8. Bingung -Pencapaian 1356 Kata-
"Biarinlah suka suka gue" ucapnya.
Sepanjang perjalannan kami menghabiskan waktu dengan adu argumen, berdebat lalu tertawa.
"Rumah lo belok kanan apa kiri?"tanya Jefeni.
"Tebak, menurut lo lewat mana?" Kataku.
"Kanan deh" ucapnya.
"Alasannya?"tanyaku
"Kalau kiri itu jalannya sesat, lebih baik jalan yang menuju kekanankan?" ucapnya yang ngaco.
"Iya sih betul kekanan" ucapku.
"Lagi lagi betulkan, aku emang cocok jadi peramal" ucapnya dengan percaya diri.
"Itu hanya kebetulan lagi" ucapku dengan nada sedikit kesal.
*****
Kami pun sampai dirumahku. Jefeni membuka-kan pintu mobil untukku seperti aku adalah seorang putri.
"Kenapa Nav?" Tanya-nya, yang melihat aku terdiam di halaman rumah.
"Lo bisa temenin gue kedalam rumah?" tanyaku.
"Lo takut apaan sampe harus ditemenin? Lagian tinggal beberapa langkah lagikan?" ucap Jefeni.
"Didalam ada keluarga gue yang nungguin. Dan Nafta ada didalam juga" ucapku lalu menarik tangan Jefeni agar ikut masuk.
"Tapi.." Jefeni tak sempat mengelak lagi.
Didalam ruangan Ibu-ku tengah memarahi Nafta, Ibu tidak menerima bila Nafta kembali tanpa ada aku.
"Assalamu'alaikum" ucapku.
"Wa'alaikumsalam" jawab Ayahku.
"Navila kamu dari mana saja?"tanya Ibuku.
"Navila kamu baik-baik ajakan?" Tanya Nafta lalu berdiri menatap Jefeni yang berada dibelakangku.
"Aku dari rumah Jefeni Bu, dan aku baik-baik saja" ucapku. Lalu semua memusatkan pandangan kearah Jefeni.
"Kenapa kamu bersama anak itu? bukannya tadi kamu izin berangkat bersama Nafta?" Tanya Ayah.
"Tadi aku tersesat ditoko olahraga yang cukup luas, dan aku berusaha mencari mobil Nafta yang terparkir dijalannan. Tapi aku malah semakin tersesat, lalu hujan tiba tiba turun cukup deras, aku bertemu Jefeni dan aku ikut bersama dia kerumahnya untuk meminjam piama milik Ibu-nya. Karna bajuku basah kuyup, aku kedinginnan tadi" ucapku dengan dibumbi kedustaan.
"Kenapa tidak menelepon Nafta saja?" Tanya Ibu.
"Handphone dan tas-ku tertinggal dimobil Nafta" jawabku.
"Nafta, kenapa dengan bodohnya kamu lalai menjaga Navila?" tanya Ayahku.
"Maaf Om" ucap Nafta.
"Hey kamu anak brandalan" ucap Ayahku memanggil Jefeni. Duh penampilan Jefeni memang terlihat Bad sekali.
"Yah, ada apa Ayah Navila?" tanya Jefeni dengan senyuman.
"Apa benar kamu membantu putri saya?" Tanya Ayah.
"Iyah, karna kebetulan saya satu sekolah dengan Navila. Dan saya teman baik Navila" ucap Jefeni dengan sok manisnya.
"Ouh, baguslah. Ternyata penampilan tidak menjamin prilaku setiap orang" Ayah sedikit menyindir Nafta.
Ibu-ku berjalan kearah dapur, lalu datang kembali membawa sapu. Ah ini mulai gawat sekali.
"Yaudah kalian pulang saja, sudah tak ada kepentingan lagikan?" ucap Ibuku.
"Emm, Om-Tante saya pamit pulang dulu" ucap Nafta.
"Navila, gue minta maaf. Gue pamit pulang dulu ya" ucap Nafta, dan aku acuhkan saja.
"Ayah dan Ibu Navila, saya juga pamit pulang dulu" Jefeni mencium tangan kedua orang tuaku.
"La, gue pulang dulu yak. Selamat mimpi indah" ucap Jefeni dengan gaya sok manis. Rasanya aku ingin menjewer telinganya.
Setelah mereka pamit pulang, Ibu menyuruhku masuk kamar.
*****
Aku terbangun dari tidurku, badanku panas, kepala juga pusing sekali. Sepertinya aku demam lagi, kulihat jam dinding yang menunjukan pukul 02:00 dini hari.
Aku berusaha untuk berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, karna rasanya aku ingin muntah, perutku terasa tidak enak.
Benar saja aku mual luar biasa, kepala-ku pun pusing sekali.
"Bu..Ibu..Ibu.."aku memanggil manggil nama Ibu.
Tapi suaraku terdengar lemah, aku tak mampu berteriak memanggil nama Ibu-ku. Akhirnya pandanganku buram dan kesadaranku pun hilang.
*****
Aku terbangun, dan aku masih ditoilet. Mungkin tak ada yang sadar bila aku pingsan ditempat ini. Aku pun berusaha untuk bangun. Ku lihat dicerimin besar itu, seorang cewek yang nampak tidak sehat. Dan cewek yang dicermin itu adalahlah pantulan dari aku yang lemah.
Kenapa dengan aku ini? Mungkinkah aku sakit? Ah sial sekali, padahal hari ini ada ulangan PKN.
Aku tak peduli dengan rasa pusing yang membuatku pingsan berulang kali. Yang terpenting aku bisa sekolah hari ini. Walau aku harus memakai jaket dan masker.
*****
"Kak, kenapa pake masker?" Tanya Sakila adikku.
"Lagi flu" ucapku dengan jutek.
"Navila, Ayah sama Ibu besok akan pergi ke Bali" ucap Ayah.
"Terus?"tanyaku.
"Kami harus menghadiri acara pernikahan Tante Lydia dengan Om Farhan. Dan dia yang membayarkan tiket pesawat Ayah juga Ibu" lanjut Ayah.
"Ouh.." ucapku santai.
"JAGAIN ADIK-MU, JANGAN KELUYURAN, PULANG HARUS TEPAT WAKTU" ucap Ibu dengan nada menyebalkannya.
"Memang berapa hari?"tanyaku.
"Mungkin satu minggu" ucap Ayah.
"Yeyeyeye..." adikku Sakila nampak kegirangan.
"Kalian jangan macam-macam selagi Ayah dan Ibu pergi" ucap Ayah.
"Oke" jawabku singkat.
*****
Pagi ini aku naik taksi kesekolah, karna aku lelah menunggu Bis. Sekolah masih nampak sepi seperti biasanya, aku berjalan menelusuri lorong demi lorong yang sunyi.
"Navila.." panggilan itu berasal dari belakang. Aku menoleh dan mendapati Jefeni berdiri diarea perbatasan antara kelas 11 dan 10.
"Apa?" Tanyaku.
"Kenapa lo? Masih demam?" Tanyanya sembari berjalan mendekat kearahku.
"Gak" ucapku bohong.
"Terus kenapa lo pake masker segala?"tanya Jefeni.
"Gue lagi sakit" jawabku.
"Ouh Navila bisa sakit ya? Aku baru tahu loh. Kaya manusia aja.." ucapnya.
"Emang lo sangka gue apaan?" Tanyaku.
"Mungkin arwah atau roh" ucapnya dengan bahagia.
"Kalau gue roh kenapa lo bisa liat?" Tanyaku.
"Gue punya mata batin kayanya, sampe bisa liat mahluk kaya lo" ucapnya mengejek.
"Awas yak lo, gue kutuk lo jadi kadal" ucapku.
"Ouh ya? Emang bisa? Gak akan mungkin gue jadi kadal" ucapnya menantang.
"Dasar adik ngeselin"ucapku lalu menjewer telinga kanannya.
"Duh sakit tau" dia mulai menatapku kesal.
"BODO AMAT" ucapku lalu menginjak kakinya, terus berlalu pergi deh.
Gak tahu kenapa rasanya tuh seneng banget ketemu Jefeni dipagi hari ini.
*****
Hari ini aku malas sekali kekantin. Sebenarnya aku menghindari Nafta, tapi sepertinya gagal, karna Werhan menarik narik tanganku hingga menuju kantin.
Di meja itu sudah ada Serfian, Arhel, Jefeni dan juga Nafta. Jantungku semakin berpacu cepat sekali hari ini.
"Masih pusing Navila?" Tanya Jefeni, dan semua pun terkejut dengan pertanyaan Jefeni.
"Kok lo tahu Navila lagi pusing?" Tanya Werhan.
"Kan gue..." belum sempat Jefeni bicara, aku mendekat kearahnya lalu merangkulnya dengan spontan dan So akrab.
"Jefeni tahu karna liat wajah gue yang agak pucet hari ini. Ya kan?" ucapku.
"Hahaha, iya. Wajah Navila seperti kuntilanak, saking pucatnya" ucap Jefeni.
"Kalian nampak akrab sekali" ucap Arhel.
"Hahaha, kita memang akrab" ucap ku dusta.
Selanjutnya suasana di meja itu adalah hening. Serfian masih murung karna skate-nya yang patah kemarin, Werhan memakan baso-nya dengan khusyuk hingga tak bicara, aku hanya merenung sembari mengaduk aduk cokelat panasku, Nafta hanya diam dan sesekali melirik kearahku. Arhel hanya mampu mengamati kebisuan kami. Jefeni? Dia dari tadi menatapku, membuatku sedikit salah tingkah.
"Sunyi amat, kaya kuburan" ucap Arhel.
"Gue kekelas ya" ucap Serfian lalu berdiri dari kursi.
"Kok buru-buru" tanya Nafta.
"Bosen disini, suasananya bikin gue patah kaya skatebord" jawab Serfian.
"Kalian kenapa sih? Kok diem dieman kaya gini?" Tanya Werhan.
"Iya, biasanya pada bawel" ucap Arhel.
"Lagi ada masalah kali" sindir Jefeni.
"Kan gue yang ada masalah sama lo, tapi gue masih bisa enjoy kok" ucap Werhan.
"Emm, gue ke toilet dulu ya" ucapku dusta. Kebanyakan dusta kayanya hidupku.
"Perlu dianterin gak?" Tanya Jefeni.
"GAK" ucapku.
"Eh Navila, entar gue kekelas lo ya" ucapnya.
"Terserah" jawabku.
Aku pun berjalan menuju area belakang sekolah. Tempat itu sepi sekali, sunyi dan sedikit kotor. Tapi ditempat inilah, dulu aku merenung dan bersembunyi dari cewek-cewek yang sering membullyku.
Aku duduk dikursi putih panjang yang nampak berdebu. Aku teringat dimana dulu aku menangis di kursi ini, dan aku diketawai oleh cowok play boy yang tengah duduk diatas pohon jambu disebelah kursi putih ini.
Itu adalah pertemuan pertamaku dengan Nafta, benar benar tak terduga sebelumnya. Biasanya ketika Nafta sedih, atau tengah membolos jam pelajaran dikelasnya, dia akan memanjat kepohon jambu ini.
"Navila" suara itu berasal dari atas pohon jambu.
Aku pun berdiri dan berniat untuk pergi, tapi sial cowok itu memegang tanganku.
"Lo masih marah sama gue La?" Tanya cowok itu.
"...." aku terdiam tak menjawab.
"La, gue tahu kalau kita gak bakal bisa lebih dari sahabat. Dan gue gak mau, karna masalah ini ngebuat hubungan lo sama gue renggang" ucapnya.
"Navila, kalau lo marah sama gue. Lo bisa pukul gue disini sekarang, biar kesedihan dan amarah lo berkurang" lanjutnya lagi.
"Buat apa gue lakuin itu semua sama lo? Gak ada untungnya" ucapku.
"Kalau lo gak mau lakuin itu semua, apa lo udah maafin gue?" Tanya Nafta.
*****
Kamu perlu memastikan, dimana hatimu berlabu, sebelum seseorang akan tersakiti.
Duh Nafta....
Kira kira siapa nih yang jadi fans Nafta??? Kasihan deh diacuhin sama Navila, padahal dulu mereka tuh kaya kembar dempet yang kemana mana bareng.
Lanjut gak nih nulisnya? Tapi gak ada peningkatan deh, tetap kagak ada yang vote...
Bantu vomen dong... please....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro