Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 ~ Morning News

Bro! Lagi ngapain, sih, sibuk bener?” tegur seorang pemuda sambil menepuk pundak Galan, yang memilih duduk sendirian di pojok ruangan, sementara teman-teman yang lain tengah berpesta—menikmati malam di sebuah kafe, untuk merayakan ulang tahun teman satu klub motor vespanya.

“Eh, Vin. Nggak, kok.” Galan yang tadinya hendak menelepon Alma, mengurungkan niatnya dan kembali memasukkan ponselnya ke saku celana jin birunya tersebut.

Hari ini galan tampak keren dengan kaus putih polos yang dipadukan jaket denim berwarna senada dengan celananya. Dari teman-teman klub motor vespanya yang lain—penampilan Galan memang lebih rapi. Ia tentu menghindari pertanyaan orang tuanya, jika memakai pakaian yang  terkesan lebih funk.

“Ya, udah. Ngapain mojok sendirian di sini? Mending kita gabung sama yang lain.”

Galan melirik sekilas ke tengah acara. Kurang lebih sepuluh orang yang ada di tengah kafe tampak tertawa senang dan bahagia. Mereka begitu menikmati pesta yang sedang berlangsung. Tidak sampai minum-minuman yang beralkohol. Hanya minuman soda dan jus buah lainnya, walau ada satu dua orang yang masih bandel.

Memang tidak etis rasanya jika ia sibuk sendiri, seakan tidak menghormati si empunya acara. Sehingga mengikuti permintaan Kevin—orang yang mengajaknya bergabung dengan klub Vespa Taiger, satu tahun yang lalu—Galan beranjak dan pemuda itu langsung merangkulnya.

Namun, belum juga ia sampai ke tengah acara, langkah mereka langsung terhenti ketika mata Galan tertuju pada seorang pemuda yang baru saja datang menggandeng gadis—yang jelas saja tidak asing bagi Galan.

“Lha, Jerry dateng sama Kaila?” kata Kevin yang heran juga. Ia tidak menyadari jika wajah Galan sudah berubah mood. Agak kesal melihat kenyataan di depannya itu. “Jadi bener gosip yang lagi beredar selama ini? Wah, parah, sih. Temen makan temen banget si Jerry.”

Kedua telapak tangan Galan langsung mengepal seakan menahan amarah. Sementara tanpa sengaja netranya beradu tatap dengan Kaila—yang seperti berubah canggung dan berusaha menghindari tatapannya.

“Untung lo udah putusin, tuh, cewek.” Galan masih diam, enggan menanggapi. “Sabar, ya, Bro. Masih banyak cewek yang lebih cantik dan baik dari dia.”

“Lagian gue juga nggak peduli,” timpal Galan yang mulai membuka suara. “Gue juga udah punya pacar kali.”

Tentu saja Kevin terkejut mendengarnya. “Eh, serius lo?”

Galan mengangguk yakin. Senyum tengilnya kembali terukir. Menandakan jika pemuda itu sudah menganggap berakhirnya hubungannya dengan Kaila adalah angin lalu.

“Siapa, kenalin kali!”

“Masih satu sekolahan, kok. Iya nanti gue kenalin.”

“Bah! Mantap, lha, Bro!”

***

Pagi-pagi sekali, mading sekolah sudah dikerumuni oleh murid-murid. Sepertinya ada pengumuman penting yang baru saja ditempelkan. Alma yang antara penasaran dan tidak, memilih untuk terus berlalu melewati koridor tersebut, tapi langkahnya terhenti ketika melihat Galan justru keluar dari kerumunan—sambil membawa selebaran di tangannya.

“Eh, Al. Lo baru datang?” tanyanya dengan nada berseru, menghampiri Alma sambil tersenyum lebar. Lantas menunjukkan kertas tersebut. “Apa lomba pekan raya seni antar sekolah bulan depan. Seru, nih, gue kayaknya mau ikutan.”

Alis Alma yang membentuk seperti busur—secara alami itu—mengernyit, hampir bertaut. Selama ini ia tidak tahu jika Galan punya bakat juga di bidang seni.

“Ada banyak perlombaan seni yang dilombakan, nyanyi, baca puisi, band, paduan suara, menari, dan gue mau coba nyanyi sambil main musik. Keren nggak?” Alma masih diam menanggapi perkataan Galan. “Ini kesempatan bagus buat gue buktiin ke ortu kalau gue juga punya bakat di bidang seni.” Lagi, pemuda itu menjelaskan.

Alma memang pernah mendengar jika alasan utama Galan masuk jurusan IPA karena permintaan orang tua. Mereka ingin Galan meneruskan kuliah kedokteran. Bekerja di bidang kesehatan sama seperti papanya—yang saat ini menjabat sebagai kepala perawat di salah satu rumah sakit milik pemerintah. Mungkin sebenarnya minat terdalam Galan ada di seni.

“Lo juga harus ikut!” katanya lagi seraya mengikuti Alma yang kembali melangkah meninggalkan area mading.

“Aku?” tukasnya sambil menunjuk diri sendiri.

“Iya, lo, kan, jago bikin puisi. Lo ikatan lomba musikalisasi puisi.”

Alma buru-buru menggeleng. Belum apa-apa saja, ia langsung panik. “Nggak, aku nggak mau.”

“Loh, Al. Punya bakat itu harus ditunjukin jangan dipendem.”

“Apaan, sih? Aku nggak sejago itu. Aku cuma suka nulis.”

“Ya, sama aja.” Galan terus memprovokasi. “Lagian menurut gue tulisan lo itu bagus, kok. Terbukti banyak yang like dan follow lo di instagram setelah lo posting tulisan-tulisan puitis lo itu, kan?”

“Nggak, Gal. Aku nggak mau.” Tetap pada pendirian, Alma pun enggan menanggapi celotehan Galan dan mengambil langkah lebih cepat bermaksud menghindari pemuda tersebut.

Galan yang diam di tempat, hanya memandangi kepergian Alma dengan diam sambil berpikir. Ia punya rencana, dan sepertinya akan bagus untuk gadis itu.

Masa bodo tentang konsekuensi yang akan ia terima. Galan akan tetap pergi ke bagian pendaftaran dan memasukkan nama Alma juga dirinya.

***

Sementara Alma sudah berada di dalam kelas, duduk di bangkunya dan segera memeriksa handphone. Masih ada waktu lima menit sampai bel berbunyi. Sisa waktu itu akan ia pergunakan untuk mengirim pesan whatsapp pada Asta.

Hai, selamat pagi.
Semoga hari ini menyenangkan.

Sungguh Alma tidak berharap mendapatkan balasan langsung dari pemuda itu. Namun, nasib baik sepertinya sedang berpihak. Sehingga Asta yang tadinya tidak online, langsung aktif dan membalas pesannya.

Selamat pagi.
Lo, juga.
Semangat buat hari ini!

Di sini suasananya dingin,
walaupun matahari udah mulai muncul.

Kata Alma seolah memulai pembicaraan. Entah kenapa, ia merasa berani mengungkapkan apa yang ada di hati pada cowok tersebut. Tidak pada orang lain yang baru dikenal. Alma lebih tertutup dan enggan mengeluarkan pendapat. Mungkin alasan lain juga karena mereka tidak bertatapan muka secara langsung. Akan lebih grogi rasanya jika kelak mereka bertemu dan mengobrol secara nyata. Saling berpandangan, dan ... Aku lupa. Aku belum pernah lihat fotonya.

Jadi pengen, deh, ngerasain suasana di Bogor.
Di Jakarta gerah.

Hm. Kamu harus cobain kapan-kapan.

Haha. Udah kayak makanan.
Nanti, deh. Kalau kita ketemuan.

“Hah?” Alma benar-benar tersentak membaca chat Asta yang satu itu. Ketemuan?

Eh, tapi.
Lo mau, kan, ketemuan sama gue?

Hah? E, aku ... gimana, ya?

Kenapa?
Nggak mau, ya?

Bukan-bukan.
Tapi, kan, muka kamu aja aku belum tau.

Oh, iya.
Kita belum pernah lihat wajah satu sama lain, ya?
Haha. Kenapa bisa lupa coba.
Abis asik, sih, ngobrol sama lo.

Sontak saja dipuji seperti itu dada Alma langsung bergemuruh. Wajahnya memanas dan rasanya jadi salah tingkah.

Nanti malem, kita vc-an.
Oke?

What?” Serasa disambar petir di siang bolong. Alma benar-benar sangat gugup dan takut.

Bersamaan dengan itu Galan masuk ke kelas. Ia sempat memerhatikan Alma dari jauh, yang sedang fokus pada ponselnya. Penasaran, pemuda itu segera berlari kecil agar cepat sampai ke bangkunya.

“Serius amat,” tegur Galan, dan saat itu pula Alma langsung membalikkan layar handphone dengan mimik muka yang teramat gugup. “Kenapa, sih?”

Alma refleks menggeleng. Ia benar-benar seperti penjahat yang baru saja tertangkap basah. Sedangkan Galan tidak sepenuhnya percaya.

nuraiqlla
7 Juli 2021
14:45 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro