Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Net | mabuk tagihan

Meski tampangnya enggak terselamatkan dan ada saja yang bertanya 'lo kenapa', Net tetap masuk kerja. Pertama, ia enggak sudi dianggap membolos--karena jatah cuti terhitung kemarin--lalu gajinya terpotong. Kedua, tenggat suntingannya makin dekat dan tagihan Leona amat mencekik. Ketiga, ilustrasi yang disetor dua hari lalu perlu direvisi dan Net enggak pengin mengacaukan itu. Ah, andai perangkat desain yang dipakai ada di rumah, enggak menetap di kantor seperti ini, ia pasti mempertimbangkan pilihan terakhir dan memilih berbaring bersama Chuchu di ruang tengah.

"Masih hidup kau, Net?"

"Punya nyali lo nanya gitu, Bang?"

"Waduh, hidup betulan rupanya."

Ck, Net geleng-geleng. Ia lekas memakai headset-nya lagi, padahal enggak ada lagu yang diputar. Ponselnya di-charge dan ia paling malas menyentuhnya kalau sedang begitu. Selain super-lemot, bodinya yang panas juga kurang mengenakkan. Enggak masalah, toh tujuannya cuma untuk menghindari celotehan rekan editor, yang kadar ingin tahunya melebihi mbak-mbak gosip di acara entertainment.

"Kemarin warnanya minta pastel, giliran udah clear malah ke emas elegan gini. Jauh banget, woy, Maemunah!" gerutu Net sendirian. Sungguh, enggak ada siapa pun yang memiliki nama itu di sini.

Net juga enggak kenal. Asal bunyi doang.

Lelaki itu mengacak rambut sambil mengotak-atik catatan karakter sesuai permintaan klien. Namanya juga freelancer, batinnya, kalau enggak gini enggak dapat duit. Ia sudah menerima modal di awal dan kurang pelunasan saja saat desain selesai, jadi enggak ada alasan untuk mengeluh ini-itu hanya karena revisi tiga hal: warna, detail objek, dan penempatan.

Cuma tiga, tekan Net menyabarkan diri.

Artikel terbaru dari tim event dan produk masih dikesampingkan lebih dulu. Tunggu, seenggaknya sampai email ini sampai ke seberang dan ia bisa menyulap tangan menjadi dua bagian--makin syukur kalau otaknya ikut juga. Net masih sempat mencari referensi color grading di internet untuk sekadar brainstorming, walau hasilnya enggak bagus-bagus amat sampai ia kembali lagi ke pilihan awal--rose gold dan a lil bit of sparkling silver. Sangat kelas.

Fokusnya pun terusik saat ponsel di atas speaker--diletakkan di sana karena dekat stopkontak--terus bergetar dan sangat mengganggu. Net langsung mengangkatnya tanpa melihat nama yang tertera pada layar. Sontak matanya terbelalak dan ia menjauhkan benda itu saat dibentak enggak karuan.

"Santai, Mbak." Hanya itu yang ia ucapkan setelah diteriaki 'kapan bayar' sebanyak tiga kali.

"Udah molor tiga hari lho, Net."

"Baru juga tiga hari, Mbak. Biasanya malah sampai semingguan, kan."

"Oh, lo rencanain, nih?"

Net refleks tertawa kecil dan menata duduknya. "Enggak gitu, tapi udah kebiasaan. Deadline-nya jadi geser, deh."

"Bener-bener lu, ye."

"Sabar dikit lagi, lah. Minggu gue transfer, kok. Tunggu fee cover ini turun dulu."

"Yakin? Entar pas udah bilang ke Ibu, lo nunggak lagi. Gue yang dimarahin."

"Tenang aja, ini mau kelar, kok. Lo jangan telpon mulu makanya."

"Ck, orang ngutang ditagih, kok, malah nyolot."

Lelaki yang menerima telepon sambil mengerjakan desain itu masih bisa cengengesan. "Kan gue nggak ngutang, nyewa doang."

"Iya, nyewa tapi telat mulu bayarnya."

"Deadline-nya geser, Mbak," ralat Net kesekian kali.

"Serah lu, deh. Gue bilang ke Ibu apa adanya, ya? Jangan kabur lagi."

"Siap!"

Net menghela napas. Senyumnya luntur, seiring dengan panggilan yang ditutup secara sepihak. Ia lantas bersandar pada kursi dan menatap langit-langit, seolah hamparan papan putih itu mengabsen list prioritas kantongnya akhir-akhir ini.

Sudah tipis, kering lagi, Net mendengkus.

Ia kembali ke layar komputer, memperhatikan tiap layer di Corel Draw yang perlu dipercantik lagi. Setelah menemukan pilihan yang cocok, Net menyelesaikan revisi pertamanya dan mengirim ulang ke klien. Sedetik usai kata 'send' diklik, ia memanjatkan doa agar balasan yang datang enggak macam-macam dan bisa move on ke pengisian rekeningnya.

"Eh, Net, bisa minta tolong print ini, nggak? Lima copy sekalian, ya." Ambon tiba-tiba mengusik ketentramannya, lagi.

"Belum diiyain, udah request. Berangkat sendiri, gih, Bang."

"Repot. Kau tengok, lah."

Net melirik sekilas, lalu mengangguk. "Iya, iya. Pesen kopi gelas satu, ya? Buat upah."

"Minta aja. Bilang masuk bon."

"Bon Abang, lho."

"Berisik! Cepat sana, sudah!"

"Yes! Gue bilang beneran. Makasih, Bang."

Lelaki berambut keriting yang sibuk menyalin data itu mengiakan, sementara Net lekas bergegas ke kantin. Ia lebih dulu membeli kopi, lalu mencetak dan menggandakan pesanan Ambon sesuai perintah. Keselamatan raut mukanya jauh lebih penting. Kantuk yang menyerang juga butuh diobati. Terlalu larut menjaga Chuchu nyatanya membuat kantung hitam di bawah mata makin menjadi-jadi.

Sambil sesekali tersenyum pada pegawai divisi lain yang berlalu-lalang, Net mengoperasikan fasilitas kantor itu dengan lancar. Hal seperti ini sudah sering ia lakukan, terlebih saat magang dulu. Malah, dibanding memegang edit-an atau press release yang sederhana, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk wara-wiri membeli kopi, mencetak file, dan merapikan rak arsip tim redaksi.

"Lah, lo ngapain di sini, Net? Editing lo udah beres?"

Kalau sekali lagi Net dikagetkan sampai hampir terjungkal, ia layak mendapat piring cantik, atau gelas juga boleh. Lelaki itu refleks mengelus dada dan menelan ludah. Kemunculan Leona yang entah datang dari mana cukup membuat salah fokus.

"Bang Ambon yang suruh. Dia lagi riweh, jadi gue bantu aja, Mbak."

"Kerjaan lo sendiri gimana?"

"Sejam lagi gue kirim, deh."

"Oke. Kalau ada apa-apa bilang aja." Leona mendekat. "Lo masih nggak enak badan, ya? Bukannya kemarin kucing lo yang sakit?"

Net perlahan menyingkirkan tangan sang redaktur pelaksana yang hendak menyentuh keningnya. "Iya, kemarin Chuchu keracunan. Gue nggak apa-apa, kok. Emang kenapa, Mbak?"

"Oh, syukurlah. Kayak capek banget aja. Sori, ya."

"Buat?" Net mengerutkan kening.

"Pas cuti kemarin."

"Oh, santai. Kan udah biasa juga," jawabnya, berniat sarkastik, tapi enggak digubris--target kurang peka.

"Thanks. Gue cabut dulu."

Seraya mengambil satu per satu lembar print-print-an, Net tersenyum tipis. Ia menunduk, enggak berselera mengantar Leona sampai depan pintu. Ia kemudian merapikan kumpulan kertas bawaannya, lalu kembali ke meja pribadi. Ambon, yang duduk di sampingnya, lekas menyambut baik dan berterima kasih.

"Eh, Bang!" Net mengarahkan kursinya menghadap kanan.

"Hem?"

"Emang kemarin gue bilang kalau kucing gue sakit, ya?"

"Hah? Kapan kau punya kucing?"

"Lah," Net menepuk jidat, "parah lo!"

Kan, benar, batin Net. Ia enggak merasa cerita ke siapa-siapa tentang tragedi muntah-muntah Chuchu. Bahkan, kayaknya cuma Ais yang mengetahui keberadaan kucing super-cute itu di kontrakannya. Makin lama dipikirkan, makin berasap pula otaknya.

"Udah, lah. Mending ngedit aja."

Durasi satu jam yang ia janjikan pada Leona membuat Net mau enggak mau membuka dokumen. Kacamatanya sempat melorot--terdeteksi enggak sanggup--saking lamanya menatap layar. Dua berita yang sebenarnya simpel, tapi banyak kesalahan tata kalimat dan tipo itu cukup mendatangkan cenat-cenut di ujung pelipis. Net spontan memijat tipis.

"Chuchu lagi apa, ya?" gumamnya tanpa angin, tanpa hujan.

Ia lantas menghubungi satu nomor di kontak darurat yang diatur dadakan tadi pagi. Setelah tersambung dan salamnya terjawab, Net langsung mengubah panggilan ke video, apalagi saat mendengar suara Chuchu. Senyumnya pun meriah ketika mendapati kucing bulu pendek itu guling-guling di lantai.

"Chu!"

"Dia udah baikan sekarang."

Net tersenyum tipis pada sosok di balik layar ponsel. "Makasih, ya."

_____

DAY 17
17 November 2022

Papa lagi nyiapin makan 🐱

1138 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro