Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chuchu | Tante Ais

Malam Jumat bukan hari yang buruk untuk berkencan di atap rumah Pak RT, apalagi tadi sempat hujan deras, jadi hawa dingin masuk menembus bulu dan menyelimuti tulang. Sangat cocok untuk berpelukan. Tapi tenang, aku enggak modus. Manis masih aman di sampingku. Dari tadi dia sibuk menjilati ikan kering yang ditemukan di genteng. Kayaknya Bu RT terburu-buru saat sampai ada yang ketinggalan diangkut. Syukurlah, kan rezeki. Aku enggak minta apa pun, selain informasi tentang Tante Ais.

"Cewek baik-baik biasa, Chu. Nggak aneh-aneh."

"Bener, meow?"

"Iya, yang kutau dia masih sering bantu-bantu warga kompleks depan kalau ada hajatan. Orangnya supel, banyak ibu-ibu yang suka. Niat jadiin mantu gitu, lah. Dia juga pernah memberiku makan."

"Iya?"

Manis mengangguk, lalu mengeong. "Dia bukan orang jahat, Chu. Kamu nggak perlu khawatir."

Mana bisa begitu?

Aku ditinggal tanpa diberi kabar apa-apa. Setelah Om Tori tiba-tiba mendobrak pintu dan mencuri Papa--entah dibawa ke mana yang jelas bukan ke pasar malam karena tutup, tahu-tahu pas sore si wanita itu datang. Mereka sama, dengan santai keluar-masuk rumah orang saat cuma ada pangeran imut yang enggak ngerti apa-apa ini sendirian di kontrakan. Siapa yang memintanya mampir? Papa? Enggak mungkin. Aku yakin dia masih bergulung-gulung di kasur. Untuk apa pula dia kemari? Aku hanya tahu Tante sempat masuk kamar Papa, lalu pergi lagi--makanya sekarang aku bisa ngapel. Kadang negative thinking itu perlu. Meow!

"Aku tau papamu suka dengannya."

"Aku juga."

Kalau ini aku harus jujur. Soalnya gerak-gerik Papa terlalu jelas dan mudah ditangkap. Yah, cuma dia agak pecundang, jadi enggak jadian-jadian, deh. Saat aku sakit dulu, Papa juga enggak ragu menitipkanku padanya. Sebut saja modus, aku enggak peduli, tapi yang jelas ini tanda kalau Tante Ais merupakan salah satu orang yang dipercayainya. Aku pun begitu, seharusnya. Tapi, gelagat dengan Om Tori dan ke kamar tadi cukup mencurigakan. Sayang sekali aku dikurung di kandang dan enggak bisa mengintip sama sekali. Mereka baru melepasku saat keluar rumah.

"Mungkin dia mengambil baju ganti papamu. Nggak lebih."

"Itu artinya Papa nggak pulang lagi nanti."

"Meow, dan bisa jadi besok-besok juga masih begitu."

Aku langsung menoleh, enggak suka. "Kok doamu gitu sih, Manis."

"Dulu aku udah ngasih peringatan ke kamu, kan?"

Tentu aku ingat karena jujur sampai sekarang belum menemukan jawaban yang tepat. Aku tahu Papa agak berbeda dari lelaki kebanyakan. Dia perhitungan dengan apa pun, bahkan pada dirinya sendiri--sarapan dan makan siang saja dirangkap dengan dua biji roti. Dia sangat ceroboh sampai-sampai bentuk rumah sudah mirip tempat tambal ban. Kepleset, ketimpuk, kejedot, pokoknya apa saja sudah dia rasakan. Tapi, enggak mungkin mereka berkaitan dengan maksud Manis, kan? Atau jangan-jangan karena dia ringkih seperti bayi merah? Habisnya, Papa mudah sekali terserang flu. Untuk umur seperempat abad sepertinya, itu bukan rekor atau ciri khas yang bagus.

"Kata sesepuh gang ini--yang dimaksud tetaplah kucing--Tuan Net pindah ke sini setelah orang tuanya meninggal. Dia datang sama salah satu kerabat. Nah, orang ini yang ngasih tau ke warga-warga. Dia sempat minta tolong kalau ada apa-apa suruh telpon. Cuma rumor sih, tapi dari omongan yang beredar,
Tuan Net udah sakit dari lama. Aku udah pernah melihatnya kesakitan, Chu. Jadi, percaya aja, deh."

"Aku juga pernah."

"Iya?"

"Lumayan sering."

"Kalau begitu, mereka nggak bohong kan, meow?"

Aku enggak mau menjawab. Rasanya aneh setelah mendengar itu semua, seolah-olah Papa bisa hilang kapan saja, enggak cuma pas kemarin malam. Belum terpikirkan sama sekali kalau aku akan sendiri lagi dan berpindah tangan ke orang lain. Entah ke berapa kali. Apakah Tante Ais dan Om Tori bekerja sama untuk itu? Atau skenario terburuknya, Papa memang sudah menyerahkanku pada mereka dan tinggal menunggu waktu?

Meow! Kenapa jauh lebih sakit dari Mami dulu? Seenggaknya dia minggat untuk bersenang-senang dengan gebetan barunya di Singapura. Sementara Papa? Enggak lucu kalau dia kelayapan menuju Tuhan sebelum menanggalkan status jomblonya. Kasihan. Aku juga enggak kalah mengenaskan. Nasib sekali.

"Meow, itu Tante Ais. Aku pulang, Manis."

"Mau kuantar?"

"Nggak perlu, aku bisa sendiri. Makasih malam indahnya."

"Sama-sama. Cobalah membuka hati, Chu."

Iya atau enggak? "Hm, oke."

Aku berlari-lari kecil ke rumah, lalu menyelinap ke lubang kecil di atas pipa jemuran Papa. Setelah mengendap-endap dan berhasil masuk, aku bisa bernapas lega. Situasi aman. Tante Ais baru membuka pintu saat aku rebahan di lantai, sambil menatap langit-langit. Gaya merentangkan tangan ini lagi viral di media sosial. Aku pernah melihatnya saat Papa scroll TikTok. Ah, aku jadi ingat bagaimana dia tertawa saat melihatku bisa melakukan itu. Jadi kangen, meow!

"Makan yuk, Chu."

"Meow!"

Bau jaket Tante Ais persis kayak kotak P3K Papa. Nano-nano, semacam campuran mint yang kejatuhan pasta gigi dan Pocari Sweat. Entah apa jadinya, yang jelas enggak enak. Terlalu tajam dan menusuk. Nafsu makanku jadi berantakan, sama seperti tampangnya sekarang.

"Meow!"

Tante Ais bersandar pada sofa dan memejamkan mata. Kok jadi mirip Papa? Ini aku yang berhalusinasi efek rindu berat atau mereka memang jodoh? Super sekali.

Aku pun mendekat dan bergelantungan di kakinya, sedikit menjilat-jilat dan menggigit-gigit kecil. Dia masih diam saja. Aku terus mengeong dan menatapnya dengan mata bulat penuh--percayalah ini momen terimutku, tapi dia masih memegangi kepala dan sebentar-sebentar mengacak rambut. Ada yang enggak beres?

"Meow!"

Akhirnya Tante Ais menoleh dan tersenyum tipis. Dia segera mengangkatku, lalu memeluk erat. Kini kami berbaring berdua. Untung saja Papa dan Manis enggak ada di sini, jadi enggak perlu ada huru-hara kecemburuan.

"Meow!"

Ada berapa jenis asap knalpot yang menghantam mukanya hari ini? Rautnya benar-benar kusam. Kantung mata yang beberapa waktu lalu belum menghitam juga nangkring di sana. Apa Papa sudah menyusahkan mereka? Ah, aku enggak boleh berburuk sangka dengan orang tua sendiri--kalau ke orang lain boleh, meow.

"Doanya ya, Chu."

Kupikir dia akan terus menutup mulut, syukurlah enggak terjadi. Tapi, kenapa pula mengucapkan itu? Doa tentang apa? Untuk siapa? Kenapa? Hah, manusia suka sekali berbicara sepotong-sepotong.

"Papamu hari ini dioperasi. Besok pagi kita ke rumahku, ya. Sekarang tidur di sini dulu."

"Meow!"

Hanya ucapan terakhir yang kupahami. Antara memang dasarku bodoh atau Tante Ais saja yang kurang bisa menjelaskan.

Apa hubungan Papa dioperasi dengan menginap di tempatnya? Aku enggak mempermasalahkan segala hal yang menyangkut Papa sekarang, selama dia bisa baik-baik saja dan lanjut bermain kejar tokek lagi denganku. Tapi, jelas berkunjung ke Tante Ais bukan dalam rangka menyembuhkannya. Enggak masuk hitungan, dong. Ini bukan waktunya silaturahmi, lamaran, atau sejenisnya.

Argh! Aku benci overthingking, meow! Sudah seperti mbak-mbak kurang perhatian saja.

Enggak ada cara lain buat mengetahuinya, selain masuk sendiri. Mau enggak mau, besok aku harus mencobanya. Semoga bukan pilihan buruk. Kalaupun wanita bertampang polos dan menyenangkan itu berniat jahat, aku punya rencana lain yang lebih seru.

Tunggu saja.

_____

DAY 39
9 Desember 2022

Makin ke sini makin males nulis

1112 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro