintu besi yang dimaksud. Langsung terbuka begitu Arga keluar dari lift.
Lelaki muda berkacamata yang Arga ingat bernama Ash berdiri menunggunya. Wajahnya masih sekaku terakhir bertemu. Sangat serius dan enggan diganggu.
“Pimpinan sudah menunggu.”
Arga masuk ke ruangan. Isinya sama seperti beberapa hari kemarin. Seseorang duduk di kursi, dibatasi meja beton tanpa barang lain, lalu di depannya juga duduk seseorang.
Kursinya berputar, menapampakkan wujud manusia paling dibenci Arga sedunia. Mereka saling menatap sinis, sebelum pimpinan berdiri dan bersuara,
“Selamat datang kembali, Iram dan Arga.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro