Enam
"APA?!!"
Terpaksa Aya harus cepat-cepat menjauhkan ponsel dan menutup telinga untuk melindungi saraf pendengarannya dari suara Bisma. Ia tidak mengerti, apa yang begitu salah dari penuturannya hingga sang kekasih menjerit begitu keras.
"Ay! Kamu masih di sana, kan? Denger suaraku?" Meski sudah diberi jarak pun, kemarahan Bisma seolah bisa merambat melalui udara. Mau tidak mau, Aya jadi ngeri dibuatnya.
"Ay!" Sekali lagi Bisma memanggil dengan suara tegas. Perlahan, Aya pun kembali mendekatkan ponsel ke samping wajah.
"I-iya, Bi?" panggilnya takut-takut. Ujung tangan kirinya masih bersiaga di dekat ponsel. Siapa tahu Bisma tiba-tiba akan berteriak lagi seperti tadi.
"Kamu ..." Kalimat Bisma terputus oleh erangan frustrasi. Aya bisa membayangkan sekarang cowok berkacamata itu pasti sedang mengacak-acak rambut sambil berjalan mondar-mandir di kamarnya, kesal.
"Kamu kok nggak diskusi dulu sama aku sebelum ambil keputusan gede gini?"
Aya menunduk sambil menggigit bibir bawah. Sebenarnya mengapa Bisma semarah itu saat mendengar dirinya akan tinggal sementara di Malang sambil bekerja untuk mencari orang tua kandungnya? Bukankah Bisma sendiri yang lebih dulu tidak mengajaknya berunding soal rencana melanjutkan S2 ke luar negeri? Namun, Aya tahu, mendebat Bisma saat ini hanya akan membuat pertengkaran kian membesar.
"Ay, sebelumnya kan aku udah bilang. Baik aku maupun keluargaku nggak ada yang keberatan sama latar belakang kamu. Untuk menikah, kita juga bisa pakai wali hakim kalau memang orang tua kandungmu nggak ketemu. Kenapa mesti sejauh ini, sih?"
Aya menarik napas dalam. Lagi-lagi soal pernikahan dan wali hakim. Tidak adakah yang mengerti kalau alasan Aya ngotot ingin mencari orang tua kandungnya adalah murni karena ingin tahu?
"Ya nggak bisa gitu juga, Bi!" tukas cewek 24 tahun itu dengan nada bergetar. "Gimana pun, aku tetep pengen tahu siapa orang tua kandung aku, yang ngelahirin aku, yang bawa aku ke dunia ini. Meski kemudian mereka nggak mengharapkan kehadiranku di sisinya ...."
Suara Aya memelan di ujung kalimat sebelum benar-benar hilang. Ada perasaan tercambuk saat mengucapkan kemungkinan fakta itu hingga membuat pandangannya terselimuti air mata.
Di seberang sana, ganti Bisma yang menghela napas panjang. "Minggu depan aku udah pengajuan seleksi beasiswa. Kalau lolos, bulan depan aku langsung berangkat. Studi ini penting banget buat karierku ke depannya, Ay."
Aya kembali menggigit bibir bawah, gusar. Diskusi tentang waktu ini alot, sebab diburu agenda nikah yang rencananya dilangsungkan sebelum Bisma ke luar negeri. Namun, bukan Aya namanya jika begitu saja menyerah terhadap tujuan awal.
"Iya, aku tau, Bi. Tapi soal orang tua kandung ini juga penting buat aku. Kamu nggak pernah tahu gimana rasanya orang yang paling dekat selama hidup kamu dalam sekejap tiba-tiba jadi orang asing."
Bisma mengerang frustrasi. "Ya udah, lah. Terserah kamu!" Lantas lebih dulu menutup telepon, mengakhiri perdebatan mereka.
Aya menarik napas panjang seraya menangkupkan ponsel dan kedua tangan ke wajah. Ia dan Bisma tergolong pasangan yang jarang bertengkar. Hubungan asmara keduanya mulus seperti jalan bebas hambatan. Itu tak lain karena sikap Bisma yang dewasa sehingga bisa mengimbangi karakternya yang kekanakan. Namun, kalau sudah Bisma yang ngambek, rasanya seperti terjebak di tengah kemacetan jalan tol. Kebayang, kan?
Pusing memikirkan pertengkaran dengan Bisma, Aya pun bangkit dan berjalan menuju jendela di sudut kamar indekosnya. Ia memang baru pindah sore itu, langsung setelah diterima bekerja.
Mengejutkan memang. Meski kesan pertamanya di mata si bos tentu tidak baik, ia tetap diterima bekerja. Entah karena the power of orang dalam atau kafe memang sedang dalam kondisi benar-benar butuh tenaga tambahan secepatnya. Apa pun itu, Aya bersyukur Awan tidak langsung mendepaknya begitu Om Satya memperkenalkan mereka. Namun, rasanya hal itu juga tidak mungkin, sebab di depan Om, Tante, dan kedua orang tuanya, Awan tiba-tiba menjelma menjadi sosok cowok yang sangat sopan. Berbeda 180 derajat dengan saat mereka bertemu hanya berdua dulu.
Percaya tidak percaya, indekos yang ditempati Aya sekarang pun adalah hasil rekomendasi dari Awan. Letaknya sangat strategis, hanya berjarak kurang lebih 50 meter di belakang kafe Angkata. Aya tidak mungkin terus-terusan menumpang di rumah Om Satya dan Tante Weny selama di Malang. Oleh sebab itu, ia meminta izin pada orang tuanya untuk tinggal sendiri.
Setelah melakukan survei kilat dan dirasa cocok, Aya beserta rombongannya pun kembali ke rumah Om Satya untuk mengambil barang-barang sekaligus berpamitan. Rencananya, orang tua Aya akan langsung bertolak ke Semarang usai menemani pindahan. Namun, berhubung keputusan Aya untuk tinggal di Malang dadakan tak ubahnya tahu bulat yang baru digoreng saat ada pembeli, Mama pun memaksanya untuk pergi berbelanja membeli perlengkapan di indekos serta pakaian.
"Kamu cuma beli itu aja? Nggak kurang?" Sebelah alis Mama terangkat saat melihat Aya hanya menyodorkan 2 set gamis ke meja kasir.
"Nggak kok, Ma. Baju-baju Aya di lemari kan masih banyak," jawab Aya enteng. Ia benar-benar lupa kalau setelahnya tidak ikut pulang bersama orang tuanya ke Semarang.
Mama terdiam sebentar. "Ya udah, kalau gitu besok Insyaallah Mama paketin baju-baju kamu ke kosan, ya."
Barulah Aya teringat soal keputusannya untuk tinggal di Malang. Namun, ia terlalu malu untuk meminta dibelikan baju lagi. Apalagi belanjaan di keranjang mereka sudah dibayar.
Ingatan tentang kebersamaan terakhirnya hari itu bersama Papa dan Mama membuat Aya sedih. Selama ini tidak sekali pun ia pernah jauh dari orang tuanya. Belum juga lewat sehari, Aya sudah merasa kangen.
Bola mata Aya bergulir ke arah jam dinding yang juga baru dibelikan mamanya tadi. Sudah pukul 8 malam, seharusnya orang tuanya yang tadi pulang dari sini selepas asar sudah sampai rumah sekarang. Ia pun kembali mengambil ponselnya di atas meja dan segera melakukan panggilan telepon ke nomor sang mama.
"Halo, Ma. Assalaamualaikum. Udah sampai belum?" Rentetan kalimat itu langsung meluncur begitu panggilannya terhubung.
"Waalaikumsalam. Mama sama Papa baruu aja sampai," jawab Mama.
Aya kembali melirik jam dinding untuk memastikan. "Lho, kok cepet? Papa pasti ngebut ya tadi?" selidiknya.
"Ah, perasaan sama aja kok kayak pas berangkat kemarin." Kerisik terdengar di belakang suara Mama. "Kamu lagi apa, Ya? Mama lagi mau pilah-pilah bajumu nih, buat dipaketin besok."
"Ma, Mama kan baru dari perjalanan jauh, pasti capek. Pilah bajunya besok aja, sekarang istirahat dulu." Aya sedikit mengomel. Namun, tawa kecil mamanya justru menyambut.
"Nggak apa-apa. Orang segini aja, kok! Kasihan kamu kalau nggak segera dipaketin, nanti mau pakai baju ganti apa?"
Mendengar ucapan mamanya, tiba-tiba saja Aya merasa ada lubang besar dalam dada. Kedua mata cewek itu mendadak terasa panas. Ia membekap hidung dan mulut, sekuat tenaga menahan isak yang bisa saja lolos sewaktu-waktu.
"Ya-ya udah kalau gitu. Aya mau tidur, besok kerja." Aya yang gugup berkata cepat. "Mama juga buruan istirahat. Udah malam."
Tepat setelah Mama membalas salam dan telepon terputus, air mata Aya pecah tak terbendung.
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro