Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua

Kepala Aya seperti ditimpa lemari es 2 pintu ketika terbangun dari tidur. Bukan hanya berat, ia juga merasa pening dan sesuatu di dalam tengkoraknya berdenyut-denyut. Ia hampir tidak bisa membuka mata akibat kelopak yang membengkak, dampak terlalu banyak mengeluarkan air mata.

Ekor mata Aya melirik jarum pada jam dinding di sebelah lemarinya. Pukul setengah empat, itu artinya ia hanya tidur tidak sampai tiga jam tadi. Pantas saja tubuhnya terasa seperti melayang.

Mengabaikan segala rasa tidak nyaman yang mendera, Aya pun menyeret langkah menuju kamar mandi. Air dari keran yang dibasuhkannya untuk berwudu lumayan menyegarkan tubuh dan pikiran. Ia menyempurnakannya dengan salat tahajud dua rakaat. Usai salam, Aya sengaja berlama-lama termangu dalam duduk diamnya, mencari ketenangan hati.

Suara azan Subuh lamat-lamat terdengar membelah keheningan fajar. Tanpa menunggu ikamah, Aya yang masih belum batal wudunya langsung mengerjakan salat.

Tepat ketika kepalanya menengok ke kiri sambil mengucap salam yang kedua, pintu kamarnya diketuk. Suara Mama menyusul kemudian.

"Aya, bangun, Nak. Sudah subuh."

"Iya, Ma," jawab Aya sambil menoleh ke arah pintu yang masih tertutup.

Mendadak ia merasa mellow. Sejak memasuki usia baligh, Mama selalu membangunkannya saat subuh. Ia tidak menyangka, wanita yang selama ini sudah begitu perhatian dan membesarkannya dengan penuh kasih ternyata tidak memiliki hubungan darah apa pun dengannya.

"Aya, sebenarnya ... Papa dan Mama bukan orang tua kandung kamu."

Aya memejamkan mata. Meski hanya sekelebat ingatan yang tiba-tiba muncul di kepala, perihnya tetap terasa menghujam juga. Usai mendengar papanya mengucap kalimat itu kemarin, ia bahkan seperti tertelan ke dalam ruang hampa, tak bisa merespons apa-apa. Ia berharap salah satu dari orang tuanya akan tersenyum lebar, menertawakan wajah pucatnya yang syok terkena prank. Namun, sampai entah berapa lama ia bergeming, harapan itu tak terwujud. Dengan perasaan hancur, Aya pun bangkit meninggalkan orang tuanya tanpa mengucap sepatah kata.

Helaan napas panjang terdengar dari mulut Aya. Cewek itu memeluk kedua lutut yang masih terbungkus mukena. Usai memutar percakapan mengejutkan semalam, memorinya berkelana lebih jauh ke masa-masa saat ia kecil. Sepanjang yang mampu diingat Aya, papa dan mamanya selalu sayang dan bahkan cenderung memanjakannya. Di ijazah maupun rapor sekolahnya yang tercantum juga nama sang papa.

Ah, tunggu. Bagaimana dengan akta kelahiran dan KK? Aya tidak pernah memperhatikan sebelum ini. Biasanya jika ada administrasi yang perlu melampirkan dua dokumen tersebut, Papa dan Mama akan berbaik hati menguruskan untuknya. Aya tidak pernah menaruh kecurigaan apa pun. Yang selama ini ia tahu hanyalah foto KK yang berisi nomor beserta data diri dan NIK keluarganya. Sedangkan bagian kolom yang memuat hubungan di antara mereka sengaja dipotong. Apa karena alasan itu?

Aya meringis, merasakan kepalanya yang berdenyut-denyut hebat memikirkan semua permasalahan itu. Rasa pening yang kian memberat, ditambah mual dan sesak di dada. Ia semakin membenamkan diri di pelukan antara kedua lututnya dengan mata terpejam. Kedua bahunya mulai bergetar akibat tangis yang kembali luruh.

Andai saja kegelapan bisa memakan habis seluruh permasalahannya, tentu dengan senang hati Aya akan terus menutup mata.

***

Kehangatan yang terasa di kulit mengusik kesadaran Aya. Refleks cewek itu menyipitkan mata saat cahaya matahari yang masuk dari jendela kamar jatuh mengenai wajahnya. Kelelahan akibat menangis ternyata membuat ia ketiduran. Pukul berapa sekarang?

Aya memutar kepala yang baru terangkat dari rengkuhan lutut ke dinding. Hampir pukul tujuh, pantas saja di luar sudah terang. Lekas ia pun bangkit dan membereskan peralatan salatnya sebelum pergi ke kamar mandi.

Aya merasa tubuhnya jauh lebih segar setelah membersihkan diri dan berganti pakaian. Perasaan dan pikirannya pun lebih jernih. Tidur yang didapatkannya beberapa puluh menit barusan ternyata cukup membantu memperbaiki keadaannya. Ia pun lantas berjalan ke dapur. Suara berisik dari sana pasti karena mamanya belum selesai menyiapkan sarapan.

"Sini, Aya bantuin, Ma." Kemunculan Aya yang tiba-tiba di dapur tak ayal membuat mamanya terperanjat. Apalagi sang anak yang kini berusia 23 tahun itu tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya, padahal sejak semalam Aya mengurung diri di kamar.

"Ya ampun, Ya! Kamu ini mau bikin Mama jantungan, apa?" seloroh Mama sambil mengelus dada.

Aya menyengir tak berdosa dan langsung memeluk pinggang mamanya. "Hehe. Ya nggak lah, Ma! Aya kan pengen Mama lihat Aya nanti pas nikah." Lalu, ia pun mengangkat wajah usai melonggarkan sedikit rangkulan, "Ma, Aya minta maaf ya, buat semalam. Aya udah kemakan emosi duluan. Aya nggak bermaksud kasar atau nggak sopan sama Papa-Mama. Aya cuman ...."

"Sssh!" Mama langsung memotong ceracaunya, lantas mendorong lembut bahu Aya sebelum menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya penuh kasih. "Kamu nggak usah khawatir. Mama dan Papa paham, kok. Justru harusnya kami yang minta maaf."

Aya melebarkan senyumnya, haru. Ia pun kembali membenamkan wajah ke lengan sang mama yang membalas pelukannya. Sayang, suasana mengharukan itu terusik oleh suara desis minyak goreng dan asap tipis dari kompor di balik punggung Aya.

"Astaga! Tempe Mama!" Teriakan Mama membuat pelukan mereka terurai. Aya segera berbalik dan berusaha menyelamatkan empat potong tempe yang masih berenang-renang di wajan berisi minyak panas. Tangan kirinya pun sigap memutar knop kompor ke posisi off.

"Yah, gosong, deh." Aya dan Mama menatap miris tempe yang sudah diangkat di saringan, tetapi penampakannya lebih mirip potongan kulit pohon yang habis terkena kebakaran hutan. Sedetik kemudian, tawa keduanya pecah memenuhi dapur.

Untungnya Mama sudah membuat masakan lain sebelum insiden tempe gosong, sehingga sarapan pagi itu masih terselamatkan. Papa menyusul dengan penampilan rapi, siap untuk pergi ke toko mebel yang menjadi sumber utama penghasilan keluarga.

Tidak seperti biasa, sarapan kali ini terasa lebih hening. Baik Aya maupun orang tuanya tidak banyak berbicara, padahal di hari-hari sebelumnya selalu ada obrolan atau celetukan yang bisa mengundang tawa. Namun, kini mereka lebih fokus menghabiskan isi piring masing-masing, seolah khawatir akan merusak suasana jika sembarangan berbicara.

Aya sadar perubahan ini disebabkan olehnya. Maka dari itu ketika semua sudah selesai sarapan, Aya pun membuka obrolan terlebih dahulu.

"Ma, Pa, sebelumnya Aya mau minta maaf lagi soal tindakan Aya kemarin. Aya udah keburu emosi duluan." Ia menarik napas dalam akibat dadanya yang mendadak terasa sesak sambil memejamkan mata. Ketika kelopaknya kembali terbuka, cewek itu melanjutkan, "Insyaallah sekarang Aya siap dengarin apa pun cerita dari Papa dan Mama."

Orang tua Aya saling berpandangan. Keraguan tampak jelas masih menyelimuti netra keduanya. Namun, mereka sadar, tidak mungkin fakta soal jati diri Aya akan selamanya disembunyikan. Cepat atau lambat, saat untuk membahas hal tersebut pasti akan datang.

Papa menghela napas, lantas membalas tatapan Aya yang duduk di seberangnya. "Bertahun-tahun Papa dan Mama menanti kehadiran seorang anak. Tetapi harapan itu sirna saat dokter memvonis kalau kami tidak bisa memiliki keturunan."

Mama mulai terisak. Pembicaraan ini tentu membuat luka lamanya kembali menganga. Papa menggeser kursi demi bisa meraih bahu istrinya ke dalam dekapan.

"Pasangan mana yang tidak sedih ketika dibilang tidak bisa punya anak? Mamamu sampai nyaris depresi dan berdiam diri berhari-hari. Makanya Papa berinisiatif untuk mengadopsi anak. Tapi ternyata tidak mudah, sebab kami ingin merasakan jadi orang tua seutuhnya, yang membesarkan dan merawat anak sejak bayi."

Sampai di sini Aya tahu bahwa dirinya sudah terpisah dari orang tua kandung sejak masih belum mengenal apa-apa. Bahkan, tidak menutup kemungkinan sejak baru dilahirkan ia sudah menjadi penghuni panti asuhan. Dadanya kembali terasa sesak, tetapi inilah kenyataan yang harus ia terima.

"Saat kami hampir dilanda keputusasaan untuk kedua kali, Mama tidak sengaja melihat seorang bayi yang sedang digendong di teras panti asuhan. Tanpa banyak berharap, kami pun mencoba bertanya. Dan Alhamdulillaah, rupanya bayi mungil itu memang salah satu anak asuh di sana."

Tatapan Papa berubah sendu. "Bayi itu adalah kamu, Cahaya Kehidupan."

Tepat di ujung cerita, setitik air mata tanpa sadar jatuh di pipi Aya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro