ROUND 12: Pasukan Serdadu Tembak
"Di mana kau mendapat foto itu?" tanya Arga. Mengingat beberapa waktu lalu dia diperlihatkan sebuah foto.
Arga masih di ruang rapat, menunggu semua orang keluar untuk menanyakan sesuatu yang penting.
"Mata-mata kami." Pimpinan menjawab jujur. "Situasi terkini yang kusampaikan padamu. Iram tidak mengetahuinya."
Arga mengernyit. Mencium bau 'busuk'. "Aku lebih dari tahu kami berdua musuh sampai mati, tapi apa urusanmu masih menabur garam pada luka menganga? Alih-alih membuat kami rukun?"
Foto itu jelas berpotensi membuat mereka berdua saling membunuh.
Pimpinan berbalik, menatap Arga lurus. "Bagi Iram, pria itu tidak terlalu penting, tapi seseorang di balik si pria yang menjadi sorotan." Kepala pimpinan mendekat, berbisik, "Kubocorkan hanya padamu."
Arga merinding. Menjauh, mengusap telinga. Lagi pula apa pentingnya urusan dan alasan Iram setuju menjalani misi ini dengan dirinya? Apa untungnya Arga tahu kelemahan si tolol itu?
Arga bertanya satu hal, orang sok penting ini malah melebar ke mana-mana.
Pimpinan melanjutkan langkah dengan tenang dan lambat. Seolah menunggu pernyataan Arga selanjutnya yang sejak tadi ditahan. Dia suka situasi ini.
Iram ditemani Ash menuju ruang senjata lebih dahulu. Pria asia itu semangat sekali. Meskipun kini jinak, seekor macan yang pernah lepas dari kandang sekali tetap berbahaya jika makanannya hilang.
Setidaknya sekarang semuanya bergerak sesuai keinginan dia. Falgot kembali beroperasi.
Arga mendesah. Mengurungkan niat mengeluarkan Iram dari misi.
Ternyata bajingan itu punya rasa kemanusiaan juga. Rasa sentimentalnya pada orang yang tidak memiliki hubungan darah ... sama saja dengan bunuh diri.
Iram ini secara sukarela memasuki neraka abadi.
Alasan yang membuat Iram akhirnya menerima misi Falgot.
Arga mungkin cepat sekali menjadi pikun. Dia pikir alasannya sendiri berbeda dengan Iram?
Bergerak karena perasaannya pada orang lain?
***
Iram dan Arga duduk tenang di jok mobil bagian belakang. Di depan, Maria fokus menyetir, membelah jalanan California yang lengang.
Gerimis membayangi kaca mobil, membuat buram, meninggalkan hawa dingin ketika Arga membukanya.
“Tutup,” perintah Iram. Wajahnya terpantul di sisi lain kaca, tengah muram.
Arga menebalkan telinga. Sengaja memencet tombol agar kacanya semakin turun. Udara dingin serta tempias gerimis segera menyergap, menyembur wajah Arga.
Iram menghela napas. Malas meladeni orang bodoh yang tidak mengerti bahasa manusia. Netranya menatap kosong jalanan. Hampir tidak ada orang berkeliaran, lebih memilih menghangatkan diri setelah diguyur hujan deras. Gerimis ini sisa-sisa perhentiannya.
Rahang Iram sesekali berkedut mengingat perkataan pimpinan tempo hari. Satu-satunya alasan Iram mau duduk tenang di sebelah Arga. Satu-satunya alasan dia menahan jarinya agar bersikap baik.
Bekerjasama dengan Arga.
Iram menghela napas sekali lagi. Memaki pelan, “Anis bodoh.”
Arga di sampingnya memasang wajah datar, seolah tidak ada yang mengganggunya. Sangat tenang, menikmati terpaan kecil gerimis.
Arga ingat terakhir kali dia merasa menikmati sekitarnya, saat dirinya berusia 20 tahun. Penyamaran pertamanya untuk waktu yang lama, meninggalkan perasaan rindu hingga sekarang.
Masa-masa Arga merasa dirinya juga manusia, tersenyum, memerhatikan hal-hal kecil, dan … dia.
Arga mengerjap mendapat senggolan Iram. Kepalanya tertuju ke depan, melihat Maria turun, artinya mereka telah sampai di tujuan.
Menyusun rencana lanjutan.
Mereka bertiga tiba di sebuah penginapan usang beratap cokelat. Nama tempatnya hampir roboh, ditahan satu rantai berkarat. Gedung yang dicat putih itu telah banyak ditumbuhi lumut, bercak kecokelatan di makan jamur, beberapa sudah retak dan memperlihatkan batu bata yang menyokong.
Maria melangkah masuk, diikuti Arga dan Iram tanpa bicara.
Pemilik penginapan menyambut riang, seorang pria tua. Senyumnya segera terlipat melihat Maria. Berganti wajah tegang dan cemas. Pria tua itu tersenyum patah-patah.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanyanya terbata.
“Kamar susun tingkat tiga, tanpa bantal dan guling, kasur tipis saja cukup. Sediakan air panas juga,” kata Maria tanpa jeda.
Pria tua memaksakan senyum, mengangguk kecil. Dia memberikan Maria kunci. “Lorong sebelah kiri.”
Maria mengangguk kecil, pergi ke tempat yang ditunjukkan.
Pria tua tergopoh-gopoh berlari ke belakang, memanggil semua karyawan dan menyuruh orang-orang yang menginap segera keluar. Berseru marah saat ada yang tak terima.
Keadaan genting. Kedatangan Maria adalah pertanda buruk. Tidak lama lagi tempat ini akan hancur lebur. Lebih baik menyelamatkan diri sebelum terlambat.
“Mereka masih melakukan hal kuno begini.” Arga berkomentar. Dia menaikkan resleting jaket hingga hidung, menghalau bau menyengat sejenis mayat dari salah satu kamar.
Rusuh di belakang mereka anggap biasa. Tidak penting.
Iram berkedip setuju. Dia mencemooh, “Itu alasanku keluar dari organisasi payah ini.”
Mereka berdua masuk bergantian ke lorong sempit dan gelap yang dimasuki Maria, mengandalkan penglihatan malam yang terlatih secara sendirinya. Insting keduanya memberitahu jika lorong ini aman. Tidak perlu berjaga-jaga.
Langkah Maria terhenti. Masih dalam kegelapan, dia balik kanan, memutar kunci, membuka pintunya, masuk ke dalam tanpa peringatan. Iram dan Arga mengekor. Mereka disambut ruangan luas berlapis semen tanpa cat.
Saat lampu menyala, pupil Iram dan Arga membeliak lebar. Sengatan antusiasme segera tiba di otak mereka, menghapus dengan cepat perasaan cemas dan khawatir tempo hari.
Deretan senjata yang mereka pilih kemarin—ada beberapa tambahan, berbagai jenis kendaraan, bengkel kecil, ruang rapat dengan layar melayang, dan perentelan lain yang disediakan Falgot.
Suara sepatu boat Maria menggema, mengalihkan perhatian dua pria beda watak itu.
“Ini fasilitas yang bisa kita gunakan selama di sini. Khususnya kalian, bisa menggunakan apa saja selama memperlancar misi. Aku Maria, sebagai pemandu sekaligus asisten pribadi kalian siap membuat misi ini sukses.”
Arga diam mendengarkan, dia paham. Iram terkesima, baru kali ini mendengar suara wanita yang disebut manis di telinga. Bertenaga, sedikit rendah, tapi juga melengking. Sayang sekali kepribadiannya seganas kucing jalanan.
“Kalian bisa istirahat-”
“Kau bisa langsung beritahu rencana selanjutnya,” potong Arga. Memungut satu senjata paling unik di antara lainnya. “Waktu kita sedikit.”
Iram membenarkan. “Ayo buat misi payah ini menjadi singkat.”
Maria menyingkirkan rambutnya ke samping, mengambil tablet yang tersedia di meja. Informasi di dalamnya sudah terhubung dengan tablet sebelumnya.
Layar besar yang tampak melayang, menampilkan sebuah peta. Maria mengingatkan kembali informasi terakhir dari Ash. Memberitahu Iram dan Arga posisi terbaru target mereka.
Dua titik merah di layar menandakan dua informan Falgot. Itu berarti target mereka juga ada di sana.
“Itu jauh sekali dari tempat ini.” Iram bersuara. Menunjuk posisi mereka di peta, membandingkannya dengan posisi para informan. “Kau tidak teler saat membawa kami kemari?”
“Pecundang ini benar. Keberadaan kita saat ini terlalu banyak membuang waktu. Apa yang ada di otak pimpinan kalian? Menyusahkan saja.”
Iram melotot. Arga mengabaikan. Mereka mengurangi frekuensi pertikaian, tapi tetap mengeluarkan ‘rasa persahabatan’ yang khas.
“Kalian memang benar. Namun, ada alasan tertentu mengapa jarak kita sejauh ribuan mil dari target. Karena ….”
Belum tuntas ucapan Maria, ruangan yang mereka tempati bergetar.
Arga dan Iram sigap bangkit, mengemas segala perbekalan. Mengumpat dalam hati masing-masing mengapa mereka harus melakukan ini lagi. Namun, untungnya mereka jadi mendapatkan senjata model baru, yang lebih mutakhir, lebih mematikan.
Tembok bergetar lebih hebat. Kali ini dentumannya terdengar lebih keras, hampir tiba di tempat mereka berada. Hening. Hanya ada suara ledakan. Manusia yang sebelumnya menginap, sudah diungsikan. Korban jiwa berhasil dihentikan.
Maria berdri tenang di samping pintu yang terbuka. Menyaksikan Iram dan Arga masih sibuk mengemas. Ledakan ketiga dating lebih dahsyat. Membuat tembok ruangan merekah.
Arga mendesah kesal. Iram berteriak memperingatkan, “Jangan kau bawa semua, bodoh!”
Iram berlari ke arah Maria. Arga menyusul tidak lama kemudian, memanggul dua tas hitam di kedua pundak. Segera berlari keluar mengikuti Maria yang menyalakan senter. Mereka menuju ke sisi bangunan lain.
“Cih, dasar tikus rakus. Beraninya menyerang saat lengah. Aku jadi tidak bisa membawa jeep terbaru.” Iram mengutuk. Mulai paham mengapa mereka berada begitu jauh dari lokasi target. “Harusnya kau beritahu, Maria.”
Maria di depan tersenyum tipis. “Misi ini menjadi biasa saja jika kuberitahu semuanya. Bukan begitu, Arga?”
“Terserah,” sahut Arga pendek. Tampak kesusahan mengejar Iram dan Maria dengan bawaan berat.
Iram masih protes. “Orang yang hanya membawa tablet saat kabur, dilarang bersenang-senang. Hei, setidaknya kau juga membawa perbekalan. Aku jelas malas membantumu jika kau menjadi beban. Bagus kalau kita kabur membawa kendaraan dan lewat bawah tanah. Sial sekali.”
Mereka hampir tiba di ruang terbuka. Cahaya di ujung lorong mulai terlihat. Maria makin mempercepat larinya, mengabaikan protes Iram. Di belakang, ruangan yang mereka tempati sempurna runtuh. Ledakan bom yang datang susul-menyusul menyebabkan kebakaran besar.
Telat sedetik saja keluar dari ruangan, mereka sudah mati terpanggang.
Cahaya dari luar kian mendekat. Mereka hampir berhasil menyelamatkan diri saat bom terakhir meledakkan seluruh bangunan.
Maria, Iram, dan Arga melompat ke arah cahaya sebelum akhirnya terlempar terkena efek bom.
Iram dan Arga melindungi tubuh dengan ransel yang dibawa sebelum mendarat di tanah. Maria melindungi kepalanya dengan tangan. Tabletnya dia lempar entah ke mana.
Lima menit menyesuaikan diri, Iram dan Arga bangkit dari posisi bertahan. Maria juga duduk tak jauh dari keduanya. Sambutan tak terduga datang ketika mereka membuka mata.
Dua puluh serdadu tembak mengelilingi mereka bertiga dengan senapan teracung. Siap menembak kapan saja.
Seseorang di antara barisan itu maju selangkah. Membuka kacamata pelindungnya. “Menyerahlah. Kalian sudah terkepung.”
Maria diam mematung, mengamati situasi.
Arga duduk tegak, menatap tajam seseorang yang bicara.
Iram menyeringai tertarik. Berbicara santai, “Ah, jadi ini kejutannya.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro