Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chuchu | sakit Papa

Enggak ada yang lebih buruk dari keputusan Mami. Pertama, dia menghabiskan uang untuk gambling online yang ternyata kedok penipuan kelas kakap. Kedua, dia membuang makhluk menggemaskan sepertiku, padahal katanya cuma nitip, ke Tante Za begitu saja. Ketiga, dia melepas lelaki semacam Papa yang sudah mengeluarkan hampir seisi rumah untuk membantunya.

Bukan bullshit, aku pun masih malas berurusan dengannya yang super-sibuk dan ceroboh maksimal itu. Tapi, dari caranya mengikhlaskan Mami tanpa tindakan hukum dan justru mau repot-repot merawatku pas malam saja--kan siang dia kerja, Papa bukan sosok yang worth it untuk ditinggalkan. Hem, Chu, kamu makin ngelantur. Mungkin efek pelukan Papa yang terlalu barbar, sampai-sampai aku susah bergerak. Tapi, benar begitu. Papa orang baik. Lagi pula, aku sudah enggak masalah di sini. Toh, kipas angin yang banyak sarang debunya itu masih bernyawa dan kamar pengap ini ada ventilasinya.

Cuma, kalau diperhatikan, tidur Papa sangat gelisah. Mungkin tengah mimpi buruk? Aku enggak tahu, yang jelas dia miring ke kiri, ke kanan, tengkurap, lalu telentang lagi. Gitu mulu selama hampir tiga jam. Bedanya, dia masih memelukku. So sweet. Tapi, tangannya dingin dan berkeringat. Bulu-buluku menyerapnya tanpa sadar. Sekarang badanku jadi kuyup--enggak segitunya, itu terlalu lebay. Lama-lama risi kalau didekap terus-terusan.

"Meow!"

Aku pun mengecilkan badan, berusaha kabur dari pelukan Papa yang mulai melonggar. Dia lalu beralih menarik selimut dan meringkuk. Aku agak terusir saat dia berbaring miring membelakangiku. Huh, padahal tadi masih manis sekali.

"Meow!"

Aku akan meminta maaf besok pagi karena menaiki pinggang Papa dan berjalan santai menuju tengkuknya, yang ternyata sepanas tai ayam fresh--kata Bonbon, aku belum pernah menginjaknya. Napas Papa juga pendek-pendek dan dia terus menggumamkan sesuatu. Aku kurang yakin tentang apa yang dibicarakan. Hanya kata 'siap', 'laksanakan', dan 'maaf' yang terdengar berkali-kali. Kayaknya, tante-tante ibu tiri Cinderella yang mampir ke mimpinya. Kasihan Papa.

Kakiku tahan panas, kok. Sedikit. Tapi, aku enggak suka bertahan terlalu lama di daerah cekung seperti ini. Lebih baik melanjutkan perjalanan ke dahi Papa saja. Kan, benar panas juga. Sudah kuduga. Keringatnya di sini bahkan jauh lebih ramai dibanding bagian tangan dan lehernya. Aku harus bagaimana?

Apa mungkin kehadiranku juga memperkeruh masalah?

Siapa tahu, dengan Papa sendiri di dalam, dia bisa mendingan. Lagi pula, aku lapar. Tengah malam begini paling enak menyantap snack bola-bola ikan. Sayangnya, kemarin tinggal segenggam saja dan sudah kuhabiskan. Papa belum beli lagi. Boro-boro, deh. Dia pasti lupa nama mereknya. Kalaupun ingat, tag price-nya pasti bikin maju mundur. Aku sudah paham dan enggak bakal banyak gaya. Daripada dicarikan papa baru lagi, kan? Atau yang lebih parah, dititipkan ke pet shop berisi kucing ganjen kelas Jembatan Ancol.

Hah, Chuchu terlalu banyak nonton TV.

Ruang tengah ternyata enggak terlalu buruk. Lantai yang dilapisi karpet cokelat plastik ini kalau malam agak dingin dan menyejukkan. Lain kalau siang. Panasnya sampai tembus ke dalam. Aku pun bergulung-gulung di situ, memainkan segala macam yang bisa digapai. Tadi sempat ada cicak, tapi aku sedang malas menangkapnya. Nanti kotor. Belum waktunya mandi.

"Meow!"

Percayalah, sudah lebih dari satu jam aku menggigiti bantal, yang kini sudah tercetak gambaran pulau Jawa di atasnya--bekas air liur, ewh. Bunyi detik pada jarum jam makin menyebalkan karena hanya aku satu-satunya, yang menikmati itu di sini. Subuh hampir datang dan Papa belum bangun juga.

Eh, tunggu. Suara erangannya terdengar dari jauh.

Aku pun melompat, turun dari sofa dan menghampirinya. Sungguh, wajah Papa sudah seperti karakter Zombie di film-film. Dia cuma butuh sedikit luka sobekan dan bercak darah di mana-mana biar bisa mirip seribu persen. Cara jalannya sudah menghayati, kok. Tambah ganti baju compang-camping pasti sudah pantas.

"Chuchu!"

Papa mengangkatku, yes! Dia juga mengajakku berbaring di sofa. Tatapannya lurus ke langit-langit rumah, entah memikirkan apa. Dia hanya membelaiku lembut dan sesekali mengacak bulu-bulu yang mulai rontok ini. Oh, no!

"Gue keterima jadi freelancer design di Majalah Popita. Seneng banget."

Gila, pelukan Papa terlalu erat sampai daguku kegencet. Enggak sakit, sih, tapi kaget. Tiba-tiba dia gemas sendiri seperti itu. Tanpa aba-aba pula. Syukurlah kalau memang yang datang kabar baik. Aku turut senang. Meow!

"Kalau kinerja gue bagus, bisa aja entar direkrut jadi pegawai tetap. Gue siap lahir batin buat resign dari DOG."

Papa enggak sedang menyebutkan spesies lain. Itu nama kantor yang sering disebut-sebut dalam telepon. Daily of Gorgeous. Kulihat sehari-hari Papa bermain dengan artikel ciwi-ciwi itu. Dunia yang sama sekali enggak kupikirkan bakal jadi mata pencariannya. Lagian, memang membingungkan. Kenapa Papa terjun ke hal-hal beginian, padahal skincare-an saja enggak pernah. Mami yang sering. Aku cuma tahu Papa pakai sabun cuci muka. Itu pun satu paket dengan badannya. Hemat sekali.

"Hari ini gue pulang malem lagi. Lo yang pinter ya di rumah. Entar pas pulang gue jajanin, deh. Oke?"

"Meow!"

Tapi, badan Papa masih hangat. Masak iya dia mau lembur lagi? Jadi editor saja sudah begadang habis-habisan, apalagi menambah job illustrator? Bisa-bisa dia butuh 30 jam dalam sehari.

Cuma, ya, kalau enggak gini, Royal Canin-ku bagaimana?

Ah, Chuchu! Enggak baik seperti itu.

Aku pun mengendus ketiak Papa dan bersembunyi di bawahnya. Untunglah, dia diam saja. Entah karena lemas, malas, atau saking imutnya aku saat melakukan itu. Enggak perlu dipungkiri.

Sudah berjam-jam, Papa beranjak. Ponselnya berbunyi. Semoga saja bukan dari tante galak yang mau memprotes kerjaannya. Aku enggak tahu apa-apa lagi. Dia menghilang di balik kamar, lalu tergesa-gesa ke kamar mandi sampai terpleset dan mengaduh kencang sekali. Kan, memang enggak seharusnya dia nekat masuk kerja hari ini. Apa izin sesusah itu? Kalau di kantor nanti para atasan itu melihat olengnya Papa saat berjalan dan masih membiarkannya menghadap laptop seharian, fixed hati mereka setransparan ubur-ubur Spongebob.

Eh, tapi, enggak ada lima menit, Papa sudah keluar--masih berbalut handuk. Rambutnya basah dan tangannya sibuk menggosok gigi.

Oh, ternyata dia lupa membawa baju ganti. Ck, padahal kan bisa memakainya di kamar.

Aku perlu tutorial mempersulit hidup ala Net agar terbiasa dengan tingkah laku Papa.

"Meow!"

Agenda membersihkan diri telah selesai. Papa mengenakan kemeja kerja yang terdapat logo kantor di dada kiri. Tampangnya sudah seperti reporter TV yang baru pertama kali siaran oncam. Ganteng. Dia membasahi kedua tangan dengan air wastafel, lalu sedikit membentuk rambutnya agar terlihat rapi.

Tab, buku, bolpoin, dompet, charger, botol minum, botol vitamin--atau mungkin yang lain, inhaler, tisu, name tag DOG, dan sepotong roti sisir masuk ke ransel abu-abu yang talinya sudah koyak. Papa lalu buru-buru memakai kaus kaki dan sepatu, tanpa mengikatnya dengan benar--asal diinjak saja beres. Aku pun mengikutinya sampai depan pintu.

Padahal, masih setengah tujuh pagi. Jakarta memang macet, tapi Papa bisa sarapan dulu atau bermain kejar kemoceng bersamaku. Lebih seru, kan?

"Meow!"

"Baik-baik di rumah, ya. Gue usahain cepet pulang. Dadah!"

"Meow!"

Papa membelai buluku, mencubit pipiku, lalu menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Hah, aku ditinggal sendiri. Mau mengeong berkali-kali pun, siapa yang mendengarnya? Papa enggak akan susah payah berbalik buat menengokku sekali lagi. Sekarang, yang tersisa cuma boneka separuh badan--bekas digigit tetangga sebelah--dan replika tulang yang teronggok di depan TV.

Kehampaan Chuchu part kesekian sudah dimulai.

_____

DAY 8
8 November 2022

Lucu banget, gak kuat 😭

1178 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro