Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ROUND 5: Belum Sempurna Lupa

Maksudmu kita menikah?”

“Iya. Kau setuju?”

Menikah seperti di altar itu, kan?”

Hm. Akan ada banyak bunga kesukaanmu.”

Hm, tawaran menarik. Baiklah!”

Tiupan angin menyadarkan Iram saat hembusannya menghantarkan dingin. Dia mengusap wajah kasar, menenggak kembali botol vodka di tangan. Berusaha menentramkan hatinya yang bergemuruh kala ingatan manis itu hadir. 

Ah, sial sekali. Kenapa dia bisa memikirkannya?

Jika diingat lagi … Iram dulu pernah bahagia. Mereka bahkan akan menikah, memimpikan keluarga kecil dengan dua bayi yang menghidupkan megahnya rumah. 

Sesederhana itu impiannya saat bayangan tentang pernikahan tidak pernah terlintas sebelumnya. Sesederhana itu juga Iram menghancurkan segalanya setelahnya.

Iram berdiri di pinggir kolam, masih dengan vodka yang tidak lagi dingin. Dia tidak kembali ke penginapan Miriam, memilih pergi lebih jauh dari New York.

Iram sudah melupakannya. 

Lupa. Sempurna lupa. 

Jenis lupa yang tidak akan teringat jika tidak ada yang mengungkitnya. Dan itu terjadi kemarin. Nama itu kembali disebut. Nama terlarang yang pantang disebut siapa pun. 

Iram bahkan melarang dirinya sendiri memegang ponsel agar tidak mendengar kabarnya. 

Iram tidak terkejut mendengar namanya ada di balik pembuatan virus berbahaya ini. Pria gila eksperimen sepertinya akan setuju tanpa berkedip ketika menemukan sekutu yang kuat.

Iram terkejut karena nama itu akan menyeret semua daftar kenangan yang dia lupakan. 

Seseorang yang jadi bagian dari pria itu.

Semua kilasan kebahagiaan seperti ditayangkan tanpa iklan. Sempurna melibas benteng yang Iram bangun dengan susah payah. 

“Dia selalu membuat masalah di mana-mana.” Iram menyugar rambutnya kesal.

Terakhir kali Iram mendengar kabarnya, dia menghilang dan membuat seluruh orang khawatir. Tahu-tahu kembali dengan tumpukan uang, berbicara singkat dengan anaknya, lalu pergi lagi.

Bagaimana Iram tahu? 

Itu karena 'barang' Iram masih tertinggal di sana. Saat pertama kali bertemu dengannya ... Iram meletakkan sesuatu dan tidak pernah diambil. Juga tidak pernah bisa dia hancurkan walau ingin.  

Pada akhirnya Iram masih terjebak di rumah itu. Seolah-olah dia berada di sana.

Namun, Iram membekukan hatinya. Dia menulikan telinga dari kabar-kabar yang didengar sendiri.

Iram mengabaikan. Berusaha tidak peduli, memutuskan ikatan rapuh. Namun, belum kuasa dibuangnya.

“Waktu itu aku tidak menyangka rencana kita akan berbeda. Semuanya seperti mimpi. Hilang begitu saja saat membuka mata.”

Pupilnya menyusut, tertunduk menekuri lantai kolam. Otaknya enggan berhenti menampilkan sketsa kejadian masa lalu. Terus bergerak, terus bergulir hingga tiba di perhentian terakhir.

Perpisahan mereka. 

Iram menenggak vodka. Tarikan napasnya terasa berat. Efek alkohol atau tekanan di dada semakin menyiksa.

“Terkadang dunia bukan menyukaimu, tapi lebih senang bermain denganmu.”

Apa yang harus dilakukan Iram? Menyelamatkannya? Oh, yang benar saja!

Iram duduk tegak. Kembali sadar dengan fakta satu itu. Netranya menyorot tajam ke depan.

Iram yakin 1000% dia akan mengumpat begitu melihat wajahnya. Lagi pula siapa yang sudi? 

Seolah tidak ada orang lain saja di dunia ini.

“Dipikirmu dengan kau memberitahu tentangnya, aku akan sukarela membantumu? Menyelamatkan dunia?” Iram mengumpat membayangkan wajah pimpinan.

Iram tidak mabuk. Dia sempurna sadar apa yang dibicarakannya. Alkohol sekuat vodka bukan apa-apa dibanding luka yang kembali dikoyak di dadanya. 

Iram ingin menangis. 

Tangis yang sama dan untuk pertama kalinya dalam hidup, saat dunianya kembali hitam. 

Menyelamatkan dunia apanya? Menyelamatkan cintanya sendiri dia tidak mampu. 

“Ck, lebih baik aku berendam.”

***

Saudi Arabia.

“Kau pulang, Gelandangan?”

Sebuah sepatu melayang hampir mengenai lelaki rambut mohawk. Dia tergelak melihat wajah masam Arga yang terlihat seperti gelandangan sungguhan. 

Sepatu boat—padahal musim panas—jaket kusam, topi lebar, dan jangan lupakan wajah yang penuh bulu-bulu keabadian. Arga melempar tasnya sembarang, duduk di sofa, lalu menutup wajah dengan topi buluknya.

Dash, sang tuan rumah terkekeh. Meletakkan sampanye di meja.“Kau bertekad menghilang selama dua tahun dan kau berhasil. Dua tahun sepuluh hari. Kenapa tidak kau genapkan sebulan? Sudah kehabisan uang?”

“Diamlah,” sahut Arga ketus.

Dash terbahak puas. Tebakannya benar, tetapi sepertinya tidak sempurna tentang itu. 

Dash membuang topi Arga, membuat pemiliknya mendesis marah—tidurnya terganggu. “Pertama,” Dash memulai ultimatumnya. 

“Bersihkan dirimu dan singkirkan semua bulu sialan di wajah itu. Aku tidak menerima babi busuk masuk ke sini. Walau kau babi sekalipun, kau harus bersih.” Arga mendengkus keras. “Kedua,”

“Apalagi maumu maniak kebersihan?” sentak Arga.

“Ceritakan apa yang terjadi. Aku juga tidak menerima pengunjung dengan banyak rahasia.”

Arga berdecak, mendorong bahu Dash. “Ya, ya. Lakukan semaumu.” 

Dia berdiri. “Toilet.”

Dash tersenyum senang, menunjuk tempat yang ditanyakan Arga. 

“Oh, oke.” Arga berjalan ke sudut ruangan yang ditunjuk Dash, tetapi di tengah jalan dia melepas jaketnya sembarang. Tergeletak di lantai. 

“Hei! Kau! Kau mau mati! Cepat buang kain lusuh itu dari lantai suciku!”

“Ya, tolong bantuannya petugas kebersihan.” Arga menjawab malas, melangkah ke toilet dengan kaki berat. 

Netranya mengedip pelan, melihat pantulan rupanya di cermin, sangat buruk, berantakan, kusam, persis gelandangan kata beberapa orang yang ditemuinya kemarin. 

Arga mendesah lelah, menyalakan kran air. Hidupnya masih tanpa tujuan seteah dua tahun berlalu tanpa terasa. Masih belum mengerti keinginan hatinya sendiri. 

Membuka lemari kecil di dekat cermin, menemukan krim wajah dan pencukur milik Dash. Dash, sebenarnya lelaki itu tidak jauh berbeda dengannya perihal cinta. 

Namun, Dash sungguh berbeda dengannya perihal bangkit dari keterpurukan. 

Dash lebih cepat menengadah, menatap ke depan dan melangkah maju. Lalu tidak ada yang bisa menghentikannya setelah dia meninggalkan masa lalu. 

Tidak seperti Arga yang susah move on. 

Bunyi mesin cukur memantul di setiap dinding kamar mandi, tidak membuat kilat gairah di mata Arga kembali menyala. Bunyi mesinnya hanya menyambangi permukaan telinga, lalu hilang begitu saja. 

Hampa terus bersemayam di ke dalaman benaknya, berputar di sana untuk waktu yang lama. 

Mengusap dagu dengan air, tangannya menggosok foam yang dibuat dari sabun wajah, dipijit pelan ke pipi dan area wajah. Enak sekali. 

Menyegarkan dan dingin. 

Ah, kapan terkahir kali dia menyentuh air? Selesai dengan wajah dan sikat gigi, Arga keluar menuju asal bau harum makanan begitu membuka kamar mandi. 

Dash menoleh mendengar langkah kaki seseorang, padahal Arga tidak memakai alas kaki. 

“Ohho, akhirnya teman tampanku kembali. Tapi kau harus mencukur rambut, Kawan. Kemari bantu aku menaruh ini di piring.”

Arga mendekat tanpa semangat, menerima piring, berikut wajan yang memuat dua daging steak yang dimasak medium rare. Aroma rosemary dan butter menguar ke hidung Arga, memaksa masuk ke otak, tapi ditolak mentah-mentah.

Arga bahkan tidak memiliki minat pada daging A5 di depannya. 

Dash terkekeh rendah, menepuk punggung Arga, membawa bahan spesialnya. “Ayolah, alkohol akan sangat cocok untuk daging.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro