Chapter 09 - WhaAatT?!
Nayo menatap jendela kelas dengan pandangan sendu, kepalanya berutumpu pada tangan kirinya untuk melihat keluar jendela. Mengabaikan Kirov yang sejak tadi berbicara dengan perempuan yang berada di sebrang meja nya.
Menghela napas panjang, kepala Nayo menoleh sekilas saat mendengar pintu yang di banting, bersamaan dengan suara teriakan yang menyerukan namanya sangat keras.
Bola mata jernih itu bergulir melihat siapa yang mendekati meja bersamaan dengan ia memiringkan tubuh agar lebih leluasa saat melihat orang tersebut.
“SINI LO!” teriak orang itu, membuat Kirov semakin mempertahankan tempat duduknya agar Nayo tidak keluar dari balik meja.
Menghela napas kasar, kepalanya mendengak untuk melihat wajah orang itu. “Nggak mau tuh, gimana dong?” tanya Nayo dengan mengejek.
Mengetatkan rahang, orang itu menarik kerah baju Kirov agar menyingkir, namun Kirov tetap duduk di tempatnya dengan kedua kaki yang di tempelkan pada bawah meja, berusaha sekeras mungkin agar tidak tertarik.
Menengok kearah Kirov dengan pandangan tajam, orang itu mengangkat tangan nya tinggi untuk memukul wajah Kirov. Memutar mata malas, Nayo terus memperhatikan, sedang kan Dandy, dan Fhiqar sudah panik di tempatnya.
Bugh.
Kedua mata Nayo terpejam, seluruh orang yang ada di dalam kelas terdiam saat melihat Nayo mengorbankan wajahnya demi melindungi Kirov yang saat ini terdorong ke belakang bersama dengan kursinya. Iya, sebelum pukulan itu sampai, Nayo menarik Kirov ke belakang, dan membuat Kirov berada di belakang punggung Nayo.
Sybil yang menyaksikan itu dibuat terdiam. Bagaimana tidak, Nayo yang ia kenal bukan Nayo yang seperti saat ini, tidak peduli akan terjadi badai sebesar apapun, Nayo tipe orang yang berani menerjang terlebih dahulu hanya demi membela kebenaran.
Tetapi, yang ia lihat sekarang adalah Nayo lebih mengorbankan dirinya sendiri di bandingkan harus melawan orang yang memberikan pukulan. Kedua matanya terpejam, ia mengingat sesuatu pada hari dimana ia terlambat di jemput oleh Papanya.
“Ponsel gue nggak ada kumannya! Buruan telepon Papa atau Mama lo, ini udah sore banget nggak akan aman dan gue nggak bisa ngelindungin lo kalau ada apa-apa.”
Sybil menoleh kearah Nayo yang masih mempertahankan posisinya, apa itu yang di maksud Nauval? Sebetulnya apa yang terjadi setelah dia menolong aku? Pikir nya begitu.
“Urusan lo kan sama gue, ngapain lo mau mukul sahabat gue?” tanya Nayo.
“Kalau lo langsung keluar gue nggak akan punya niat mukul homoan lo itu! Lagi pula dia sendiri kok yang menawarkan diri buat jadi punch bang gue.”
Semua orang terdiam, terlebih Nayo, rahangnya mengetat, tangannya mengepal ingin memukul wajah Kakak kelasnya itu, namun ia tahan, menghela napas panjang, Nayo mengangguk setelah itu mengajak Kakak kelasnya untuk keluar dari ruangan, mengabaikan tatapan bingung, sekaligus panik dari Kirov, Sybil, Dandy, dan Fhiqar.
Nayo keluar dari kelas dengan kepala tertunduk. Di belakang nya terdapat seorang siswa satu tingkat di atasnya. Ia tak paham mengapa semua orang mencari masalah dengannya saat ia ingin beristirahat dengan tenang.
Sesampainya mereka di lapangan basket sekolah, Nayo berdiri seperti biasa menatap empat orang yang kini berdiri di hadapannya. Menjepit pangkal hidungnya, Nayo tak habis pikir apa yang ia pikirkan sejak tadi sampai tak tahu jika ia harus melawan empat orang.
Menghela napas panjang, Nayo menatap ke empatnya dengan tatapan tenang.
“Ada apa?” tanya Nayo.
“Nggak usah banyak omong lagi! Lo ngapain deketin cewek gue! Pakai kirim pesan ada sayang-sayang?!” bentak Kakak kelasnya itu dengan melemparkan sepatu kearahnya.
Tak menghindar, Nayo menggeleng sebagai jawaban. “Gue nggak punya nomor anak sekolah sini. Cuma Kirov. Seperti yang lo bilang di kelas tadi, dia homoan gue kan?” tanya Nayo dengan senyum mengejek.
Menepuk dada teman nya, siswa itu memberikan aba-aba untuk segera menghajar Nayo. Membuat Nayo mundur beberapa langkah ke belakang, saat tiga orang berlari kearahnya bertepatan dengan Imam, guru Bahasa Inggris mereka melintas di lapangan basket.
“BERHENTI KALIAN BERLIMA!” Teriak Imam dengan berlari kearah Nayo untuk melindungi orang yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri.
Melihat guru Bahasa Inggris mereka datang, ke empat orang itu langsung berlari. Meninggalkan Nayo yang tersenyum tipis, mengambil sepatu milik Kakak kelasnya itu, Nayo mengucapkan terima kasih pada Imam, setelah itu memberikan sepatu yang tertinggal pada Imam agar di huatkan pengumuman jika ada sepatu berbau busuk dan tak layak pakai tertinggal di lapangan.
“Nay, lo oke?” tanya Imam.
“Gue Nauval Wahyu Saputro, bukan oke! Tapi, thanks udah bantu gue tadi Mam, seenggaknya gue bisa nepatin janji gue.”
Mengangguk, Imam menyuruh Nayo untuk kembali ke kelas dan Nayo menuruti hal itu. Ia tak ingin mencari masalah dengan mengabaikan ucapan Imam kali ini, melihat emoat orang kakak kelasnya tadi masih mengincarnya di balik tembok lapangan.
Masuk ke dalam kelas, Nayo langsung duduk di kursinya tanpa mengucapkan sepatah katapun pada guru yang sedang mengajar, membuat guru itu bersikap seperti tak terjadi apa-apa dan kembali mengajar kelasnya seperti sebelum Nayo datang.
Wajahnya terlihat kusut, Nayo memilih untuk melipat kedua tangan dan membenamkan wajahnya pada lipatan tangan nya. Syibil terus memperhatikan Nayo dari tempat duduknya. Kirov menghembuskan napas pelan, mencolek tangan Nayo saat guru memperhatikan mereka berdua, sampai sebuah penggaris beradu dengan meja kayu, membuat kelas mendadak hening dan mencekam, namun tak mengganggu Nayo sesikitpun.
Menegapkan tubuh nya, Nayo menatap intens guru yang menjagar, setelahnya tersenyum kecil saat melihat tangan guru itu bergetar.
“Maaf, nggak bakalan gue ulangin lagi.” kata Nayo enteng. Membuat seluruh teman sekelasnya mengumpat menyumpah serapah pada Nayo.
Nayo duduk tegap, pandangan nya menatap lurus ke arah depan. Tangan kanan nya sibuk memindahkan catatan yang di tuliskan pada papan tulis.
Mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, Kirov merasa tidak enak sendiri, dalam hati Kirov menyumpah serapahkan orang suruhan nya yang menuliskan namanya di dalam paket merah tersebut.
Menghembuskan napas kasar, Kirov mengacak rambutnya frustasi. Dua minggu lagi akan ada ulang secara daring, sekolah mencoba metode baru yang mengharuskan seluruh siswa mempunyai Laptop atau tab, karena dua oerangkat tersebut memiliki penyimpanan besar melebihi ponsel dan bisa di gunakan jangka panjang.
Darimana Kirov tahu hal itu? Karena Paman nya bekerja di sekolah ini. Jadi, mau tak mau Kirov tahu hal itu, karena istri dari paman nya sangat update dan langsung memberitahukan hal tersebut pada Mama nya.
Pintu kelas di ketuk dari luar, membuat semua perhatian beralih ke pintu. Setelah di izinkan masuk ke dalam ruangan, dua orang dari bagian osis meminta waktu sebentar untuk memberikan informasi. Ini yang di maksud oleh Kirov, hal ini pasti akan benar-benar di lakukan, mengingat sekolah ini termasuk sekolah berakreditasi A dan juga karena rata-rata orang yang bersekolah disini merupakan anak-anak dari orang penting, pengusaha, dan artis papan atas. Tak ayal, sekolah memberikan fasilitas yang tidak ada di sekolah biasa.
Setelah menjelaskan sedikit, dua orang anggota Osis tadi memberikan selebaran pada tiap-tiap kepala meja untuk di operkan ke belakang.
Nayo dan Kirov menerima surat edaran tersebut. Kirov langsung menyimpan kertas di dalam laci meja, sedangkan Nayo, lelaki itu langsung membuka kertas selebaran dan terdiam cukup lama setelah selesai membaca kertas tersebut.
Menghembuskan napas berat. Nayo melipat kembali surat edaran dan memasukkan ke dalam tasnya. Diam-diam, Kirov, Sybil, Fhiqar, dan Dandy memperhatikan Nayo dari meja masing-masing.
Menatap lurus ke depan, Nayo kembali memindahkan catatan, tidak peduli jika kedua orang Osis itu masih menjelaskan maksud dari surat edaran.
“Gue harus cari uang kemana lagi...” ujar Nayo tanpa suara.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro