Net | nasib baik
"Chu!"
Badan Net yang setipis tripleks hampir terjungkal saat Chuchu tiba-tiba terjun dari tudung hoodie-nya. Kucing itu kabur, masuk ke swalayan dan menjelajahi rak-rak makanan ringan dan mi instan. Ia sontak tergopoh-gopoh menyusul sampai tersandung di dekat meja kasir. Salah sendiri. Sudah tahu ada sekat untuk gesekan pintu, ia malah menerjangnya tanpa pikir panjang. Punggung usia tua yang sedari tadi nyut-nyutan langsung berbagi rasa nyeri ke pangkal paha dan betis. Koyo saja tidak akan berhasil menyelamatkannya. Cocok.
Lelaki itu pun tiarap, mencari keberadaan Chuchu di kolong bagian sayur dan buah-buahan. Ia lalu merangkak, menyusuri setiap sisi yang kemungkinan dilewati kucing itu. Tapi, nihil. Enggak ada suara, enggak ada pergerakan, enggak ada apa-apa. Net pun berdecak dan berdiri. Kedua tangan sudah berkacak pinggang. Ia lekas mengedarkan pandangan hingga mendapati makhluk berbulu itu sedang bermanja-manja dengan salah satu karyawan--yang datang dari gudang.
"Kucing Mas, ya?"
Net segera mengangguk, lalu mengambil alih Chuchu. "Iya. Makasih banyak, Pak."
"Lain kali dijaga, ya. Untung ini kaburnya nggak jauh. Saran saya, kasih kalung yang isinya nomor samean. Jadi misal kejadian lagi masih bisa ditelepon. Itu kalau yang nemu orang baik-baik, Mas. Kan kucing begini daripada dibalikin mending dijual sendiri. Iya, to?"
Hehe. Hanya itu yang Net ucapkan. Tanpa salam, tanpa penutup, benar-benar cuma dua huruf yang diulang dua kali. Senyumnya kaku. Ia juga menggaruk tengkuk, kemudian membungkuk kecil dan pamit keluar. Lebih baik menemui teman kantornya yang menunggu di depan lagi, kan? Pasalnya, bapak-bapak di depannya ini terlalu banyak bicara dan ia enggak betah.
Chuchu adalah anak bulu pertama dan satu-satunya--itu pun titipan--yang hadir di hidup Net. Jelas ia masih meraba-raba bagaimana memperlakukannya. Masih banyak hal benar dan salah yang belum ia ketahui. Mau ngesot di lantai cuma untuk mencarinya saja sudah bagus. Kucing bulu pendek itu seharusnya bersyukur.
"Lo nggak apa-apa?"
Pertanyaan perdana dari Ais nyatanya bukan karena berita ecek-ecek yang baru dibuat dalam sekali jadi. Net langsung menggeleng, meski kakinya lemas letoy seperti roti celup yang kelebihan air. Deru napasnya tak kalah ngos-ngosan, juga keringat dingin banjir tak karuan. Lelaki itu segera berbaring di lantai teras swalayan--enggak menutupi jalan--dan menaruh Chuchu di atas dadanya. Ia terus mendekap kucing itu biar enggak bisa ke mana-mana.
"Lo ngapain?"
Net mengangkat tangan kirinya untuk menghentikan Ais--yang sudah berdiri dan niat beranjak. "Ngadem bentar. Lo lanjutin aja bacanya."
"Tapi kan ko--"
"Kotor udah biasa, tinggal dicuci. Santai. Kasih gue waktu lima menit."
"O-oke."
Sambil mengatur napas, Net memiringkan tubuhnya menghadap toko--bukan jalanan. Ia lalu meletakkan tangan kanannya sebagai bantal--tepatnya di bawah pipi--dan satunya lagi memegangi Chuchu erat-erat. Mulutnya mengatup, membasahi garis pecah-pecah pada bagian bawah yang agak perih. Perlahan, rona pucatnya berubah warna dan ia makin kelihatan manusiawi--enggak kayak vampir GGS.
"Maafin gue, ya. Abis ini kita pulang," ucapnya seraya menatap Chuchu.
Mungkin paham atau cuma kebetulan, kucing itu mengeong dan menggerak-gerakkan ekornya. Net seketika semringah. Ia lekas berdiri tanpa memegang apa pun, meski sempat mengernyit dan terhuyung-huyung. Enggak masalah, masih bisa ditahan. Net jauh lebih memilih mengeratkan gendongannya pada Chuchu dibanding cosplay cara jalan kakek-kakek kelahiran 40-an.
"Gue udah nanya temen di Socio Dairy buat lengkapin data-data lo. Cek di note paling atas, bagian 'addition'. Gue juga udah kasih underline ke yang perlu direvisi," ucap Ais sambil menyerahkan tablet Net--milik perusahaan.
"Makasih, ya. Sori banget jadi ngerepotin. Mana gue tinggalin juga."
"Nggak apa-apa, kok."
"Em," Net menggigit bibir sambil mengusap-usap bulu Chuchu, "mau gue anterin balik, nggak?"
Ais pun menggeleng dan tersenyum tipis. "Nggak perlu. Harusnya gue yang nanya. Lo kayaknya nggak enak badan gitu. Tunggu di sini bentar, ya. Gue ambil motor."
"Nggak, enggak. Nggak usah," tolak Net mati-matian. "Kontrakan gue deket, kok. Semenit juga nyampek."
"Beneran?"
"Iya."
"Oke, deh. Terserah lo aja."
Net menelan ludah. "Em, gue balik dulu, ya. Kasihan juga nih bocil lama-lama."
"Oke. Ketemu besok di kantor."
"Sip!"
Net menghela napas lega. Pertama, ia enggak mau Ais mengetahui alamatnya yang amat berliku-liku dan terpencil--cocok untuk syuting Orang Pinggiran. Kedua, kadar gengsi yang sebesar jumlah utangnya enggak mau kalah dan enggak boleh diganggu gugat juga. Terakhir, ia malas dikasihani orang lain, terutama oleh gadis paket komplet seperti Ais. Sudah cantik, pintar, ramah, baik, kaya lagi. Net merasa perlu menjaga harkat martabatnya agar masih bisa dipertimbangkan sebagai calon--mimpi sedikit enggak apa-apa, lah.
Usai berjalan kaki dan menaiki tangga yang pijakannya sewaktu-waktu reyot dimakan rayap, Net tiba di kontrakannya. Ia langsung masuk dan mengunci pintu, lalu melepaskan Chuchu. Ia pun berbaring di lantai lagi dan saking malasnya justru beringsut-ingsut sambil telentang, seolah sedang mengambang di rawa-rawa. Lelaki itu terus bergerak hingga sampai kamar.
"Meow!"
Net pun menoleh. Ia membiarkan Chuchu menaiki kakinya dan berjalan hingga ke depan muka. Bahkan saat dijilati dan terus diusik pun, ia tetap diam saja.
Antara lelah, pasrah, atau merasa tengah diobati.
"Lo mau tidur di sini sama gue?"
"Meow!"
"Tapi kamar gue berantakan. Kandang lo jauh lebih bersih dan ketata juga."
"Meow!"
Net mengangkat dan menjauhkan Chuchu dari wajahnya--digeser ke perut. "Kenapa? Lo nggak suka ya dikurung di sana?"
"Meow!"
"Berarti bener."
"Meow!"
Lelaki berambut basah karena berkeringat itu sontak tersenyum. "Ya udah, sama gue aja. Tapi, lo jangan pipis sembarangan. Kalau kebelet, buruan ke pasir lo sono. Deket kandang tadi. Inget, kan?"
Sang pemilik--sementara--seperti berbicara sendiri. Chuchu terlihat bodo amat dan hanya menatapnya lekat-lekat. Lama-lama Net gemas dengan bola mata cokelat yang bulat dan penuh itu. Ia juga ingin menggigit pipi tembamnya yang sangat menggoda. Serius. Tapi, Net masih waras. Lagian, bulu halus kucing bisa masuk ke mulut dan hidungnya kalau terlalu barbar. Alhasil, ia hanya memeluk kucing itu dan memejamkan mata lebih dulu.
Chuchu terus mengeong. Detik saat fokus Net mulai buyar efek mengantuk pun masih terdengar. Bahkan ketika ia tiba-tiba bangun--akibat getaran ponsel di kantong celana, suara hewan lucu itu masih menggelegar. Bedanya, Chuchu sudah keluar kamar dan kini berkeliaran di ruang tengah, bermain sendirian.
Jam tiga pagi?
Net bergumam sambil mengusap wajah. Ia lekas duduk dan membuka puluhan pesan yang memenuhi notifikasi. Seketika ia terbelalak dan mendengkus hebat. Lagi-lagi penagih pinjaman mengancamnya ini dan itu. Mampus saja. Padahal, seingat Net jatuh tempo baru dua hari lalu. Katakanlah, ia belum telat-telat amat. Tapi, rasanya dikejar-kejar seperti telah membawa kabur uang milyaran rupiah saja.
"Dibales apa, ya?"
Sebelum ke mana-mana, Net terlebih dulu mengecek saldo rekeningnya. Nahas, memang. Mau berharap apa? Sudah pasti jumlah digitnya terlampau mengenaskan. Andai masih belasan tahun, ia sudah mengantre dana bantuan anak yatim agar tetap hidup. Sayangnya, jatah itu sudah berakhir sejak lama dan Net enggak boleh sering-sering bernostalgia.
"Blokir aja dulu, lah. Entar kalau udah ada duit tinggal dibuka lagi."
Sambil manggut-manggut, Net mengklik fitur block dan langsung mengarsipkan pesan-pesan itu. Persetan kalau nanti kena semprot, selama ia enggak masuk blacklist berarti masih aman. Toh, predikat sebelumnya juga baik-baik saja. Lebih baik dibiarin dulu, pikirnya.
Tapi, saat mau mengunci layar dan kembali tidur, ia enggak sengaja membaca pesan lain yang sama-sama dikirim oleh nomor asing. Bedanya, foto profil yang terpampang sangat familier dan Net sudah menunggunya dari jauh-jauh hari.
Kayaknya, selain menambah beban, Chuchu juga membawa Dewi Fortuna.
_____
DAY 5
5 November 2022
Selamatkan Chuchu! 🥲
1220 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro