Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima

Sudah 5 menit Aya mematung di depan pintu kamar yang digunakan menginap orang tuanya. Tidak terhitung pula berapa kali ia menarik napas dan mengembuskannya kuat demi menguatkan tekad. Untunglah tidak ada yang melintas di lorong tempat Aya berdiri, sebab mereka pasti bingung mengapa ia hanya diam di situ dan tidak bergegas masuk menemui orang tuanya. Padahal isi kepalanya sedang ribut memikirkan rangkaian kata-kata yang tepat untuk bicara dengan Papa dan Mama.

Setelah persiapannya dirasa cukup, Aya akhirnya mendaratkan punggung jarinya untuk mengetuk. Tidak perlu waktu lama sampai muncul sahutan Mama dari dalam bahwa ia bisa masuk.

"Ma, Pa." Aya memanggil sambil menatap kedua orang tuanya yang baru selesai bersiap bergantian. Rencana awal, jika kemarin sudah ada petunjuk soal alamat tempat tinggal orang tua kandung Aya, pagi ini mereka akan bersilaturahmi ke sana. Namun, lagi-lagi manusia tidak bisa lepas dari skenario Allah. Walau demikian, Aya masih belum berniat menyerah.

"Aya sudah memikirkan ini semalaman. Aya ... mau kerja di Malang supaya bisa tinggal lebih lama di sini buat cari petunjuk soal orang tua kandung Aya."

Penuturan itu sontak membuat mata kedua orang tuanya melebar.

"Kenapa sampai segitunya, Ya? Kalau buat urusan menikah, kan bisa pakai wali hakim." Lagi-lagi papanya menyinggung hal yang sama seperti Mama tadi malam. "Atau paling nggak, tinggal aja di rumah Om Satya sementara. Nggak perlu sampai cari kerja."

"Nggak, Pa," sahut Aya sambil menggeleng cepat. "Selama ini Aya udah banyak ngerepotin orang lain. Lagi pula, Aya juga perlu kesibukan lain selama tinggal di sini nanti. Nggak enak kalau cuma muter-muter tanpa urusan."

Papa dan Mama saling berpandangan. Tentu saja mereka berat melepas putri satu-satunya sendirian di Malang. Namun, bukan Aya namanya jika tidak keras kepala.

"Ayolah, Pa, Ma. Aya juga berhak tahu siapa dan di mana orang tua kandung Aya. Padahal, Aya sudah susah payah menerima dan berdamai dengan kenyataan kalau selama ini ...," Aya menjeda ucapan karena tiba-tiba dadanya terasa sesak. Suaranya pun bergetar.

"Selama ini Aya ternyata nggak benar-benar tahu siapa diri Aya sebenarnya."

Akhirnya ia berhasil menyelesaikan kalimat berat itu dengan pilihan kata yang paling mungkin tidak menyakiti hati Papa dan Mama. Ia tidak ingin seolah menyindir keduanya yang telah menyembunyikan fakta besar tersebut selama bertahun-tahun.

Debas terdengar setelah menit berlalu dalam keheningan. Papa yang lebih dulu membuka suara setelah Mama menggenggam lembut tangannya.

"Ya sudah kalau memang itu keputusan kamu. Papa dan Mama nggak berhak melarang kamu pergi mencari orang tua kandung kamu," ucapnya meski dengan berat hati.

Senyum terbit di bibir Aya. Ia langsung memeluk papa dan mamanya bergantian. "Makasih, Pa, Ma!"

"Iya ... tapi Bisma gimana? Sudah kamu kasih tahu?"

Ekspresi Aya langsung berubah. Untunglah ia masih belum melepas pelukan dengan Mama sehingga tidak ada yang melihat kepanikan di wajahnya.

"Ehm ... Bisma pasti ngerti kok, Ma," jawab Aya akhirnya sambil mendorong bahu sang mama lembut. Raut senang berhasil dipertahankannya kembali.

Tepat pada saat itu, pintu kamar diketuk dari luar, diikuti suara Tante Weny yang mengajak ketiganya sarapan. Diam-diam Aya mengembuskan napas lega. Ia tidak tahu sampai berapa lama bisa mengatur ekspresi wajah jika misal Papa dan Mama terus memberondong pertanyaan tentang rencana nekatnya.

Meski sudah mendapat izin dari Papa dan Mama, bukan berarti masalah Aya selesai begitu saja. Selain petunjuk soal orang tua kandungnya yang masih gelap dan cara memberitahu Bisma tentang keputusannya agar tidak marah, ia juga harus putar otak untuk mendapatkan kerja. Tentu, Aya berencana melamar kerja di kafe Angkata.

Masalahnya adalah, bagaimana ia bisa memasukkan lamaran kalau berkas-berkas 'standar' persyaratannya saja tidak ada satu pun yang dibawa?!

"Ya ..."

"Aya!"

"E-eh, iya! Lamarannya! Itu ...."

Suara Aya berangsur menghilang, layaknya audio yang dikecilkan volumenya hingga ke posisi nol. Matanya mengedar ke sekeliling bingung. Gara-gara melamun, ia tidak mendengarkan obrolan yang terjadi dan tidak sadar jika namanya dipanggil beberapa kali. Tak pelak, tingkah Aya yang seperti orang linglung itu memicu gelak tawa di meja makan.

"Aduuh ... anak gadis! Mikirin apa sih sampai segitunya?" goda Tante Weny sambil tersenyum usil.

Aya yakin, wajahnya sekarang pasti sudah memerah malu. "Nggak mikirin apa-ap kok, Tante," jawabnya berbohong. "Oh ya, tadi ada apa ya, kok tiba-tiba manggil Aya?"

"Huuu ... katanya nggak mikirin apa-apa, tapi kok nggak tahu kenapa dipanggil?" Tante Weny menaik-turunkan alis dengan muka jahil, tampak masih belum puas menggodanya. "Gini, lho, tadi Pak Arman sudah cerita kalau Aya mau kerja sementara di sini."

Aya langsung melirik papanya sekilas. Ia sungguh tidak tahu, seberapa banyak yang sudah diceritakan orang tuanya kepada pasangan suami-istri yang duduk di seberangnya itu. Apakah mereka juga sudah bilang kalau ia sama sekali tidak membawa persiapan untuk melamar kerja?

"Pak Arman bilang, sebelumnya kamu bantu-bantu jadi admin di toko mebel, ya? Nah, kalau sekarang, kira-kira kamu sudah ada gambaran nggak mau kerja di mana?" Om Satya bertanya usai meletakkan kembali sendok ke piring.

Tentu saja Aya sebenarnya sudah punya target ke mana akan memasukkan lamaran pekerjaan. Hanya saja, ia tidak yakin bisa memenuhi semua persyaratan—terutama yang berkaitan dengan berkas administrasi. Ia pun menjawab ragu, "Mmm ... itu ... sebenarnya ...."

Belum sempat Aya selesai merangkai kalimat, suara pelannya dikalahkan oleh nada bersemangat Tante Weny, "Eh, Mas, bukannya kita punya pelanggan yang dulu borong mebel buat buka usaha kafe? Kapan hari kayaknya aku sempat lihat dia bikin status IG lagi cari karyawan."

"Oh ya? Siapa?" Om Satya bertanya di sela kunyahan sarapannya yang belum tuntas, sambil melirik sang istri yang duduk di sebelah kiri.

Tante Weny mencolek gemas lengannya. "Itu loh ... Bagas atau siapa itu deh namanya? Anak dari pelanggan lama mebel kita juga."

Om Satya lebih dulu menelan makanannya sebelum mengangguk-angguk. "Ooh ... si Bagas! Iya, iya, aku ingat!"

"Coba deh, masukin si Aya. Siapa tahu kalau Mas yang kasih rekomendasi, bisa langsung diterima nggak pakai ribet."

"Memang kafenya di daerah mana, Om, Te?" tanya Aya penasaran. Sesungguhnya apa yang disampaikan oleh Tante Weny adalah tawaran yang menarik. Namun, ia masih merasa ada ganjalan jika misal tempat kerjanya itu terlalu jauh dari kafe Angkata yang menjadi lokasi misi pencarian jejaknya.

"Kalau nggak salah ... di sekitaran Tidar situ. Gimana? Kalau kamu mau, habis ini Om telepon owner-nya."

Tanpa pikir panjang, Aya langsung mengangguk antusias. Ia ingat, di sepanjang Jalan Tidar memang ada beberapa kafe yang terlihat. Tidak masalah jika tidak bekerja di Angkata, ia masih bisa mampir ke tempat itu di sela waktu istirahat atau sepulang kerjanya nanti. Lagi pula, ia tidak enak hati jika menolak niat baik dari Om Satya dan Tante Weny.

***

Tidak butuh lama sampai Aya mendapat konfirmasi jawaban 'ya' dari kenalan Om Satya tadi. Ia pun segera bersiap memakai blouse terbaik yang dibawanya dan tak lupa memoleskan make up dengan gaya natural look. Pukul 9 kurang, ia dan rombongan yang terdiri dari Papa, Mama, Om Satya, dan Tante Weny pun bertolak ke kafe yang dimaksud.

"Masih jauh, Om?"

"Bentar lagi sampai, kok." Om Satya menjawab pertanyaan Aya dari balik kemudi.

Aya kembali melemparkan pandangan ke jendela dengan gugup. Ini adalah kali pertama ia akan bekerja di bawah orang lain, karena semenjak lulus kuliah ia sudah duduk manis di posisi admin toko mebel sang papa. Di samping itu, ia juga gelisah karena sebentar lagi mobil yang mereka tumpangi akan melintas di Jalan Tidar No 47.

Apa kafe punya kenalan Om Satya setelahnya kafe Angkata, ya?

Rasa penasaran Aya terjawab saat Om Satya memelankan laju mobil dan membelokkan kemudi. Namun, seketika matanya membulat. Ia tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Begitu pun dengan kedua orang tuanya.

Aya tak mampu berkata-kata. "O-om, ini ...."

"Oh, Om belum bilang, ya? Kalau kafe punya kenalan Om itu konsepnya kafe perpustakaan?" sahut Om Satya yang tidak paham duduk permasalahannya. "Semoga Aya nggak alergi sama buku, ya."

Aya tidak menghiraukan gurauan Om Satya itu dan justru buru-buru menepuk sandaran kursi pengemudi, minta diturunkan. Padahal mobil baru saja menginjakkan roda-rodanya di halaman kafe.

"Wah, Aya kelihatannya semangat sekali, ya, mau kerja," komentar Tante Weny di belakang punggung Aya yang sudah memelesat keluar mobil. Mama yang mendengar itu hanya tersenyum kecil. Tentu beliau paham betul apa yang membuat putrinya sedemikian antusias.

Setengah berlari, Aya menuju teras kafe. Sesosok cowok yang sedang menyapu lantai tampak membelakanginya. Langkah Aya melambat. Ia merasa de javu dengan situasi ini. Namunn bedanya, kali ini cowok itu menoleh lebih dulu. Aya bisa melihat tulisan 'Awan' berderet pada papan nama yang tersemat di bagian dada kanan kemejanya.

"Selamat datang di Angkata. Ada yang bisa dibantu? Tapi mohon maaf untuk saat ini kafe kami belum beroperasi."

Aya melipat kedua tangan di depan dada sambil menatap cowok itu dengan dagu terangkat. "Oh, kafe ini nggak punya karyawan yang lebih ramah ya dari kamu?" ketusnya, sengaja menekankan kata 'ramah'.

Awan tampak bingung dengan reaksi Aya. Kerutan-kerutan muncul di dahinya. Setelah memperhatikan sosok Aya selama beberapa saat, barulah ia kembali buka suara, "Oh, rupanya kamu si Mbak-mbak yang suka pegang-pegang sembarangan itu. Mau apa lagi?" Wajah ramahnya kini sudah seratus persen hilang, berganti dengan ekspresi datar.

"Enak aja! Sembarangan!" Tentu saja Aya tidak terima dibilang sebagai 'Mbak-mbak yang suka pegang-pegang sembarangan'. Emang dia cewek apaan!?

"Kamu itu ya, kalo ngomong dipikir dulu, kek. Jangan asal njeplak. Kena karma baru tahu rasa deh," ujar Aya sok bijak. Di saat seperti ini, ia merasa posisinya ada di atas Awan. Meski nanti sama-sama menjadi karyawan, setidaknya ia punya label sebagai 'kenalan dari teman si Bos', sehingga statusnya setingkat lebih tinggi dibandingkan cowok itu.

Awan menarik napas dalam. Tampaknya ia sedang berusaha mengatur kesabaran. Atau justru sebaliknya, ia sedang menyiapkan serangan pamungkas untuk memukul Aya balik?

Tak mau kalah, Aya pun merancang skema pertahanan di kepala. Perang masih berlanjut lewat adu tatap dengan sorot penuh permusuhan. Mereka layaknya dua kubu berseberangan yang sedang menanti momentum tepat untuk kembali melemparkan serangan.

"Lho, pada di sini? Udah kenalan?"

Aya memutar badan dan mendapati Om Satyo serta yang lain sudah menyusul di belakang. Namun, senyum di bibir pria berusia hampir empat puluhan tersebut tampak jelas sekali bukan untuknya.

Mendadak firasat Aya jadi tidak enak.

"Om." Aya tak berani menoleh untuk melihat lebih jelas. Hanya ekor matanya saja yang melirik tangan Awan saat terulur untuk bersalaman dengan Om Satyo. Secara otomatis batinnya merapalkan doa-doa.

Kumohon jangan bilang ....

"Ini Cahaya, yang kemarin Om bilang mau kerja di sini. Nah, Aya, ini kenalan Om sekaligus pemilik tempat makan ini. Awan Bagaskara."

Seperti kayu yang tersambar petir, Aya hanya mematung di tempat. Ia bisa membayangkan di belakang punggungnya, senyum kemenangan terlukis sempurna di wajah devil sosok yang ternyata adalah bosnya.

Entah bagaimana ekspresi Aya sekarang. Dari segala kemungkinan di muka bumi ini, kenapa harus Awan—cowok nyebelin itu—yang memiliki nama belakang Bagaskara?

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro