Chapter 10 - Sketsa
Nayo memperhatikan guru seni budaya yang tengah mengajarkan membuat sketsa dengan fokus, membuat beberapa siswi mencuri-curi pandang menatap wajah Nayo dari samping.
Beberapa di antaranya tersenyum bahkan memuja secara terang-terangan, membuat guru yang mengajar sedikit berdecak kesal. Menghela napas pelan, Nayo mengambil buku sketsa yang berbeda dari teman-teman nya, buku gambar yang berbentuk seperti buku tulis dengan kertas sedikit coklat, membuat Nayo tersenyum.
“Saya ingin kalian membuat sketsa wajah, kalian boleh terinspirasi dari siapa pun, bahkan teman sekelas kalian sendiri.” ujar guru yang mengajar.
Nayo mengambil pensil dan rautan dari atas meja Kirov. Meraut pensil sedikit tajam, kedua matanya menyipit melihat pensil yang raut terlalu tajam karena ia sedikit berlebihan saat nerautnya.
“Anak-anak, Bapak izin pergi sebentar ke ruang guru, jangan ada yang keluar dari kelas.”
“Baik Pak!”
Menarik buku gambar milik Kirov, Nayo membuka lembar paling belakang, lalu menusuk-nusuk ujung pensil nya pada bagian keras di belakang buku gambar Kirov sampai ia mendapatkan ketajaman yang ia mau.
“Lo mau gambar siapa, Yo?” tanya Kirov.
“Kagak tau, enaknya siapa?”
“Gambar gue aja kalo gitu,”
Berdecih. Bola mata nya memutar malas. “Tcih, maaf aja, gue gak gambar orang jelek.”
“Kirov mah emang jelek kali Yo, lo kemana aja?” ejek Fhiqar.
Melirik malas Fhiqar yang berdiri di sebelah meja Kirov, Nayo memakai headset kemudian mengambil contoh random dari browser dan menemukan satu foto yang menarik perhatian nya, yaitu, Yoona SNSD.
Memulai mengarsir gambarnya, Nayo memilih fokus pada gambarnya, mengabaikan Fhiqar yang berdecak kesal karena di diamkan oleh Nayo. Mengumpat, Fhiqar menjitak kepala Nayo dan lagi-lagi tidak mendapatkan respon.
Saat Fhiqar duduk di tempat nya, barulah Nayo berkata, “CAPER banget lo sama gue.” sinis Nayo di sela-sela kegiatan mengarsir buku gambarnya.
“EMONYET!” Teriak Fhiqar.
Mendengar hal itu, Dandy tertawa geli karena saat Fhiqar berteriak seperti itu, bertepatan dengan guru yang mengajar masuk ke dalam kelas.
“Ih sarkas, suka deh!” ledek Nayo dengan wajah yang di buat imut, membuat satu kelas terkirim geli karena tingkah Nayo.
“Punya teman otak nya di gadai kayak gini nih.” cletuk Dandy dan Kirov bersmaaan.
***
Nayo melepas kaus olahraga nya saat sampai di kelas. Kaus olahraga nya terlihat sangat basah, karena ia baru saja mengambil nilai atletik. Saat ingin mengambil handuk kecil di dalam tasnya, pandangan Nayo terlaihkan pada sebuah kertas di dalam tasnya, sebuah kertas yang menggambarkan sisi kiri wajahnya.
Mengambil kertas, Nayo melihat detail wajahnya yang sangat pas. Memegang erat kertas, kepala Nayo menengok ke belakang, melihat ke seluruh arah, dan tidak menemukan siapapun di dalam kelas atau pun di dekat kelasnya.
Tersenyum tipis. “Gue gak tau siapa lo yang nyusahin diri untuk sketsa wajah gue, tapi thanks.”
Mengambil buku gambar miliknya, menyelipkan kertas tersebut di sela-sela buku gambarnya, Nayo mengambil seragam, memakainya dengan dua kancing yang sengaja tidak di kancing kan, Nayo keluar kelas setelah membereskan peralatan tulisnya, dan pergi menuju lapangan yang masih panas untuk mengeringkan seragam olahraga nya di atas gawang sepak bola.
***
Kirov melirik Nayo yang sejak tadi diam memperhatikan guru yang tengah menjelaskan di jam terkahir. Tangan Nayo terangkat, menempeleng kan kepala Kirov sampai membuat wajah Kirov terdorong ke samping.
“Papan tulis ada di depan, bukan di muka gue.” ketus Nayo.
“Nenek gue juga tauk kali papan tulis di depan, di muka lo mah gak muat, bego.” saut Kirov dengan sedikit kesal.
Terkekeh kecil. Nayo kembali sibuk dengan aktifitas nya yang sempat tertunda. Kirov melirik Nayo yang masih setia mendengarkan guru menjelaskan pun merasa sedikit jengkel karena Nayo terlihat biasa saja, padahal kemarin dia sudah merusak kepercayaan Nayo dengan memberikan beberapa hal yang di butuhkan di dalam UTS.
Menghela napas panjang, Kirov menoleh ke kiri dan menemukan Sybil yang kebetulan tengah menoleh kearah nya. Ikut tersenyum, Kirov bertanya pada Sybil, apa dia sudah bisa mengikuti pelajaran yang tertinggal, Sybil mengangguk gemas, membuat jantung Kirov berdetak dua kali lebih cepat.
“Kirov, apa kamu mau menggantikan Bapak menjelaskan materi Stratifikasi Sosial di depan?” tanya Pak Gunawan dengan menurunkan sedikit kacamatanya.
Tidak ada jawaban, Nayo tersenyum kecil. “Mau katanya Pak, tapi pakai buku,” jawab Nayo, membuat Kirov mendelik kesal padanya yang saat ini tengah tertawa.
Tidak menanggapi serius ucapan Nayo, Pak Gunawan memberikan peringatan pertama pada Kirov untuk tidak berbicara saat ia tengah menerangkan. Mengangguk dan meminta maaf, Kirov duduk diam di tempatnya dengan kaki yang menendang betis kaki Nayo yang masih menertawakan dirinya.
“Kampret lo Nayo,”
“Bodoamat, makanya belajar yang bener.”
“Nauval,” panggil Pak Gunawan.
“Nggih, Pak?” jawab nayo dengan berdiri dari kursinya.
“Bapak minta tolong bantu dikte kan teman-teman kamu di depan, Bapak baru ingat harus ke ruang guru sebentar lagi karena ada rapat.”
“Nggih, Pak.”
Menyuruh Kirov untuk memberikan sedikit jalan untuknya, Nayo melewati Kirov dengan meledek sahabat nya itu sampai punggung nya di tampar keras oleh Kirov, membuat mereka menjadi perhatian satu kelas saat Nayo berjalan santai menuju Pak Gunawan untuk menerima perintah.
Pak Gunawan keluar dari dalam kelas setelah memberikan amanat pada Nayo. Tersenyum penuh kemenangan, Nayo mengambil penggaris kayu lalu memukul penggaris tersebut ke papan tulis.
“Okay class, kita mulai pelajaran nya.” menggerling jahil. “Gue gak bakal ulang dikte kalau kalian ketinggalan, yang gak nyatet apa yang gue dikte, Siap-siap duit jajan lo semua buat gue.”
“Yaudah, gue gak nyatet ajalah, cuma duit jajan seha–”
“Selama setahun.” potong Nayo dengan ekspresi serius.
“Gila, nyari untung banget orang.” kesal siswa yang sebelumnya ingin tidak mencatat.
Mengedikkan bahu acuh, Nayo mulai mendiktekan tulisan di dalam buku yang sudah di berikan stabilo oleh Pak Gunawan, dan satu kelas mulai khusyuk mencatat dengan suara Nayo sebagai pemberi komando.
Sybil tersenyum manis saat mendengar suara Nayo yang terdengar sangat tegas dan berat saat ini. Berbeda sekali dengan suara Nayo dulu saat menolongnya, suara yang terdengar seperti anak kecil dengan tatapan setajam mata elang.
“Itu yang senyum-senyum sendiri, nyatet nya udah sampai mana?” tanya Nayo. “Jangan asyik sama pikiran sendiri, yang lain pada keram tangan nya karena gue bacanya kayak rapper.” singgung Nayo.
Padahal mereka semua tidak merasakan keram pada tangan, atau dikte Nayo yang cepat seperti rapper Nayo malah mendikte seperti menceritakan dongeng pada anak-anak, membuat mereka nyaman saat mencatat.
“Ma--maaf,” kata Sybil.
Mengangguk. Nayo bertanya Sybil sudah mencatat sampai mana, dan di jawab oleh perempuan itu, membuat Nayo mengulang sekali lagi, yang untungnya tidak terlalu jauh dari catatan teman-teman sekelas, sebelumnya. Dengan ketertinggalan Sybil dalam mencatat membuat siswa-siswi yang lain bisa beristirahat sejenak dengan memainkan ponsel atau sekedar mengobrol dengan teman sebangku nya.
***
Kirov kali ini pulang bersama Nayo. Tersenyum senang, Kirov merangkul sahabatnya itu agar selalu berada di dekatnya, membuat Nayo menggeleng dengan tingkah sahabat nya itu.
“Kita mampir dulu makan ke Solaria, kuy.” tawar Kirov saat melihat mall yang masih bisa terlihat dari tempat mereka berdiri.
“Gue gak dulu,”
Melepas rangkulan. “Kok gitu? Gue yang bayar, baru di kasih uang jajan.” jawab Kirov d sedikit tersinggung. “Kan gue ngajak bukan minta di bayarin.”
Memutar bola mata malas, “Ya gue juga tauk kali kalau lo ajak gue makan di sana, gue juga segen keluar uang kalau gak kepepet.” meniup poni nya, Nayo memberhentikan angkutan yang melintas. “Gue ada janji, jadi besok-besok aja, sorry, duluan.”
“Sepeda lo di mana?!” teriak Kirov.
Kepala Nayo menyembul dari dalam angkot melalui jendela yang terbuka. “Ban nya meledak kemarin, belum gue benerin. Adios kawan!”
Menggeleng. Kirov menyentuh dahi menggunakan kelima jari karena melihat kelakuan nyentrik satu-satunya sahabat yang terlihat sangat santai dan menyepelekan padahal tidak begitu.
“Nauval... Nauval, lo tuh di bantuin nggak mau terima, tapi lo sendiri ke blenger.” terkekeh kecil. Dia masuk ke dalam mobil sedang hitam yang berhenti di depan nya. “Ya bagus sih, jadi nggak kebiasaan, tapi sesekali 'kan nggak apa menerima pertolongan orang lain. Nggak dosa.”
Setelah memakai seatbelt, dan memberitahukan tempat tujuan, mobil itu baru melaju meninggalkan area sekolah.
***
“Sybil, katanya kamu ketemu sama anak laki-laki yang nolongin kamu, beneran?” tanya seorang lelaki yang terlihat dari balik layar ponsel Sybil.
Mengangguk. “Iya, ketemu lagi. Sebetulnya nggak sengaja ketemu, terus aku pindah ke sekolahnya.” tersenyum kecil, wajah nya berubah sedikit murung. “Tapi kelihatan nya dia berbeda dari yang dulu, Kak.”
Tertawa renyah, lelaki yang di sebut dengan 'Kak' mengusap layar ponselnua seolah mengusap kepala Sybil.
“Namanya juga bertumbuh, bukan berganti. Mungkin gugur, sifat kerasnya, tumbuh sifat tenang nya, semua orang akan mengalami siklus perubahan, tetapi mereka tetap menjadi diri mereka, ada juga yang berubah karena kondisi.” terdiam sejenak. “Terkadang, keadaan di dalam hubungan keluarga dan pertemanan mampu merubah seseorang dari yang baik menjadi buruk, dari yang buruk menjadi baik. Tergantung setiap individu nya sendiri, yang harus menentukan kemana harus memilih, melawan arus atau mengikuti arus.”
“Pertemanan itu seperti arus air yang deras dan liar.” menengok ke samping, lelaki itu menggaruk lehernya yang terasa gatal. “Pertemanan akan sama seperti itu juga, jika ada batu besar air akan tetap mengalir namun sedikit karena menabrak batu yang besar tadi, anggap saja, baru besar itu adalah tempat pemberhentian sejenak untuk berpikir dan memilih pilihan untuk berhenti atau melanjutkan.”
Sybil mendengarkan dengan tangan yang sibuk mengoleskan warna di atas kanvas. “Jadi maksud Kakak, Nayo mungkin berubah karena ruang lingkup pertemanan nya juga berubah?”
Menganggukan kepala pelan. “Iya, begitu. Mungkin karena pertemanan nya yang berubah,”
***
Nayo melayangkan tinjuan nya tepat pada pipi seorang lelaki yang menggunakan head protector sampai gamsit yang di gunakan oleh lelaki itu terlepas dan membuat lelaki tadi terjatuh dengan posisi terlentang di dekat kaki Nayo.
Wajah lelaki itu di penuhi oleh memar, hidung yang mengeluarkan darah, mata yang terlihat bengkak, dan sudut bibir yang pecah menandakan pertarungan sengit di antara keduanya.
Seorang wasit yang menggunakan kemeja panjang bergaris hitam putih naik ke atas ring dan mengangkat tangan kanan Nayo tinggi-tinggi sebagai bentuk kemenangan Nayo melawan juara bertahan selama lima tahun. Membuat para pelatih tinju untuk meminang Nayo untuk masuk ke club mereka.
Menunjukkan seringai. Namun seringai itu menghilang saat pandangan nya bertemu dengan seorang anak kecil berteriak memanggil lawan nya dengan tangisan keras, membuatnya mengingat sesuatu.
Mengulurkan tangan, Nayo membantu lawan nya untuk bangkit dan memeluknya sebentar. “Lo hebat, lo seorang Ayah yang hebat.” puji Nayo.
“Nav, lo hebat untuk anak seumuran lo.” puji orang itu tulus.
Menoleh melalui bahu, Nayo tersenyum tipis. “yeah, thanks.”
Nayo turun dari ring, menuju ruang ganti untuk mandi dan berganti pakaian. Tersenyum kecil, Nayo menuju pihak promotor yang membawa sejumlah uang karena ia berhasil memenangkan pertandingan. Mengusap wajahnya dengan hati-hati, Nayo mengambil amplop coklat itu dan berterima kasih setelahnya.
Mengintip sedikit uang di dalam amplop coklat. Tersenyum tipis, Nayo bersyukur di dalam hati. Tiga puluh lima juta ternyata beratnya segini ya, baru ngerasain megang duit sebanyak ini, biasanya ngitung uang orang di pelajaran ekonomi haha.
Membenarkan tali tas, Nayo berjalan keluar dari gedung pertandingan. Uang itu akan langsung ia gunakan untuk membeli Laptop dan membayar kosan untuk beberapa bulan ke depan. Untuk mengandalkan hidupnya bisa bergantung dengan uang kerjanya di nasi padang, dan toko buku.
Menengok ke belakang, Nayo terkekeh kecil mengingat seorang lelaki tua menghampiri nya untuk ikut pertandingan karena melihatnya memukuli orang lain untuk mendapat uang. Memukul dengan perintah dan mendapat uang, jalur cepat mendapatkan uang. Setelah itu, ia di tawarkan untuk ikut pertandingan dengan iming iming-iming uang besar, karena terpepet, Nayo menerima nya. Tanpa menyadari ada banyak hal buruk yang mengintai di balik punggungnya.
“Aku mau anak itu bawa anak itu ke hadapanku paling lama minggu depan.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro