Empat
Sayangnya, rencana hanya tinggal rencana. Meski sudah bilang akan pergi sendiri, tetapi mama dan papa Aya tidak mengizinkannya begitu saja. Padahal sehari sebelumnya, Aya sudah susah-susah melobi Bisma.
"Aduh, Ma, Pa, Aya kan udah bilang bisa pergi sendiri naik kereta." Cewek itu masih ngedumel ketika memasukkan barang-barang ke mobil keluarga.
"Dan berakhir kamu salah peron? Atau kebablasan waktu turun stasiun?" Sayang protesnya justru berbuah ledekan dari Papa.
Sambil mendengkus, Aya mengempaskan diri di kursi penumpang.
"Sudah ... nggak usah cemberut gitu wajahnya! Papa dan Mama kan juga udah lama nggak ke Malang, sekalian mau berkunjung ke rumah kawan lama papamu." Mama berusaha meredakan kekesalan Aya dengan meraih tangannya dari posisi duduk beliau di samping pengemudi. Akhirnya, ekspresi keras di wajah Aya pun mencair. Ia mendesah panjang.
"Aya cuma nggak mau ngerepotin Papa dan Mama lagi setelah semua ini ...."
Kalimat yang diucapkan Aya dengan pelan itu tenggelam oleh suara deru mesin yang baru dinyalakan. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman keluarga mereka. Aya memilih melempar pandangan ke samping, seolah sedang mengawasi jalanan padahal pikirannya sedang berkelana. Ia bahkan tidak mendengar apa yang sedang kedua orang tuanya asyik bicarakan.
"Ya!"
"Aya!"
"E-eh, eh, iya, Pa? Ma?" Panggilan yang tiba-tiba masuk ke pendengarannya itu sontak membuat Aya gelagapan. Ia langsung menarik wajah dari jendela dan beralih menatap ke depan.
Tawa cekikikan Papa dan Mama justru menyambut kebingungannya.
"Kamu mau diturunkan di sini ta? Kok dari tadi lihatin jendela terus."
Aya mengerjap, tidak mengerti apa yang dibicarakan papanya, sampai ia memeriksa ke luar jendela dan sadar bahwa mereka baru saja melewati kantor PTPN IX, tempat Bisma bekerja.
"Ciee ... yang mau jadi manten! Ditinggal pergi sebentar aja langsung galau." Mama ikut-ikutan meledek. "Pasti gara-gara tadi Bisma nggak nganterin, ya?"
Aya melongo sebentar, lalu, "Ih, Mama sama Papa apaan, sih!" protesnya dengan pipi merona.
"Bisma kan kudu berangkat kerja pagi-pagi," sambungnya menerangkan, lalu teringat sesuatu, "eh, tadi Mama bilang apa? Mau jadi manten? Memangnya Papa sama Mama sudah kasih restu?"
Mama dan Papa saling bertukar pandang sebentar sebelum kompak tertawa renyah. "Kalau nggak setuju, udah dari dulu-dulu kami larang kamu sama Bisma, Ya."
"Eh, beneran?" Demi mendengar ucapan Papa, wajah Aya sontak berseri-seri. Itu berarti lamaran Bisma tempo hari tidak ditolak. Masalah yang tersisa sekarang hanyalah soal orang tua kandungnya. Aya berharap bisa segera bertemu dan mendapat restu juga dari mereka.
Setelah menempuh perjalanan 5 jam lebih, akhirnya mobil yang mereka tumpangi keluar dari jalan tol dan memasuki kota Malang. Meski terkenal dengan hawa dinginnya karena berada di dataran tinggi dan diapit oleh gunung, tetap saja udara Malang terasa terik dan cukup menyengat di siang hari. Efek dari pembukaan lahan, pembangunan, serta perpaduan dari asap pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor dan industri.
"Malang udah beda banget ya, Pa, dibandingkan saat kita tinggali dulu," komentar Mama sambil mengedarkan pandangan. Takjub dengan padatnya bangunan di sisi kanan-kiri jalan dan kendaraan yang berlalu lalang.
"Iya lah, Ma. Wong hampir seumuran Aya terakhir kita ke sini." Papa menanggapi dengan tawa kecil.
"Pa, Ma, bisa nggak habis ini kita langsung ke panti asuhan, baru ke tempat Om Satya?" Aya yang sejak tadi diam tiba-tiba bersuara. Papa dan mamanya kompak melirik lewat pantulan kaca tengah mobil.
"Bisa-bisa aja, sih. Tapi apa kamu nggak capek?"
Aya menggeleng, menjawab pertanyaan papanya. Bagi Aya, menemukan keberadaan orang tua kandungnya adalah prioritas utama saat ini.
"Lewat sebentar ... aja. Aya cuma pengen tahu, Pa," desak Aya lagi.
Rencana awal, mereka akan ke tempat Om Satya, teman papa Aya, terlebih dahulu untuk beristirahat sejenak sebelum meluncur ke panti asuhan sore harinya. Namun, Aya sudah tidak sabar. Entah kenapa ia merasa harus cepat-cepat bertemu orang tua kandungnya. Barangkali karena ajakan menikah Bisma yang sudah di depan mata.
"Yowis, Pa. Lewat sebentar aja, biar nanti kalau mau ke sana nggak kesasar," saran Mama.
Papa pun segera mengubah direksi pada aplikasi Google Maps di ponselnya. Panti Asuhan Baiturrahim, tempat Aya diadopsi dulu, memang tidak terdaftar di peta, tetapi kedua orang tua Aya tentu masih mengingat jelas alamatnya. Jika dilihat dari peta, jarak ke tempat itu tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu sekitar 15 menit dari posisi mereka saat ini.
Semakin mendekati tempat tujuan, Aya merasakan gejolak tidak nyaman dalam hatinya. Tidak bisa dipungkiri, ia merasa gugup dan gelisah. Ada seberkas perasaan khawatir tentang jati dirinya juga yang diam-diam mengganggu pikirannya. Namun, Aya berusaha keras menepis hal itu dan hanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang baik saja.
Bukankah Allah sesuai prasangka hamba-Nya?
"Dalam 50 meter, tujuan Anda berada di sebelah kiri."
Mendengar suara pemberitahuan dari Google Maps, Aya segera menegakkan punggung dan melempar pandangan ke jendela sebelah kiri. Ia bisa merasakan jantungnya yang berdetak dua kali lebih keras. Obrolan-obrolan papa dan mamanya yang masih mengalir di dalam mobil tidak lagi masuk ke telinga Aya. Cewek itu benar-benar merasa gugup sekaligus penasaran, seperti apa panti asuhan yang sempat akan menjadi tempatnya tumbuh besar jika orang tua angkatnya tidak mengadopsinya dulu.
"Anda sudah sampai."
Mobil melambat dan menepi perlahan meski tidak sampai berhenti total. Baik Aya maupun kedua orang tuanya kompak menoleh ke sisi kiri. Namun, alih-alih bangunan lama dengan pagar besi tinggi berplakat "Panti Asuhan Baiturrahim", yang mereka dapati justru sebuah kafe bergaya rustic dengan nama "Angkata" yang tertulis di papan kayu bagian depannya.
"Pa, bener ini alamatnya? Nggak keliru?" Mama lebih dulu menyuarakan kebingungan Aya.
"Benar kok, ini, kalau sesuai Gmaps," jawab Papa sambil melirik tampilan peta yang belum ditutup di layar ponselnya.
"Coba kita terus dikit ke depan, siapa tahu ketemu. Namanya juga udah lama Papa sama Mama nggak ke sini," saran Aya dengan harap.
Kedua orang tuanya setuju. Papa pun kembali menambah sedikit kecepatan mobil. Namun, meski terus menyisir hingga ke perempatan jalan, tidak ada papan nama Baiturrahim yang terlihat—bahkan sekadar bangunan yang mirip panti asuhan pun tidak. Hanya kompleks rumah warga dan pertokoan yang mereka jumpai. Kesempatan emas untuk menemukan orang tua kandung Aya seolah memudar.
"Kita putar sekali lagi, Pa!" pinta Aya masih berharap. Siapa tahu panti asuhan itu terlewat dari lokasi yang ditunjukan aplikasi Google Maps pertama kali.
Sayangnya, meski telah putar balik dan menyisir jalan dari ujung ke ujung, hasil yang mereka dapatkan tetap sama. Kegelisahan dan rasa frustrasi pun mulai membayangi Aya.
"Kayaknya panti asuhannya sudah nggak ada," gumam Papa setelah melewati titik awal yang ditunjuk oleh Gmaps. Di sebelahnya, Mama diam saja seolah turut mengiakan asumsi itu.
Aya masih bungkam sambil berpikir keras. Ketika mobil mereka berhenti karena lampu merah menyala di perempatan, ia akhirnya buka suara, "Pa, boleh nggak minta tolong turunin Aya di kafe tadi?"
Papa dan mamanya berpandangan, tetapi tidak ada yang memprotes, meski itu artinya mereka harus memutar balik sekali lagi. Bagi orang tua Aya, menuntaskan rasa keingintahuan putri mereka adalah yang utama. Keduanya bisa memahami kekecewaan yang mungkin sekali dirasakan Aya saat mengetahui panti asuhan tempatnya dulu diadopsi sudah tidak ada—sekaligus menghilangkan satu-satunya jejak untuk menemukan orang tua kandungnya.
Ketika mobil sudah berhenti di pelataran parkir kafe Angkata, Aya turun terlebih dahulu. Ia mencegah saat papa dan mamanya hendak ikut dengan mengatakan bahwa dirinya hanya ingin tanya-tanya sebentar. Aya cukup tahu diri, orang tuanya pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh dan berputar-putar sejak tadi. Jadi, ia ingin mereka bisa merilekskan tubuh sejenak di dalam mobil.
Suasana kafe terlihat sepi. Hanya ada sebuah mobil berjenis city car hitam ditemani motor yang dipasangi boks besar pada bagian jok belakang—khas motor kurir makanan cepat saji—di sudut parkiran. Aya curiga, jangan-jangan kafe sedang tutup. Asumsinya terbukti benar ketika ia membaca papan penanda kecil yang digantungkan pada kaca pintu masuk menampakkan tulisan 'closed'.
Bahu Aya merosot lemas. Ia melangkah lebih dekat, hanya sekadar ingin mencari tahu seperti apa kafe itu. Namun, siapa sangka melalui kaca transparan pintu ia bisa melihat ada seseorang di dalam. Seketika harapan Aya kembali bertunas.
Aya mencoba keberuntungan dengan mendorong pintu perlahan. Hampir saja ia melompat girang karena pintu tersebut rupanya tidak terkunci. Bergegas ia menghampiri sosok cowok yang sedang duduk di salah satu kursi agak ke dalam dengan posisi membelakanginya. Aya tidak mengerti, bagaimana cowok itu bisa tidak mendengar suara langkahnya mendekat atau saat masuk tadi. Apa ia sedang tidur? Tidak mungkin kan, yang di hadapan Aya sekarang bukan manusia?
Ketika jarak yang tersisa kurang dari satu meter, barulah Aya sadar kalau cowok itu sedang fokus menekuri ponselnya.
"Mas." Panggilan Aya sontak membuat si cowok terlonjak dan berbalik kaget. Hampir-hampir ponsel di genggamannya jatuh saat ia terburu hendak mengamankannya ke saku celana. Melihat gestur yang seperti maling kepergok, mau tidak mau memancing Aya jadi berpikir yang tidak-tidak.
Apa jangan-jangan dia tadi lagi asyik lihat ... Ah, nggak tahu, deh! Bukan urusanku juga!
Aya menggeleng kecil, membuang cepat prasangkanya dan menatap sosok di hadapannya yang kini sudah berdiri. Tinggi cowok itu mungkin mencapai lebih dari 180 cm, dengan tubuh atletis dan garis wajah oval yang menambah kesan jangkung. Rambutnya lurus menjuntai hingga menutupi kening, mencapai alis tebal yang kini terangkat sebelah. Sementara itu, kedua matanya yang agak sipit mengawasi Aya.
"Ekhem!" Suara dehaman cukup keras kembali menyadarkan Aya. Selama beberapa saat ia hanya terbengong menatap wajah cowok yang tergolong tampan itu. Menyadari pikiran tersebut melintas sekelebat di kepala, cepat-cepat ia mengalihkan pandangan.
Sadar, Aya! Kamu sebentar lagi nikah! Jangan main mata sama cowok lain!
"Ada yang bisa dibantu?" tanya si cowok sambil mengetuk-ngetukkan jemari ke atas lengan yang sudah terlipat di dada. Wajahnya sama sekali terlihat tidak bersahabat. Mungkin gara-gara Aya menyelonong masuk sembarangan dan mengganggu apapun-kegiatan-yang-sedang-ia-lakukan, padahal di pintu jelas-jelas sudah dipasangi tanda tutup.
"Bisa bertemu dengan pemilik tempat makan ini? Atau ... barangkali saya bisa minta nomor kontaknya?" Aya bertanya sambil melengkungkan bibir, mencoba bersikap ramah. Ia menebak cowok itu adalah salah satu karyawan kafe, karena ia melihat ada bordiran kecil berlogo "Angkata" pada bagian dada kiri kemeja krem polosnya. Namun, ekspresi cowok itu tidak berubah. Ia tetap menatap Aya dengan sorot mata yang dingin.
"Ada perlu apa?"
Bibir Aya terasa kaku akibat dipaksa terus menyunggingkan senyum. Sepertinya rasa lelah di perjalanan mulai menggerogoti kesabarannya.
"Ada sesuatu, Mas, yang perlu saya bicarakan sama beliau." Sekuat tenaga Aya berusaha tetap kalem. Bukan maksudnya merendahkan, tetapi ya kali, masa ia harus memberitahukan permasalahannya ke orang tak dikenal dan tidak berkepentingan seperti karyawan itu? Kenapa tidak sekalian saja diviralkan ke menfess X biar satu Indonesia tahu kalau dia anak angkat?
Namun, tampaknya cowok itu sengaja menguji kesabaran Aya. Ia menukas datar, "Bisa dibicarakan di sini saja."
Seketika senyum di bibir Aya lenyap. Ekspresinya berubah sama sengaknya dengan si karyawan kafe. "Mas. Saya tuh perlunya sama bosnya, bukan sama Mas!" ketusnya penuh penekanan.
Agaknya, si karyawan ganteng-tapi-nyebelin itu tersinggung. Ia berbalik tanpa mengucap sepatah kata. Emosi Aya kian mendidih. Sekalipun dirinya tidak datang untuk membeli sesuatu, apakah sopan seorang waiter bertingkah seperti itu di depan pengunjung?
"Mas!" Aya bersikeras mengejar dan refleks mengulurkan tangan untuk mencekal. Cowok itu terperanjat dan langsung menyentakkan lengan keras-keras hingga pegangan Aya terlepas.
"Kamu tahu, kan, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram itu haram bersentuhan!"
Aya terkesiap sampai tak bisa melakukan apa pun, selain berkedip-kedip menatap mata cowok di depannya yang berkilat marah. Bukan hanya volume suaranya yang membuat Aya kaget, tetapi sikap dan teguran yang dilontarkan cowok itu juga menohok. Aya merasa seolah dirinya adalah wanita muslim yang tidak tahu apa-apa tentang agama sendiri, bahkan hal sepele semacam itu.
"Kalau memang tidak ada lagi hal penting yang ingin Mbak sampaikan, sebaiknya Mbak pergi karena kafe ini juga sedang tutup."
Mulut Aya menganga tak percaya. Banyak sekali kata-kata kasar yang ingin ia lemparkan, tetapi tidak ada satu pun yang keluar. Karyawan menyebalkan itu tentu tidak mau repot-repot menunggu kemampuan bicara Aya kembali dan langsung masuk ke sebuah ruangan tertutup di belakang meja counter. Meninggalkan Aya yang masih syok sendirian.
Dengan langkah gontai, Aya keluar dari kafe. Pupus sudah harapannya untuk bertemu dengan orang tua kandungnya. Sebenarnya, bisa saja ia datang lagi untuk menggali informasi—siapa tahu saat itu pemilik kafe sedang berada di tempat. Namun, memikirkan dirinya punya probabilitas bertemu dengan karyawan menyebalkan tadi, rasanya ogah banget menginjakkan kaki lagi.
Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Aya melemparkan pandangan sekali lagi menembus pintu kaca. Di saat itulah matanya baru menangkap keberadaan selembar kertas yang ditempel tepat di jendela sebelah kiri pintu. Tulisan "lowongan pekerjaan" yang diketik rapi terpampang besar pada bagian paling atas.
Aya langsung mencebik. Siapa juga yang mau lamar kerja di sana kalau tahu bakal punya rekan modelan kayak cowok tadi!
***
Setelah pertemuan tidak menyenangkannya bersama karyawan tadi, Aya langsung mengajak papa dan mamanya ke tempat Om Satya. Melihat putri mereka kembali dengan wajah ditekuk, tentu Papa dan Mama heran. Namun, Aya hanya mengatakan kalau kafe sedang tutup dan pemiliknya tidak ada, sebelum berpura-pura tidur menghindari pertanyaan lebih lanjut.
Sesampainya di kediaman Om Satya, mereka disambut dengan hangat. Menurut cerita Papa, Om Satya dulunya adalah karyawan di toko mebelnya. Kemudian saat Papa dan Mama memutuskan pindah ke Semarang untuk merawat nenek Aya yang tinggal sendiri, Om Satya membeli toko Papa dan seluruh isinya dengan cara mengangsur.
"Kalau Pak Arman nggak kasih saya beli dengan kredit, mungkin sampai sekarang saya masih kerja ikut orang," ujar Om Satya sambil melengkungkan bibir saat mengenang hubungan dengan papa Aya.
Lainnya yang mendengar cerita itu ikut tersenyum, tetapi tidak dengan Aya. Pikirannya masih dipenuhi dengan masalah keberadaan orang tua kandungnya yang saat ini belum ada titik terang. Sampai acara makan siang bersama itu selesai, ia lebih banyak diam dan memilih mengurung diri di kamar yang disiapkan untuknya.
"Aya, boleh Mama masuk?" Suara Mama yang mengetuk pintu terdengar dari luar. Aya yang sedang menelungkup di atas tempat tidur pun lekas berbalik.
"Masuk aja, Ma," sahutnya tanpa beranjak. Saat sang mama masuk, barulah cewek itu mendorong tubuh rampingnya ke posisi duduk.
"Kamu kenapa, Sayang? Dari tadi Mama perhatikan, kok lesu, nggak bersemangat gitu?" Mama bertanya sambil membelai kepala Aya yang masih tertutup kerudung instan dengan lembut. "Masih kepikiran soal panti asuhan tadi?"
Aya tak berniat menyembunyikannya dan mengangguk lemah. Helaan napas panjang terdengar dari mulut sang mama.
"Kalau ini soal pernikahan kamu ...," Mama bicara hati-hati sambil memperhatikan raut wajah anaknya. "Papa dan Mama sependapat kalau kita bisa pakai wali hakim sebagai pengganti. Mau gimana lagi, sudah tidak ada petunjuk ...."
Aya tentu tahu tentang hal itu, sangat tahu. Namun, lebih dari sekadar wali untuk mengesahkan hubungan percintaannya, ia ingin tahu, siapa orang yang telah melahirkan dan mewariskan darah yang mengalir di tubuhnya. Serta, mendengar alasan mengapa dirinya ditinggalkan.
Mendadak Aya teringat kertas lowongan pekerjaan yang menempel di kaca kafe Angkata. Sebuah ide nekat muncul di kepalanya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro