Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chuchu | terima kasih Papa

Aku terus berlari melewati persimpangan dan gang-gang sempit. Sempat sekali tiang listrik muncul tiba-tiba di depan mata--akunya saja yang kurang fokus--sampai kakiku tersangkut dan membentur tempelan poster sedot WC. Sungguh luar biasa sensasinya. Kepalaku nyut-nyutan enggak karuan, bahkan burung-burung kecil seperti berkeliaran di atas tubuh. Kesadaranku baru pulih saat anjing kurang kerjaan dari belakang sana makin dekat.

"Meow!"

Giginya berhasil menangkap kaki belakangku, sebelah kiri. Dia menarik dan mengoyaknya sembarangan. Mau sekuat apa pun tanganku memegang batu besar di tanah, tenaganya masih menang jauh. Aku terseret beberapa meter sampai kembali ke pertigaan depan. Dengan ganas dia membantingku hingga menabrak tong sampah kosong. Bunyi klontang-klontang sontak mengisi keheningan tempat ini. Sungguh, salahku apa, sih? Dasar makhluk bertaring enggak jelas!

"Guk!"

Aku langsung tunggang langgang pergi dari sana sebelum diapa-apakan lagi. Anjing itu hanya menyalak, lalu berhenti mengejarku. Syukurlah, mungkin dia sudah bosan, atau sadar kalau lawannya ini bukan tandingan yang pantas. Lagian enggak ada alasan juga tetap mengerjaiku seperti itu. Aku hanya berjalan anggun mencari Papa, menyenggol dia saja enggak sama sekali. Dia enggak sedang salah sasaran, kan? Kalau iya, kenapa nasibku seburuk itu? Aku enggak sedang menyumpahi Papa macam-macam, jadi ini bukan karma.

Tapi, jujur sakit, meow!

Langkahku terseok-seok saat berhasil melewati belokan poskamling. Bagian belakang dan depan kakiku terus mengucurkan darah yang baunya amat memabukkan. Baru pertama kali ini aku menciumnya. Semua gara-gara gigitan dan hempasan si Bahrudin tadi--nama samaran. Sial, memang.

"Me-ow …."

Nyawaku sisa tujuh. Satu hilang karena memakan tikus got, satu lagi karena digigit anjing. Ayolah, Chu, kenapa enggak ada yang keren sedikit? Aku pun mengeong lagi, meskipun pos reyot dan enggak berpenghuni ini benar-benar sepi sekali. Yah, masih berharap ada sesama kucing yang melintas, lah, syukur-syukur kalau mengenalku atau minimal mengenal Manis, jadi bisa menyampaikan pesan terakhir untuknya--berjaga saja kalau-kalau jatah selamat ini sudah expired. Sayangnya, yang kudengar hanya semilir angin dan kasak-kusuk benturan kerikil. Hujan yang datang juga makin menjadi-jadi.

"Chu? Meow!"

Telingaku berdengung. Sekujur tubuh rasanya seperti diberi akupuntur--jarum Bu Dokter saja kalah. Sensasi di dalam juga enggak enak, kayak pas mbak-mbak pet shop mengeringkan bulu-buluku dengan hair dryer. Panas, woy! Aku enggak tahan sampai terbatuk-batuk. Suaraku makin hilang entah digadai ke mana. Mungkin, ini sebabnya aku berhalusinasi tentang Manis. Sosoknya kini berlari dan menyenggol bahuku kuat-kuat.

Tunggu, ini bukan mimpi?

"Kamu kenapa bisa begini?"

"Ma-nis?"

"Iya, ini aku. Tunggu, ya. Aku pergi ke rumahmu dulu."

"Untuk apa?" tanyaku lirih.

"Ngasih tau papamu, lah."

"Di-dia masih di rumah sakit, meow."

Manis mengerang. "Aku akan menengoknya ke sana, kalau enggak ada, baru kucari ke mana pun itu."

"Te-ri-ma ka-sih."

"Sama-sama, meow. Kamu tahan, ya."

Aku mengeong--tanda iya, tapi enggak janji. Kantuk yang menyerang hampir menguasai tubuh dan aku enggak bisa apa-apa. Saat punggung Manis enggak kelihatan dan derasnya air menutupi jalan, kepalaku terasa berat sampai mau melongok pun enggak bisa.

Aku pun bersandar dan memejamkan mata, sedikit. Masih ingin mencuri-curi pandang, memastikan kalau Papa akan menjemputku. Tapi, detik demi detik, menit demi menit, dia belum datang kemari. Air mataku mulai menetes tanpa diminta, padahal jenis sepertiku jarang sekali menangis.

Kira-kira, apa perkaranya?
- Aku sekarat
- Kangen Papa, atau
- Dua-duanya

Benar-benar di luar pikir, aku enggak paham. Memori ketika Papa terpleset di kamar mandi saja tiba-tiba terlintas sampai aku tertawa. Momen waktu dia curhat masalah kerjaan sambil membelaiku di depan TV juga mampir. Aku menggeleng dan mengusir masa-masa dia menjajalkan snack kering tanpa merek, tapi mau sekeras apa pun tetap saja mengingatnya.

Papa enggak mungkin rela memberikanku begitu saja, kan?

Dingin lantai ini makin menusuk kulit. Aku pun meringkuk dan menikmatinya. Paling enggak, hawa sekitar sungguh sejuk, seolah-olah tengah mengantar kucing unyu ini untuk tidur nyenyak. Terima kasih. Perlahan, aku benar-benar menutup mata.

"Chuchu! Chu!"

Sepertinya di surga ada penjaga ganteng mirip Papa Net. Syukurlah. Masih ada yang bisa dibanggakan dari kekonyolan ini. Apalagi lelaki itu mendekapku erat seperti sedang melepas rindu bertahun-tahun. Pelukannya hangat sampai-sampai aku merasa dia enggak mau kehilangan kesekian kali. Aku mulai menggeliat dan bersentuhan dengan kemejanya yang lusuh dan berbau campuran pasta gigi dan bakaran kayu.

Eh, tunggu, ini … Papa?

"Chu!"

"Me-ow!"

Ini benar-benar Papa, lelaki kurus layaknya kentongan masjid yang pucatnya bukan main. Dia datang. Dia sungguh kemari. Aku berusaha menoleh, walaupun rasanya kaku dan menusuk-nusuk, mencari-cari keberadaan Manis. Ada! Dekat tiang dan mengeong ke arahku.

"Me-ow!" Terima kasih.

"Kita ke klinik."

Badanku kelewat ringan, hampir mati rasa saking lelahnya mengabsen berbagai macam nyeri tadi. Sebenarnya terserah Papa mau bagaimana, menunggu sampai pindah dunia juga enggak masalah, tapi kalau dibawa bertemu jarum suntik, ya sudahlah. Aku pasrah. Ini bukan pilihan terbaik, cuma harus memohon apa lagi?

Lantai yang kami datangi seketika basah. Papa meminta maaf pada resepsionis yang semula sibuk bermain ponsel. Wanita itu jelas langsung panik menghampiri Papa dan lekas membawaku ke ruang perawatan.

Enggak seseram yang kukira. Bisa jadi efek obat bius. Aku terlelap beberapa jam--kayaknya--sampai tiba bisa melihat Papa dengan jelas. Bajunya sudah berganti. Kini enggak basah lagi, cuma bermodalkan kaus oblong berlogo 'Kimi'. Oh, tahunya milik tempat ini. Dia menjagaku sambil terkantuk-kantuk, terhuyung ke sana-sini karena enggak ada sandaran sama sekali. Tanganku masih diinfus di tempat yang sama. Dokter yang berjaga sudah pergi enggak tahu ke mana.

"Meow!"

Aku mencoba menyentuh lengan Papa, tapi tanganku enggak sampai--kurang panjang dan kurang tenaga pula. Justru salah satu petugas-lah yang mendengarku dan buru-buru mengecek mata dan membelai lembut. Dia juga sedikit menepuk-nepuk bagian perban, seperti tengah menyalurkan mantra penyembuh. Baik sekali.

"Chu?"

"Meow!"

"Chu! Akhirnya lo bangun!"

Papa sontak memelukku, tapi cuma mengambang di udara. Mungkin dia takut makin menyakitiku. Uwu, so sweet. Dia lalu menghisap ingus dan menghapus sisa-sisa tangis. Lebay ah, tapi ganteng. Akhirnya aku bisa melihat senyumnya lagi, meskipun bibirnya sangat putih dan pecah-pecah. Rautnya juga kusam dan tampak lelah. Dia pasti masih sakit kan, meow?

"Maafin gue, ya? Mau butuh duit kayak gimanapun, nggak seharusnya gue punya niatan ngasih lo ke orang lain sampai kejadian kayak gini. Gue nggak nyangka Ais juga nggak bisa dipercaya. Semuanya sama aja. Sial!"

Papa terus menggerutu. Aku diam saja.

"Gue cuma punya lo, Chu. Gue nggak akan ninggalin lo, jadi jangan ke mana-mana, ya. Tetep tungguin gue di depan pintu setiap hari. Gue janji nggak bakal relain lo ke siapa-siapa. Maafin gue, Chuchu."

"Meow!" Jangan menangis, Pa.

Kelingking kami berdekatan, lalu saling taut. Papa terus menunduk dan tersedu-sedu. Aku enggak tega, tapi sepertinya itu bisa membuatnya lega. Aku sungguh enggak apa-apa, meow. Andai enggak parah, sakit ini, luka ini, semuanya bisa langsung sirna saat melihat Papa tadi. Dibanding obat, pakan, ataupun minum, dekapannya lebih berguna untukku. Aromanya lebih kurindukan. Suaranya saat memanggilku lebih kudambakan. Dan, belaiannya pada bulu-buluku lebih kunanti-nanti. Papa adalah segalanya.

"Meow!" Chuchu sayang Papa Net.

"Kenapa? Pasti sakit banget, ya? Maaf, Chu."

"Meow!" Terima kasih, Papa.

"Mulai hari ini, kita udah janji buat sama-sama terus, oke?"

"Meow!"

"Love you, Chu."

"Meow!" I love you too, Pa.

_____

DAY 46
16 Desember 2022

1193 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro