Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23 ~ Low-down

Sudah hampir lima hari Alma menunggu kabar dari Asta. Selama itu pun pemuda itu sulit sekali dihubungi, padahal whatsapp selalu dalam kondisi online. Ia tidak tahu kenapa, tapi pikirannya selalu saja berkelana memikirkan yang buruk-buruk. Mungkin saja Asta selalu menghabiskan waktu chat atau bertemunya dengan Indah. Sementara dirinya terabaikan begitu saja.

Malam-malam Alma sekarang tidak lagi sama. Tidak ada chat Asta apalagi senyum yang membuat hati berbunga saat membaca chat tersebut. Atau mendengar suaranya yang membuat tenang, dan memandang wajahnya walaupun secara virtual.

Alma mungkin salah sudah berharap berlebihan pada pemuda itu. Awalnya memang manis, tapi akhir-akhir ini sangat hambar.

Beberapa malam itu juga Alma sulit sekali untuk tidur cepat. Mengerjakan tugas pun rasanya terabaikan. Galan bahkan sampai heran. Habis mau bagaimana lagi, Alma benar-benar kepikiran. Malamnya selalu ia habiskan untuk menunggu kabar dari Asta, tapi nihil.

Paginya, Alma seperti mayat hidup. Tidak bersemangat dengan lingkaran mata panda. Dari yang jarang bicara, sekarang benar-benar tidak pernah terdengar suaranya. Galan juga menyadari, tapi ia tidak sempat bertanya karena sibuk dengan latihan untuk lomba. Di sisi lain ia bersyukur, karena saat ini Alma memang malas menanggapi siapapun. Namun, sebagai manusia ia juga ingin tempat mengadu, selain di setiap salatnya.

Ada yang bilang, kesabaran itu sebagian dari meningkatkan iman. Sementara Alma belum bisa seperti itu. Ia selalu gelisah setiap kali memikirkan Asta tidak membalas chat. Rasanya ingin marah-marah.

Malam ini seperti biasa, kedua mata Alma mantengi handphone. Melihat-lihat akun instagram Asta dan Indah. Tidak ada jejak mencurigakan setelah Asta mengakui jika ia dan Indah sedang melakukan sandiwara. Pasti Indah tidak lagi menggunakan instagram untuk menghubungi Asta.

Ketika sedang sangat bosan, tiba-tiba saja muncul postingan di akun Indah. Gadis itu mengunggah foto selfie dengan Asta, yang sedang menghabiskan malam minggu di sebuah cafe. Hati Alma menyesak. Sekitar matanya langsung perih dan perlahan berair setelah membaca caption yang menyertai foto tersebut.

Aku mungkin bukan gadis sempurna, bukan juga yang patut dipuja-puja.
Tapi aku sangat bersyukur karena kamu ada. Untukku yang bukan apa-apa.
Terima kasih, Asta. Karena masih mau menemaniku sampai saat ini.
Jangan tinggalin aku lagi, ya. Ayok, kita berjalan sama-sama.

“Aku nggak tau ini beneran, pura-pura, atau disengaja. Tapi, yang jelas aku sakit hati. Aku seperti rahasia, sedangkan kamu bersamanya.”

***

Ini hari minggu. Galan sedang bersiap di belakang panggung perlombaan. Ia baru saja selesai, dan mulai membuka ponselnya. Untuk mengecek apa ada pesan dari Alma, atau kabar dia akan datang ke acaranya. Namun, ketika baru saja akan menghubungi nomor gadis itu, Kaila datang. Dia sudah siap dengan make up yang natural, tapi terlihat sangat cantik. Rambutnya sengaja digerai agak bergelombang, dengan jepit rambut di kepala. Senada dengan gaun berwarna putih berpuring, panjang di bawah lutut. Dilengkapi jaket denim biru pudar, dan sepatu putih.

Mengamati penampilan Galan, Kaila segera memicingkan mata. “Lo yakin cuma mau pakek kaus putih dan jin hitam kayak gini?”

“Iya, kenapa?” Lagi Galan menilik pakaian kaila dari puncak kepala sampai ujung kaki. “Sesuai juga, kan, sama lo. Jadi matching.”

Kaila mangut-mangut, tapi raut wajahnya masih terkesan ragu. Masalahnya outfit Galan sangat casual.

“Perhatian, sebentar!” Staf yang mengatur acara kemudian datang ke belakang panggung, tempat para peserta menunggu giliran tampil. Kompak yang ada di ruangan penuh kaca tersebut, menoleh memerhatikan. “Sekedar informasi, acara akan dilaksanakan sepuluh menit lagi. Akan ada pembukaan dan sebagainya. Itu kira-kira akan menghabiskan waktu satu jam, sampai peserta pertama tampil. Sekarang saya akan bagikan nomor peserta yang bisa kalian tempel di baju kalian.”

“Baik, Kak!” jawab mereka serentak.

Lantas laki-laki itu segera membagikan nomor peserta, menurut nama yang ada di daftar peserta lomba. Galan dan Kaila mendapatkan nomor tampil ke tiga puluh lima—dari empat puluh lima peserta. Angka yang lumayan jauh, dan pasti akan sangat melelahkan untuk menunggu.

“Baik, selesai. Kalau begitu saja permisi dan selamat berjuang. Semangat! Semoga berhasil!”

“Makasih, Kak!”

Setelah staf itu pergi, Galan kembali mengecek ponselnya, dan lagi-lagi Kaila merecoki—dengan tanpa sadar.

“Gal, kita latihan dulu, yuk, buat pemanasan,” ajaknya seraya menggenggam lengan Galan dan menggoyangkannya, seperti anak kecil yang meminta janan pada ibunya.

Galan pikir ajakan Alma tidak salah, sehingga ia mengangguk mengiyakan, dan mengikuti kemauan Kaila. Mereka pergi mencari tempat yang lebih sepi—di lorong menuju kamar mandi—dan berlatih di sana. Galan memetik gitarnya sambil bernyanyi, disertai suara merdu Kaila. Karena kesibukan itulah, Galan sampai lupa untuk menghubungi Alma.

***

Lumayan lama menunggu, akhirnya nomor tampil tiga puluh lima dipersilakan naik ke atas panggung. Jantung Galan langsung berdegup kencang. Wajahnya sangat gugup, bahkan hampir tidak terlihat senyumannya. Sedangkan Kaila begitu santai dan tersenyum sangat ramah. Wajar saja, gadis itu sudah biasa tampil dalam acara perlombaan bernyanyi.

Tepuk tangan yang awalnya bergema menyambut langkah mereka sampai ke tengah panggung, langsung sunyi saat Galan sudah bersiap duduk di kursi yang sudah disediakan, dan Kaila berdiri tepat di sampingnya—dengan memegang gagang stand mic. Seakan sudah siap untuk bernyanyi, alunan petika gitar yang dibuat Galan segera terdengar di telinga. Penonton seakan fokus hanya pada mereka berdua. Mendengarkan lagu dengan nyaman dan syahdu.

Hingga tanpa terasa lagu pun selesai. Penampilan mereka telah usai, dan gemuruh tepuk tangan penonton langsung mengiringi. Kegugupan Galan segera tergantikan oleh rasa bahagia, lega, bangga, karena bisa menyelesaikan penampilan dengan baik walaupun tidak mungkin jauh dari kata sempurna.

“Terima kasih. Terima kasih!” kata mereka berdua seraya membungkukkan badan, sebelum akhirnya turun dari panggung.

Setelah berada di bawah, tidak ada yang Galan pikirkan selain segera menelepon Alma. Suasana yang agak remang-remang, dan hanya cahaya yang menyoroti tengah panggung, membuat Galan tidak yakin jika Alma ada di salah satu para penonton. Sehingga ia ingin memastikan.

“Gal—”

“Kay, maaf,” potong Galan cepat, membuat Kaila terpaku untuk sejenak, “bisa jangan ganggu gue dulu, nggak? Gue mau nelepon Alma sebentar.”

“O-oh, oke,” gagapnya merasa tidak enak hati, lantas membiarkan Galan melangkah pergi.

Sementara Galan masih berusaha. Berjalan mencari tempat yang lebih sepi, dan jauh dari bisingnya suara orang-orang atau musik. Di sana Galan tetap mencoba menelepon Alma, yang sulit sekali dihubungi. Hingga yang ke lima kali percobaan, akhirnya gadis itu menerima panggilan teleponnya.

“Halo, Al. Lo lihat penampilanku tadi, kan?”

“Penampilan?” Namun, Galan malah mendengar suara yang parau di seberang sana.

Galan masih berpikir positif dan kembali berkata, “Penampilan gue di lomba Pekan Raya Seni. Lo dateng, kan?”

Untuk sejenak, gadis di telepon itu terdiam. Hingga akhirnya terdengar suaranya lagi, “Duh, aku lupa. Galan maaf.”

Senyum Galan yang tadinya lebar, mendadak menciut. Semangat yang barusan membara, seakan padam disiram air besar. “Ja-jadi, lo?”

“Gal, maaf. Aku lupa. Bahkan aku baru aja bangun tidur.”

Kecewa. Galan sudah kepalang nelangsa. Bisa-bisanya tadi ia berpikir terlalu percaya diri jika Alma melihat semua penampilannya. Padahal? Malu iya, sedih apa lagi.

“Ya udahlah, Al. Gue tutup dulu, ya. Ada Kaila juga, bye!”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro