Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chuchu | pagelaran Chuchu

Argh, meow!

Aku enggak lagi insomnia, apalagi memikirkan jumlah kalori dalam semangkuk pakan tanpa merek, tapi Papa belum juga mengetuk pintu. Biasanya, kalau jangkrik yang nangkring di genteng sudah bernyanyi--padahal suaranya enggak bagus-bagus amat--dia sudah pulang. Maksimal terlambat tiga lagu, lah. Ini boro-boro. Sampai sepi lagi pun, aku masih sendirian. Hah, kasihan sekali perutku. Dari tadi melilit, tapi apa daya? Papa enggak punya mesin otomatis yang bisa menyelamatkanku dari kelaparan kapan saja.

Mainan dari Mami dan Tante Za enggak berbuat banyak. Aku bosan, mengitari ruang tengah dan menjelajah dapur. Enggak ada yang spesial, kecuali cicak buntung mengenaskan yang mengendap-endap di bawah rak kayu. Mungkin, dia takut ekornya kutangkap lagi, padahal mau apa yang dipegang kalau pendek begitu? Lagi pula, aku hanya pengin bermain dengannya, enggak berniat menganiaya sama sekali. Dia juga bukan seleraku.

Lagi, aku mondar-mandir di depan televisi. Manis hari ini enggak mampir ke atap. Syukurlah, berarti misi mencuri tongkol berjalan dengan baik. Good girl. Aku pun beranjak ke depan pintu, bergulung-gulung di atas keset, lalu rebahan menatap langit-langit. Mau sampai kapan seperti ini?

"Meow!"

Kantuk mulai menyerang, tapi aku enggak boleh tidur. Papa berhak disambut setelah seharian lelah bekerja. Kalau enggak ada yang memujinya, mengatakan dia telah melakukan hal yang terbaik hari ini, aku yang akan mengeong paling kencang. Aku yang akan menghiburnya sampai bisa tersenyum lepas. Aku pula yang akan menghabiskan waktu terakhirnya sebelum hari berganti dan harus berangkat lagi. Ya, walaupun setelah itu aku kembali menjadi satu-satunya makhluk imut di kontrakan ini.

Eh!

Bunyi kenop yang diputar akhirnya datang. Aku segera bangun dan menghadap depan, menunggu Papa. Dia sontak tersenyum tipis dan memanggil namaku lirih. Ah, rasanya lega sekali. Setelah melepas sepatu dan kaus kaki, dia lekas mengangkat dan membawaku ke sofa, seperti biasa.

Embusan napas Papa menabrak bulu-bulu telingaku. Auto merinding. Aku juga bisa mendengar degup jantungnya yang pelan dan konstan, tapi cukup berbeda dari sebelumnya. Apa efek terlalu banyak meminum kopi? Aku bisa mencium aroma kafein produk kemasan tujuh ribuan darinya. Atau karena dingin sampai menggigil? Tubuh Papa agak basah, antara keringat dan air hujan beradu jadi satu. Lumayan lengket, sih, tapi enggak apa-apa. Besok jadwalku mandi.

"Makanan lo habis ternyata."

Yes, Papa peka juga. Akhirnya bunyi pakan yang dituang dan membentur mangkuk terdengar lagi. Aku segera menyantapnya tanpa banyak request--walau sebenarnya pengin upgrade merek ke yang bagusan dikit. Papa cuma pernah ganti model ke harga yang dua ribu lebih mahal--masih dengan plastik transparan, entah produk dari mana.

"Sori, ya. Kalau entar lembur dadakan lagi, gue usahain buat pulang dulu, terus ngasih lo makan. Atau misal nggak sempet, gue minta tolong tetangga aja."

"Meow!"

"Kunci cadangan rumah ini gue simpen deket pot depan plang. Nggak masalah kalau ada yang tau. Paling entar ngomong ke Yaya aja. Dia, kan, suka kucing, terus pulangnya sekitar duhur. Masih polos. Nggak bakal ngapa-ngapain di sini. Toh, nggak ada barang penting juga."

Meow! Justru aku yang paling penting di sini, Papa. Bagaimana kalau bocah SD itu membawaku keluar, memamerkanku ke teman-temannya sebagai kucing jenis superior mantulity endolita--fakta mengatakan--atau bahkan sampai menculikku dan menjual ke pet shop Gang Dodol dengan harga jauh dari pasaran? Ewh, aku enggak mau turun pangkat secara murah. Sangat enggak estetik.

"Gue tidur dulu."

Eh? "Meow!"

Belum selesai bicara, Papa sudah ke kamar saja. Padahal, kan, aku masih mau gelendotan. Agenda gigit-menggigit juga belum dimulai. Enggak afdol, dong. Pesonaku perlu dipancarkan. Jadi, ya, bodo amat. Mending disusul. Aku pun ikut masuk, lalu berbaring di dadanya tanpa izin. Kupasang jurus kuda-kuda sampai pantatku menguasai perutnya.

"Meow!"

Keren, Papa enggak protes. Matanya sudah terpejam, tapi malah masih mau repot-repot mengelusku. Lama-kelamaan usapannya enggak terasa apa-apa. Eh, ternyata ketiduran. Pantas, lah. Aku pun ikut terlelap di sana sampai cahaya matahari menembus gorden dan membuatku mengernyit.

Aku telat bangun. Seekor Chuchu enggak kelayapan tengah malam hanya untuk mencari Whiskas adalah sebuah rekor yang patut dibanggakan. Sungguh. Aku baru beringsut-ingsut saat Papa menaruhku di dekat bantal, lalu membungkusku dengan selimut tipis yang benar-benar perlu dicuci.

Baunya itu, lho.

Hari ini Papa enggak kerja. Pasalnya, enggak ada adegan terpleset di kamar mandi gara-gara mengejar bus dekat rumah. Enggak ada adegan salah pilih baju atau terkena ujung setrika karena buru-buru mau dipakai. Enggak ada juga adegan tersedak Sari Roti dua lembar efek kecepatan mengunyah yang di luar nalar.

"Sini!"

Papa memakai kaus oblong dan celana pendek, menggendong dan membawaku ke kamar mandi yang sudah ada ember berisi air setengah panas--kepulan asapnya kelihatan. Oke, perasaanku mulai enggak enak. Jangan-jangan ....

"Jatah buat grooming udah gue pakai beli sesuatu, jadi lo mandi di rumah aja, ya. Jangan rewel."

Enggak! Meow!

"Chu!"

Dengan kekuatan seribu bayangan--pinjam sebentar dari Naruto, aku berusaha melepaskan diri. Berani sumpah, air bukan musuh terbesar di sepanjang peradaban kucing, apalagi jenis sepertiku yang terjadwal setiap empat minggu sekali. Tapi, masalahnya ada di Papa, orang yang bahkan enggak mengerti bedanya pakan kering dan basah. Dia mau memandikanku? No way!

"Chu!"

Aku berhasil turun dengan sedikit cakaran. Hanya sedikit, enggak perlu lebay. Tapi, sialnya, pintu tertutup rapat dan aku terkepung luapan air bak besar yang meluber ke mana-mana. Mau ke kiri atau kanan, aku tetap menginjak dinginnya keramik ini. Sekali lepas dan mau mojok ke dekat kloset pun, Papa lekas meraih dan mendekapku erat-erat.

"Meow! Meow!"

"Ini airnya hangat, kok. Nih, dirasain dulu makanya."

"Meow!"

Apanya yang dirasakan? Papa menekan jidatku sampai basah kuyup. Dia juga mencelupkan kedua tanganku sambil digosok tipis-tipis. Caranya membersihkan hidung dan telingaku saja ngawur sekali sampai berdenging, woy!

"Nah, kalau anteng gini, kan, ganteng."

Anteng, kepalamu! Ih, Papa!

Sabun merek apa pula ini? Benar-benar, baunya seperti campuran stroberi asam plus susu bantal klasik super-tawar. Busanya melimpah enggak karuan. Aku enggak bisa melihat. Papa belajar dari mana, hei? Mami, selamatkan, Chuhu! Aku akan mengutuk siapa pun yang membuat Papa berubah pikiran. Bersih diri di tangannya sangat tidak aman.

"Meow!"

Papa! Aku disiram tanpa aba-aba dari ujung kepala. Kakiku sedari tadi terendam di ember dan belum diangkat juga. Sudah tiga kali aku diguyur dan terus diusap hingga menciut. Bulu-buluku makin enggak berbentuk. Rasanya seperti diperas sampai tuntas, enggak ada tetesan air lagi di lantai.

"Selesai."

Hah, penderitaan ini seharusnya sudah berakhir. Tapi, nyatanya Papa hanya mengeringkanku sebentar--menggunakan handuk. Setelah itu, dia memasukkanku ke kandang dalam keadaan cungkring bin prihatin seperti ini.

"Lo di sini dulu, ya."

"Meow!"

Ini kesalahan besar. Papa membawaku ke tempat menjemur pakaian. Semestinya Tante Za mau menyedekahkan hair dryer miliknya untuk Papa. Satu saja, enggak masalah. Jadi, aku enggak perlu dipanggang sampai mengembang kayak begini. Hah, hidup bersama Papa Net membuatku berulang kali kena culture shock. Lama-lama aku bisa menua dini.

Butuh berapa jam untuk kering di bawah terik? Aku butuh jawaban secepat mungkin, sebelum berubah menjadi ikan asin. Meow!

_____

DAY 14
14 November 2022

Komuknya Chuchu, plis 🤣

1140 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro