Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Delapan

Aya masih ingat betul, saat ia mengajukan diri untuk bekerja di kafe Angkata, posisi yang diisinya berbunyi manajer. Namun, salah besar jika membayangkan ia seperti manajer-manajer di kantoran yang klimis dan borjuis. Pada hakikatnya, posisi itu hanya formalitas karena kenyataannya Aya mengerjakan HAMPIR SEMUANYA!

Kafe Angkata buka pukul 09.00 sampai dengan 21.00. Namun, Awan mengharuskan pegawainya datang paling telat satu jam sebelumnya untuk membantu bersiap-siap. Layaknya bisnis yang baru dibangun, tidak banyak karyawan yang dipekerjakan, total hanya 6 karyawan. Dalam sehari ada 2 shift dengan tenaga 3 orang, sudah termasuk Awan. Masing-masing mendapat jatah libur tiap 2 hari sekali. Awan juga memberlakukan aturan shift sore hanya untuk karyawan laki-laki.

Masih terdengar manusiawi? Jangan lupa kalau posisi Aya adalah sebagai manajer—alias pembantu umum! Entah karena proses penerimaan kerjanya tidak sesuai prosedur atau Awan memang memiliki dendam pribadi. Cowok itu tidak membiarkan Aya berleha-leha barang semenit pun. Sebagai informasi, selain bertanggung jawab di pembukuan, Aya juga harus berdiri di balik meja kasir, menerima pesanan dan pembayaran pengunjung, menyapu, membersihkan meja, mengantar pesanan, bahkan kadang mencuci piring! Baru sehari bekerja, Aya sudah merasa badannya remuk redam seperti habis diinjak Godzilla. Apalagi kemarin ia dibuat pulang terlambat karena Awan menyuruh menghitung ulang penjualan dan mencocokkan dengan nota pembelian.

Aya menggigit-gigit bibir bawah bagian dalam sambil menempelkan ponsel ke telinga kanan. Raut wajahnya kentara sekali sedang cemas. Entah sudah berapa nada sambung yang terdengar, rasanya ia hanya mendengar bunyi 'tuuuut' panjang berulang tanpa akhir.

Tidak. Ia tidak sedang menelepon Komnas HAM atau Badan Ketenagakerjaan. Ketika saraf pendengaran Aya akhirnya menangkap suara lain dari speaker ponsel, saat itu juga ia berhenti menggigiti bibir yang mulai terasa lecet.

"Assalamualaikum, Bi. Udah di kantor?" Tanpa menunggu jeda, Aya langsung ambil start duluan.

Terdengar bunyi seperti gumaman atau dengkusan sebelum cowok di ujung sana menjawab, "Waalaikumsalam. Ya."

Senyum Aya mengembang. Pertanda baik. Meski jawaban Bisma masih terkesan ketus dan malas-malasan, setidaknya cowok itu sudah tidak mendiamkannya seperti seharian kemarin. Itu berarti ia sudah menerima keputusan Aya tinggal sementara di Malang—meski dengan terpaksa.

"Lagi banyak kerjaan nggak?" Aya membuka obrolan. Ia menyamankan posisinya dengan menumpukan siku ke meja counter. "Eh, tahu nggak sih, Bi. Kemarin kan aku ngelamar kerja di sini tuh sebagai manajer, ya. Tapi kenyataannya ...."

Cerita Aya mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung. Setelah menahan-nahan untuk curhat seharian kemarin, akhirnya ia bisa menumpahkan semua sampahnya pada Bisma.

"Namanya juga kerja, Ay. Kalo santai itu mah rebahan," tanggap Bisma ringan. "Lagian kamu sendiri kan, yang mau kerja. Nggak ada yang nyuruh."

Aya berdecak sambil memutar bola mata kesal. Perkataan Bisma memang benar. Oleh karena itu, ia semakin dongkol karena tidak bisa mengelak.

"Terus gimana sama pencarian orang tua kandungmu? Ada progres?" Lagi-lagi apa yang dilontarkan Bisma menyentil kewarasan Aya, hingga ingin rasanya ia menelan ponsel bulat-bulat.

"Duh, Bi .... Baru juga sehari ekstra di sini. Udah gitu sama si Bos aku juga disuruh kerja terus bagai quda, lagi! Bisa nggak sih, di saat seperti ini kamu cukup ngehibur aku aja?" keluh Aya sambil memasang wajah cemberut dengan gaya diimut-imutkan. Sebenarnya percuma, toh Bisma juga tidak bisa melihat.

Tahu-tahu Bisma tertawa renyah, meruntuhkan gunung es berupa kemarahannya. Mata sipit Bisma yang nyaris hilang di balik kacamata bundar seolah muncul di hadapan Aya saat mendengar suaranya. Baru juga 3 hari LDR, rasa rindu itu semakin menjelma nyata.

"Oh ya, Ay. Bos kamu itu cowok, kan? Jangan-jangan dia naksir sama kamu makanya cari kesempatan biar bisa deket-deket terus."

Ucapan Bisma sontak membuat suasana hati Aya yang tadi mengharu-biru seketika ambyar. Spontan ia segera menggetok-getokkan punggung jemari ke permukaan meja dan kepala secara berulang. "Idih ... amit-amit!"

Tepat di repetisi ketiga, gerakan tangan Aya terhenti oleh dehaman keras.

"Cahaya. Saya tidak menggaji kamu untuk mengobrol di jam kerja!" Suara itu! Jika saja Aya punya setitik kekuatan Thanos, ingin rasanya ia melenyapkannya dari muka Bumi ini

Tiran banget, sih! Toh sekarang lagi sepi!

Namun, Aya tak bisa memprotes apa pun selain menggerutu dalam hati. Sambil sedikit menjauhkan ponsel dan menutupnya dengan tangan yang satu, ia menoleh. "Hehe ... Eh, iya, Pak." Tentu saja senyum yang terlukis di wajahnya sekering kanebo yang sudah dijemur.

"Ay, kamu masih di sana?" Suara Bisma yang terdengar jauh akibat speaker ponsel yang masih tertutup mengingatkan Aya kalau belum mematikan telepon. Ia pun cepat-cepat berbalik.

"Bi, nanti lagi, ya. Aku mau kerja dulu. Assalaamu'alaikum ...." Setengah berbisik Aya mengakhiri percakapan sebab si Awan Kinton masih berdiri di tempat dan menatapnya intens. Bahkan meski Aya sudah kembali menyelipkan ponsel ke dalam saku rok. Dipandangi seperti itu tentu membuat ia risi.

"Habis telepon ayah kamu?" Awan tiba-tiba bertanya setelah cukup lama diam memperhatikan.

Selama beberapa detik, Aya menatapnya dengan sorot bingung. "Bukan, Pak." Lagi pula, untuk apa Awan bertanya-tanya siapa yang ia telepon?

Mendadak ucapan Bisma terlintas lagi di kepala Aya. Apa jangan-jangan Awan tertarik kepadanya? Tidak, tidak boleh! Sebelum hal itu betul-betul terjadi, ia harus mengantisipasinya terlebih dahulu.

"Saya sudah punya calon suami, Pak." Aya menyeletuk tiba-tiba.

Raut muka Awan mendadak berubah. Tampaknya ia agak kaget mendengar pengakuan Aya. Namun, tidak berapa lama sebab ekspresinya kembali dingin. "Maksud kamu pacar?"

"Ya gitu deh," jawab Aya tak acuh. Ia sudah duduk kembali di kursi belakang meja counter dan pura-pura siap bekerja agar tak lagi diganggu. Namun, tatapan tajam Awan masih bisa ia rasakan tak bergeser dari tempatnya. Duh, mau apa lagi sih, ni orang?

"Kamu tahu, dalam Islam nggak mengenal kata pacaran?"

Refleks Aya menoleh sambil mengerjap-ngerjap bingung. Pandangan Awan langsung menghunjam matanya seolah hakim yang sedang menilai tersangka kasus kejahatan di kursi panas.

"Pacaran itu lebih dekat pada zina, padahal dalam Al-Qur'an sudah jelas Allah melarang manusia untuk mendekati zina." Ucapan Awan lagi-lagi membuat Aya tersinggung. Tentu, dalil semacam itu sudah sering ia dengar sejak sekolah. Tetapi, apa di matanya Aya tampak seperti anak-anak muda yang gampang terjerumus pada pergaulan bebas?

"Pak, mohon maaf sebelumnya. Apa saya juga digaji untuk mendengar ceramah Bapak?" tanya Aya yang sudah merasa kegerahan. Biar saja meski dianggap tidak sopan karena berani membalas tatapan atasan dengan sinis. Siapa suruh sok ikut campur dalam masalah pribadinya?

Awan menghela napas. Sorot mata dan ekspresinya sedikit melunak. "Selama masih jam kerja, semua karyawan di sini adalah tanggung jawab saya. Jadi, saya punya kewajiban menegur jika apa yang mereka lakukan tidak sesuai aturan. Entah itu aturan yang dibikin manusia atau Allah."

Aya menggertakkan gigi geram. Apa semua bos di tempat kerja begini? Belum merasakan manisnya gajian, bisa-bisa ia lebih dulu kena stroke akibat terlalu banyak makan emosi!

"Pak, boleh nggak saya milih dipotong gaji aja daripada Bapak ikut campur urusan pribadi saya?" sindirnya pedas.

Awan tak menjawab. Ia diam saja di tempatnya selama beberapa saat kemudian berbalik. Aya kira cowok itu sudah akan pergi, tetapi rupanya ia masih menahan langkah dan belum selesai dengan petuahnya.

"Kalimat yang paling Allah benci, jika seseorang menasihati temannya, 'Bertakwalah kepada Allah', namun ia menjawab, 'Urus saja dirimu sendiri'."

Aya merasa tertohok. Kalimat Awan itu bagaikan minyak tanah yang semakin mendidihkan emosinya Berbagai sumpah serapah dan makian bergumul di kepala. Ia sampai kebingungan memilih kata-kata mana yang paling merepresentasikan kejengkelannya.

"Bapak sendiri gimana?!" tanya Aya lantang. Sontak langkah Awan yang hendak menuju dapur terhenti menunggu kata-kata Aya selanjutnya.

"Bapak sendiri gimana? Dekat-dekat sama Desty tapi nasihatin orang lain supaya nggak pacaran!"

Awan langsung menatap Aya dengan mata terbeliak. "Saya dan Desty nggak paca—"

"Bukannya pacaran atau nggak itu cuma sekadar status, ya?" Aya dengan cepat memotong. Tidak ingin kehilangan momen counter attack-nya. "Yang lebih penting adalah gimana selama berinteraksi dengan yang bukan mahram."

Aya bisa melihat bola mata Awan seperti hendak meloncat keluar dari rongganya. Mulut cowok itu sedikit terbuka, seolah siap menyemprot Aya yang benar-benar sudah kelewatan dengan serentetan makian—atau bahkan pemecatan saat itu juga. Namun, yang dipilih Awan justru mengusap wajah sambil menarik napas kasar, sebelum mengunci diri di ruang kerjanya.

***

Ketika azan Isya berkumandang, kaki Aya baru menyentuh lantai kamar indekosnya. Seharusnya ia sudah pulang sejak jam 4 sore tadi, tetapi Awan menahannya dengan alasan harus merapikan dan memeriksa rekap hitungan bulan-bulan sebelumnya. Sebenarnya hal tersebut tentu bukan tanggung jawab Aya karena ia baru bekerja. Namun, ia tidak bisa menolak. Feeling Aya, Awan hanya mencari-cari alasan untuk balas membuatnya kesal.

Aya langsung merebahkan punggung di kasur tanpa mandi atau mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Hari kedua, dan badannya terasa seperti pegulat yang baru kalah pertandingan akibat terlalu memforsir tenaga saat berlatih. Sungguh ia tidak menduga, bekerja yang hanya di kafe bisa sedemikian lelahnya. Mungkin beban mental dan pikiran menjadi 2 hal yang kian memberatkan.

Aya membuang napas panjang. Tangan kanannya merogoh ponsel yang tersimpan di saku rok. Masih dalam posisi rebahan, ia menekan tombol samping ponsel sehingga layar benda pipih itu menyala, menunjukkan lockscreen foto saat dirinya berjalan-jalan di Kota Tua Semarang bersama Bisma di perayaan anniversary mereka yang kelima. Lalu, saat Aya memasukkan kata sandi pembuka kunci, pandangannya disambut potret kebersamaan di malam Bisma menyampaikan niat menikahinya, sebelum seluruh dunia Aya jungkir balik seperti sekarang.

Rongga hidung dan kedua mata Aya tiba-tiba terasa basah. Jempolnya lantas bergeser ke galeri yang menyibak lebih banyak foto dirinya bersama Bisma dan kedua orang tuanya. Sensasi basah itu tak lama menjelma menjadi setitik air mata yang meleleh. Dalam kondisi lelah dan sepi seperti ini, ia benar-benar rindu kehangatan kota Semarang dan seisi orang yang membuatnya bermakna. Mendadak ia menyangsikan keputusannya sendiri yang bersikeras bertahan di tempat ini. Padahal keberadaan orang tua kandungnya sama sekali belum menunjukkan titik terang.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro