Chuchu | pengunjung asing
Meow! Hari ini aku ada kencan. Sangat spesial pakai telor karena Manis-lah yang mengajak, nongkrong di atap Pak Cik Wawan--jarak dua rumah dari depan kontrakan sini. Untunglah Papa sudah mendandaniku sedari pagi, sebelum berangkat kerja. Entah ada angin dari mana, tiba-tiba dia memberiku kemeja kotak-kotak berwarna pink, lengkap dengan dasi kupu-kupu dan kalung bertuliskan 'Chuchu'. Pertanyaan yang sebenarnya, dari mana dia mendapatkan uang? Kalau punya pun, atas dasar apa mau membuang-buangnya untukku? Tapi, bodo amat, yang penting aku bisa tampak keren untuk bertemu dengan Manis sekarang.
Kami berjanjian sebelum matahari benar-benar terbenam, sekitar pukul empat sore saat azan di musala sebelah berbunyi. Aku menyelinap masuk sela-sela lubang dinding Papa yang belum selesai ditambal. Lumayan, walaupun enggak sebesar kemarin, selama tubuhku bisa menyusut dan mengembang dengan baik, aku dapat melewatinya. Plus, baju ini enggak kusut dan masih kelihatan catchy dan nyentrik. Aku memang pandai meliuk-liuk. Tolong dipuji.
Manis datang lebih dulu. Maklum, katanya, mulai beberapa waktu lalu dia menetap tinggal di situ. Salah satu anak dari keluarga mereka baru pulang kampung dan berbaik hati mengadopsinya. Sebuah kemajuan yang indah, bukan?
"Meow! Kamu udah lama menungguku?"
"Lumayan. Ada apa dengan pakaianmu?"
Aku refleks memandangi diri sendiri. Kenapa? Apa kurang pantas. Tiba-tiba kepercayaan diriku menciut seperti kerupuk putih yang kelamaan terendam air. Terlebih sampai detik ini Manis terus menatapku, mengendus dari leher hingga kaki, dan itu sangat membuatku geli.
"Hadiah baru dari Papa. Kamu nggak suka?"
"Suka, meow!"
"Terus, kenapa lihatnya sampai kayak gitu?"
Manis sontak bergeser dua langkah. Sepertinya aku salah berbicara.
"Baru kali ini aku melihat kucing memakai pakaian seperti itu."
"Oh," Kupikir apa, "aku juga, sebenarnya. Mami nggak pernah beliin macam-macam. Paling kalung aja, tapi itu dari warna A sampai Z ada semua. Kamu tau, hampir setiap minggu aku ganti model gituan. Tapi untuk baju, ini yang pertama untukku."
"Cocok."
"Sungguh?"
"Iya, meow!"
"Ma-makasih."
Saat pulang kerja nanti, aku harus menghadiahi Papa dengan seribu kecupan. Aa, aku pengin teriak, rasanya! Apalagi saat Manis tersenyum dan mengeong padaku, lengkap dengan colekan genit yang adiktif, kakiku langsung lemas, letoy, lunglai, dan mau tenggelam saja di rawa-rawa. Memang sesuai namanya, dia benar-benar manis.
Semula, aku cuma mau berterima kasih karena Papa memberiku pakaian yang tampan--sesuai denganku. Dulu, aku hanya pernah melihatnya di live streaming TikTok si Pororo yang berdagang dari pagi, siang, dan malam. Mami suka sekali menontonnya, aku ikut-ikutan saja. Tapi, sekarang, salah satu model yang dijual ada di badanku dan itu nyatanya membawa keberuntungan dalam hal cinta. Perfect!
Manis membagikan ikan tangkapannya padaku--hasil nyolong di warung Nasi Padang. Dia berjanji kalau enggak ada racun apa-apa di sana dan sedikit minta maaf karena rasanya agak pedas dan asam. Tadi yang tersisa cuma itu. Aku manut tanpa protes, toh sudah lupa dengan insiden kemarin dan menganggap pengalaman biasa. Dijamu saja aku sudah senang.
Tapi, saat mau mencabik dan memilih bumbu di ikan itu, aku salah fokus ke pemandangan bawah. Ada seorang lelaki ber-hoodie hitam yang tampak mondar-mandir di depan rumahku--rumah Papa. Dia terlihat celingak-celinguk dulu, baru berjalan masuk. Bola mataku rasanya hampir keluar karena terlalu lama melotot.
Manis refleks mengeong dan memukul kepalaku--bagian dekat telinga. "Kamu lihatin apa?"
"Itu siapa? Kamu kenal?"
"Enggak. Bukan orang sini."
"Meow! Kenapa dia berkeliaran ke rumah Papa, ya?"
"Temannya, mungkin? Udah beberapa kali dia ke situ."
"Hah? Bener?"
"Iya, Chu. Aku pernah melihatnya tempo hari."
Aneh. Perasaan, enggak pernah ada teman Papa yang berkunjung, selain Tante Ais--itu pun enggak bisa dibilang teman karena Papa berharap lebih. Aku juga enggak pernah mendapati siapa pun berbasa-basi di depan pintu, kalaupun kunjungannya hanya sebatas itu, tanpa masuk rumah. Jadi, misal memang sering, apa yang lelaki itu lakukan di sana?
Terlebih, dia meninggalkan kantong plastik hitam cukup besar yang dikaitkan ke paku dekat jendela. Kira-kira, apa isinya? Enggak lucu, kan, kalau tiba-tiba kediaman Bapak Netra masuk televisi karena ditemukan bom. Aku bisa mendadak terkenal.
"Manis, aku turun dulu, ya. Mau ngecek siapa dia dan mau apa kemari."
"Aku ikut."
Sebenarnya mau kularang, tapi lebih baik berduaan sajalah, lebih so sweet. Aku segera berlari melewati genteng-genteng tetangga yang nasibnya sama saja dengan Papa--namanya juga satu gang. Lelaki yang terus menunduk dan menutupi wajahnya itu sudah hilang, menyisakan bayangan punggungnya yang memasuki mobil sedan. Aku terlambat, meow!
Bentar, tapi itu kayak enggak asing. Di mana aku pernah melihatnya, ya?
"Dia sudah pergi, Chu."
"Iya, meow! Kamu pernah melihat wajahnya?"
"Enggak."
"Kalau nanti kamu melihatnya lagi, langsung kasih tau aku, ya."
"Kenapa? Kamu curiga?"
"Sedikit." Aku enggak bisa berbohong dan lebih baik begitu agar betina cantik satu ini mau menolong.
"Baiklah, sering-seringlah di tempat jemuran kalau gitu."
"Siap, makasih, meow!"
Aku mendekati Manis dan berniat menjilati pipinya. Hampir saja aku memeluk dan kami berguling-guling bersama, andai kerah kemejaku enggak ditarik ke belakang oleh seseorang. Sial! Siapa yang berani-beraninya merusak momen romantis couple goals perkucingan abad ini?
"Lo, kok, bisa di sini?"
Papa? Meow! Aku ketahuan. Nasib buruk masih saja menjadi stalker hidupku. Yah, Manis langsung terbirit-birit saat melihat lelaki yang beraroma asap knalpot bus ini. Argh, buyar sudah kencan senjaku. Dasar, Papa!
"Ayo, pulang!"
Papa menggendongku dengan satu tangan, sebab yang sebelah kiri dipakai menenteng tas lusuhnya. Aku bisa saja meloloskan diri dan mendramatisir keadaan dengan kabur, mengejar cinta sejati yang lari karena bertemu calon mertuanya, tapi enggak usah. Terima kasih. Bisa-bisa Papa bengek dan masuk rumah sakit lagi. Itu mimpi buruk, meow!
Saat sampai, Papa menurunkan lebih dulu. Dia mengambil bingkisan dari pengunjung tanpa nama tadi. Tapi, ekspresinya kayak biasa saja, seolah ini bukan kali pertama jadi dia enggak perlu kaget lagi. Hanya firasatku. Papa kemudian membuka pintu dan aku segera masuk, lalu dia kembali menguncinya sebelum rebahan di atas karpet. Sore-sore begini hawanya memang paling adem kalau bersantai di bawah.
"Dikirimin lagi. Siapa, sih? Orang kaya kalau gabut gini amat, ya?"
Papa ngedumel sendirian. Sudah biasa. Aku cuma menggoyang-goyangkan pinggang di sampingnya. Sesekali dia mengusap dan membelaiku, lalu beralih mengangkat dan meletakkan di dada. Mata kami pun bertemu. Aku langsung duduk cakep, memperhatikan wajah pucatnya yang berkeringat dan tampak lelah.
"Lo punya fans, Chu."
"Meow!"
"Mau lihat isinya?"
"Meow!"
Papa lebih antusias. Sebenarnya, aku memang baru tahu kalau ada yang diam-diam mengirimi barang seperti ini. Ah, lihat, isinya snack viral yang seliweran di iklan YouTube, mainan berupa tempelan dinding, dan topi mini menggemaskan berwarna pink, lagi. Apa pemberi ini merupakan maniak merah muda yang hidupnya terlalu soft dan feminim? Kenapa bukan kuning, oranye, atau hijau tua? Kan lebih gokil, untukku.
"Kira-kira siapa, ya? Kalau nggak dipakai, mubazir. Kalau dipakai, takutnya pamrih."
Aku turut berpikir. Ini aneh, tapi kenapa? Atau jangan-jangan, ada hubungannya dengan omongan Om Tori kemarin? Misterius.
_____
DAY 27
27 November 2022
Padahal target tamatnya bulan ini 🥲
Mundur deh
1125 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro