Net | bantuan dadakan
Bangun di dalam ruangan serbaputih, bau obat, dan hening bukan main bukanlah hal asing bagi Net. Bahkan, dulu saat jantungnya belum mendapat barang baru, hampir setiap minggu ia mengisi daftar pasien di lobi rumah sakit. Sekarang, kelakuannya memiliki kemajuan. Ia dilarikan karena jatuh dan berguling-guling di tangga--agak dramatis. Untunglah cedera yang dialami enggak seberapa. Cuma lecet di bagian lutut, siku, pinggang sebelah kanan, dan pelipisnya. Paling penting, enggak ada tulang yang patah. Aman.
Net mengecek pergelangan tangan yang terpasang infus. Ia mendengkus, menyayangkan uang yang dikeluarkan hanya untuk ini--padahal enggak perlu repot-repot memberinya nutrisi tambahan. Ia pun duduk, berusaha bersandar pada dinding dan celingak-celinguk. Seenggaknya, ia masih di IGD, belum diungsikan ke mana-mana.
"Lo udah sadar?"
Tori tiba-tiba masuk sambil menenteng kantong belanja berisi onigiri, susu, keripik kentang, dan air mineral kemasan. Ia lalu menarik kursi kecil di dekat nakas. Bukannya duduk, lelaki itu justru meletakkan barang bawaannya di sana.
"Mau yang mana?" tanyanya sambil memperlihatkan isi keresek pada Net.
"Makasih, tapi gue nggak minat. Udah boleh pulang, kan?"
"Ngawur," Lelaki yang masih memakai ID Card Daily of Gorgeous itu menahan tangan rekannya, "kata dokter lo harus tes dulu. Katanya ada yang abnormal gitu, lah. Nggak ngerti gue."
"Nggak perlu, gue udah tau, kok." Net tetap ingin turun dan pulang.
"Eh, eh, tapi--"
Seketika Tori terdiam, menelan ludah. Tatapan orang sakit yang amat pucat--peredaran darahnya seperti berhenti--dan memprihatinkan itu nyatanya bikin merinding. Tajam dan menusuk. Ia langsung melepaskan genggamannya, lalu menurut saja saat Net memanggil perawat yang lewat. Lelaki itu meminta tolong untuk melepas infusan dan mengurus kepulangannya.
"Udah ada yang bayarin?" Net menoleh. Keningnya berkerut saat mendapati administrasinya telah beres sebelum diurus.
"Kantor yang bayar," jawab Tori jujur.
"Oh, oke. Makasih."
Net mengedarkan pandangan, mencari barang yang barangkali perlu dibawa--mengingat ia enggak tahu alasan bisa di sini dan bagaimana caranya. Nihil, ia pun menghela napas dan segera keluar ruangan. Lelaki itu melongok, membaca nama rumah sakit yang mereka--dengan Tori--kunjungi. Sebenarnya enggak jauh dari kantor, tapi kalau ditempuh dengan berjalan kaki, Net bisa berotot esok hari.
"Lo mau ke mana?" Tori menghampiri santai sambil mengunyah snack.
"Balik kantor, lah. Kan kucing gue di sana."
"Ya udah, ayo."
"Ayo apa?" Net menatap tangannya yang dipegang lelaki di sampingnya ini.
Takut, Tori sontak melepasnya. "Ke kantor. Lo ke sini sama gue, masak balik sendiri-sendiri?"
Jadi, dia, batin Net setelah menemukan orang yang menolongnya kemari. Ia lantas mengecek kondisi mantan dari mantan pacarnya itu--sungguh status yang rumit--dari bawah hingga atas. Enggak ada luka, berarti Tori hanya kebetulan ditugaskan mengirimnya ke sini. Enggak lebih, mungkin.
Tapi, dilihat dari tingginya tangga dan cideranya, agak mustahil kalau Net selamat tanpa penghalang. Ah, mungkin tubuhnya sempat nge-rem mendadak dan adegan gulung-gulung seperti di televisi agak berkurang. Lagi-lagi Net hanya bisa berpikir dan mengira-ngira. Ia malas bertanya, padahal enggak susah.
"Makasih ya," ucapnya basa-basi, menjaga sopan santun.
"Iya, sama-sama. Ayo, ke parkiran."
Net menurut. Ia masih lemas, jadi jalannya sebelah-dua belas semacam kura-kura. Nyeri di beberapa tempat juga masih terasa. Kalau ditekan, sensasi ngilu yang menjalar hingga ke gigi membuatnya merintih dan merutuki diri sendiri. Salah siapa coba-coba?
Dua lelaki itu lekas kembali ke kantor. Net langsung disambut bak atlet yang baru saja memenangkan pertandingan. Banyak pertanyaan ini-itu, yang jelas tentang keadaan dan perasaannya saat ini. Enggak penting, karena di pikiran Net sekarang hanya Chuchu.
Di mana kucing bulu pendek itu?
"Anak lo lagi main sama creator di atas." Seolah bisa membaca pikiran Net, Leona berkata demikian tanpa ditanya.
"Ngapain, Mbak? Diajak ngonten?"
"Iya. Anteng, soalnya. Gampang diatur."
"Oh, okelah."
Leona memegang bahu Net pelan, berhati-hati biar enggak menambah luka apa pun. "Kalau masih belum fit, lo bisa istirahat. Lagian jam balik tinggal bentar lagi."
Bukannya menjawab, Net malah berjalan ke meja kerjanya. Ia mencari ponsel dan membuka notifikasi, membaca salah satu pesan dari tukang ledeng langganan yang dimintai tolong membenahi atap dan pipa kamar mandi--agak kurang nyambung tapi begitulah Net. Tahunya, bapak-bapak lima puluh tahunan itu masih menunggu alat yang dipinjam tetangga dan baru ke kontrakannya nanti sore.
Leona dan Tori sontak saling pandang, sama-sama bingung dengan tingkah Net. Lelaki itu menggerutu dan mencak-mencak sendiri, di saat dua rekannya masih menunggu jawaban.
"Net?"
"Iya?" Sang empunya nama itu tersentak. "Kenapa, Mbak?"
"Lo boleh balik duluan. Gue ambil Chuchu kalau gitu, ya?"
Net menggeleng. "Santai aja, Mbak. Gue tidur sini aja. Kayaknya bakal hujan deres lagi. Kontrakan belum kelar dibenerin. Nggak apa-apa, kan?"
"Nggak, enggak," Leona menyilangkan tangannya, "bisa dikira eksploitasi pegawai kalau gini caranya."
"Kan bukan Mbak yang suruh, gue sendiri yang mau. Nggak apa-apa, ya? Masak tega ngelihat gue ngemper di masjid kayak pas Ramadan dulu? Entar Chuchu kabur berabe, dong."
"Ke kos gue aja, gimana?" Tori menawarkan.
"Hah?" Mata Net terbelalak.
"Nah, ide bagus itu." Leona tersenyum lebar. "Ya udah, sama kamu aja ya, Tor."
"Eh, Mbak--"
"Gue mau ke developer dulu. Bye!"
Tori dadah-dadah kecil, sedangkan mulut Net masih menganga dan otaknya belum bisa mencerna. Ia sontak menoleh ke lelaki di sebelahnya yang cengar-cengir tanpa dosa itu.
"Ngapain lo nawarin segala, sih? Makasih, tapi gue lebih pilih tidur di sini."
"Udah, nurut aja sama atasan. Daripada potong gaji, lho."
"Ck, intern macam apa lo, sok-sokan ngajarin senior."
Tori tertawa kecil. "Maaf, Kak. Saya hanya menawarkan bantuan, tidak ada maksud lain."
Sekujur tubuh Net refleks bergidik. Amit-amit, semoga enggak lagi mendengar omongan Tori versi formal seperti ini. Ia lekas naik ke lantai tiga dan mengambil Chuchu. Enggak lupa berterima kasih pada tiga gadis yang menjaga anak bulunya itu selama ia di rumah sakit--yang entah berapa jam karena ternyata lama sekali. Ia lalu turun lagi, mengemasi barang, dan bersiap menentengnya.
"Udah? Gue izin ke Kak Leona dulu."
"Ngapain?" Net menautkan alisnya.
"Balik juga, lah. Kan bareng lo sekalian."
"Siapa yang mau ke kos lo?"
Tori mengembuskan napas panjang. "Terus, lo mau ke kos siapa?"
"Ke ...."
Detik demi detik Tori hitung, Net masih saja bergumam. Sepanjang nama kontak yang ada di ponsel, lelaki itu hanya menemukan nama perempuan, yang sudah jelas enggak mungkin dijadikan tempat pelarian. Ada beberapa nama pria, seperti Bret dan Ambon tentunya, tapi mereka sudah beristri. Enggak lucu kalau ia tiba-tiba mengetuk pintu dan berkata mau menginap. Sangat mengganggu rutinitas malam. Apalagi sekarang ada Chuchu, ia enggak bisa tidur sembarangan seperti zaman SMA dulu.
Argh, lama-lama ia mengacak rambut.
Tori pun menyeringai. Satu menit telah berlalu. Ia lekas mengambil alih tas berisi Chuchu yang Net jinjing, lalu berjalan lebih dulu. Lelaki yang harta-nya baru dirampas itu baru sadar setelah dahinya dijitak pelan.
"Buruan!" seru Tori.
"Shit, resek lo!"
_____
DAY 23
23 November 2022
Telat mulu euy
1114 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro