Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chuchu | dua mantan

Kontrakan Papa memang cukup menyedihkan. Masuk ke gang kecil, agak kumuh, sempit, panas, bocor lagi. Kurang apa? Tapi, enggak masalah, kan yang penting bebas spesies lain yang mengancam nyawa, enggak kayak di sini. Argh, baru masuk di depan pintu saja, aku bisa mencium bau bulu-bulu musuh beterbangan, plus kotorannya yang enggak karuan itu--punyaku masih wangi, pede dulu. Kalau begini ceritanya, aku enggak mau keluar dari tas. Titik!

"Mau minum apa?"

"Air putih aja."

"Nggak usah sungkan."

"Lagi ngurangin konsumsi gula."

"Oke, deh."

Papa membawaku duduk di kursi kecil dekat kasur. Indekos Om Tori ini boleh juga. Ukurannya di atas standar, sampai muat kulkas mini, meja panjang, lemari, TV, dan space kosong yang lumayan luas--termasuk bed cover dan kamar mandi dalam pula tentunya. Nah, hal yang ku-notice paling membahayakan, mengkhawatirkan, dan membuat tubuhku bermekaran adalah adanya kandang, liter box, dan mainan anjing di ujung ruangan. Sungguh, pasti ada makhluk berbulu mengerikan di situ. Sial!

"Oiya, gue punya mini pomeranian, lho."

Terima kasih, tapi sungguh siapa yang mau berkenalan dengannya? Dilihat dari segi mana pun, aku sedang bersembunyi sampai tergencet baju ganti, mana mau berurusan dengan makhluk itu? Meow! Papa malah diam saja saat Om mengeluarkan segumpal bulu hidup miliknya dan membawa ke hadapanku. Benar-benar, woy, apa motivasi orang ini? Aku dan dia berbeda, kami enggak akan berjodoh. Enggak cocok.

"Guk!"

"Meow!"

Kan, betina ini terus menyalak. Padahal tubuhnya jauh lebih kecil dariku, tapi suaranya nyaring sekali. Mana dia terus meronta-ronta untuk dilepaskan lagi. Kenapa? Mau apa? Jangan mengira pejantan tangguh sepertiku bisa tergoda dengan anjing cebol, jabrik, mahal, dan berisik sepertimu. Meow!

"Guk!"

Om Tori melepaskan anak perempuannya itu hingga bisa berkeliaran bebas dan tentu saja, Papa juga ikut-ikutan. Hah, apa yang bisa kuharapkan dari para lelaki ini? Sekarang, anjing yang sepertinya lebih muda dariku itu mengepung habis-habisan, berusaha menjilat, menggigit, dan mengajak bermain. Sekali lagi, terima kasih karena sudah berminat dan menyadari daya tarik seekor Chuchu, tapi aku benar-benar enggak berselera.

Meow! Aku capek lari-larian di sini, hei!

"Jelly, jangan gitu dong ke temennya."

Teman? Dibanding itu, aku lebih suka dipanggil 'sejawat senasib', sama-sama hewan peliharaan berkocek tinggi yang harga pakan pokoknya bersaing dengan nasi Padang tiga bungkus. Satu lagi, perkara perawatan dan jaminan pasarnya yang bisa diadu, bolehlah. Selebihnya, jangan menyamakan modelan punuk unta dengan kutil kerbau seperti ini. Jauh!

Syukurlah Om Tori menemukan kewarasannya dan kembali memasukkan anjing bernama makanan itu ke kandang. Akhirnya aku bisa berguling-guling santai tanpa diinterupsi siapa-siapa. Sesekali Papa mengecek dan mengusap lembut. Dari telapak tangannya yang hangat dan enggak gemetaran, kayaknya dia sudah baik-baik saja.

Ah iya, aku belum meminta maaf perihal insiden turun tangga tadi pagi. Papa pasti melupakannya, kan? Dia bukan lelaki yang perhitungan. Semoga.

"Lo ada denger kabar Jan, nggak?"

Papa tersenyum, tapi kelihatannya enggak begitu ikhlas. Dia juga berdecak dan menggeleng tipis. Kasihan, jadi kangen. Aku baru tahu kalau Om di depanku ini juga pernah berhubungan dengan Mami sebelumnya. Ya, memang, Mami jarang membawa siapa pun bertemu denganku sih, tapi kalau benar statusnya juga 'mantan', kenapa aku enggak diungsikan ke sini saja? Secara Om Tori lebih berpengalaman dalam mengasuh hewan. Eh, enggak jadi, kan ada anjing itu.

Argh, nasib.

"Enggak, dan kayaknya lo yang lebih tau."

"Sama aja. Gue kemarin udah bilang, kan? Duit gue dibawa juga, yang ketipu bukan cuma lo dan Za."

"Paling nggak, lo cuma kehilangan duit, nggak sampai diselingkuhi juga, sama temen sendiri lagi."

"Harus berapa kali gue bilang, Net? Gue nggak tau kalau Jan udah sama lo. Kalau iya, ngapain juga gue mau balikan? Cari musuh doang."

"Ya, ya, terserahlah."

Baru kali ini aku melihat kerutan empat lapis di kening Papa. Dia bahkan menghindari tatapan Om Tori, yang jelas-jelas tampak serius dan yakin saat melihatnya. Aku enggak tahu apa-apa dan enggak paham juga. Jadi, biarkan saja. Hal yang kupikirkan saat ini hanya:

Aku lapar.

"Meow!"

Papa melupakan snack dan makan malamku. Sejak di kantor, aku hanya mengunyah beberapa keping bola-bola ikan, itu pun enggak ada rasanya--cuma beraroma dan sedikit asin. Kayaknya, tante-tante yang memberikan itu sengaja membeli produk belasan ribu dan membawanya ke mana-mana, untuk dibagikan ke kucing jalanan. Menebak saja sih, habisnya selera Papa Net jauh lebih bermodal dari itu. Aku enggak kenyang sama sekali.

"Meow!"

Harus les kepekaan di mana lagi biar Papa cepat mengerti maksudku? Aku sudah lelah menggigiti ibu jarinya yang bau kaus kaki ini. Dia masih saja bersandar pada tepian kasur, sambil sibuk memainkan ponsel yang isinya cuma scroll TikTok cewek joget. Bisa-bisa sari-sari kuman di kakinya kusedot sampai ke akar-akar.

"Kucing lo kayaknya laper."

Oh, Tuhan, akhirnya ada yang memahami sinyal-sinyal lemah ini. Aku lekas berdiri tegap dan menggerak-gerakkan ekor, menatap Papa bulat-bulat--menjaga kadar keimutan agar mendapat Royal Canin di akhir pekan nanti.

"Lo ada makanan kucing, nggak? Kayaknya punya Chuchu ketinggalan di kantor."

Sudah kuduga. Namanya juga Papa. Netra bin Pikun bin Ceroboh. Sebenarnya aku enggak pilih-pilih, asal masih bisa dicerna dan enggak ada racunnya--masih trauma kejadian tikus got, tapi bukan berarti mau ditawari pakan anjing juga. Meow!

Om Tori menuangkan makanan basah ke piring bersih, lalu menyodorkannya pada Papa. Aku masih maju-mundur. Baunya enak sih, tapi aku takut keracunan. Kan enggak lucu kalau besok tiba-tiba aku bisa menggonggong seperti si Jelly itu.

Aku takut.

"Ayo, makan, Chu. Ini dulu. Entar kalau udah pulang, gue kasih lebih, deh."

"Meow!"

"Iya, ayo."

Benar, ya? Akan kupegang janji Papa. Meski bau, tekstur, dan rasanya agak aneh, aku tetap mencoba memakannya. Not bad. Malah lama-lama rasanya seperti olahan rumah yang Manis bagi beberapa waktu lalu. Kayaknya, duit Om Tori lumayan bersisa--enggak terkepung utang--jadi bisa membeli merek ini.

Papa Net can't related.

"Nih!" Om Tori memberikan selimut tebal dan bantal. "Tapi lo bisa tidur di atas kalau mau."

"Di sini aja, makasih."

"Oke."

Tadi di jalan, Papa memang sudah mengatakan untuk jauh-jauh dari Om. Entah apa alasannya sampai harus menjaga jarak seperti itu. Tapi, mau masuk dan tidur di sini saja sudah termasuk keajaiban. Kan, gengsi Papa agak di atas rata-rata--padahal modalnya enggak seberapa dan mau apa juga yang dibanggakan? Ternyata dia cepat tertidur setelah berbaring sebentar, meninggalkanku yang masih susah-payah menghabiskan bubur ketan hitam--mirip sih--yang makin mencair ini.

Om Tori masih terjaga. Diam-diam dia turun dari kasur dan menghampiriku. Oke, ini mungkin sinyal yang buruk. Tapi, setelahnya dia terus membelai sampai aku keenakan sendiri. Jadi, prasangka tadi sedikit kuralat. Ah, dia memang pandai memperlakukan makhluk sepertiku dengan baik. Beruntung sekali si Okky Jelly Drink. Senyumnya saja makin merekah saat aku mengusap-usapkan wajah ke lengannya.

"Meow!"

"Temen gue pasti langsung demen sama lo."

_____

DAY 24
24 November 2022

🐱: Kayaknya ada janda tuh

1113 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro