0.1 - Diriku yang Bodoh
Wanita selalu gampang tersakiti karena mereka selalu meninggikan ekspektasi. Ah, atau karena mereka selalu mengutamakan hati? Terlebih jika sudah muncul cinta di hati. Mereka sengaja memadamkan logika dan mengutamakan hati untuk terus memberi dengan harap akan kembali diberi.
Bajingan-bajingan di luaran sana tentu akan tertawa kesenangan. Mereka punya banyak celah untuk memangsa, memanfaatkan, lalu setelah itu meninggalkan para perempuan-perempuan lemah tanpa perasaan.
Tersindir?
Tidak, aku tidak menyindirmu.
Aku hanya sedang bermonolog dengan diriku yang teramat bodoh ini.
Baru beberapa masa lalu hatiku dipatahkan begitu saja. Api harapanku yang tengah menggebu-gebu pun dipadamkan begitu saja. Bahkan, bahagia yang kupikir akan sempurna kini sirna begitu saja.
Seseorang yang asing itu datang tanpa diundang. Dia menetap pada sepetak hati yang kuberi dengan setengah hati. Dia tampak nyaman di sana, membagi senyum hangat padaku yang nyaris lupa cara tersenyum. Dia pun tak berulah, hanya duduk diam dan menyediakan sandaran saat aku putus harapan.
Pada akhirnya setitik demi setitik rasa percaya kuberi padanya dan dia merangkainya menjadi segunung-dua gunung tanpa gelagat aneh sedikit pun. Pada akhirnya keraguanku runtuh, kewaspadaanku terurai, dan pelan-pelan kedua tangan rapuhku ini terulur menerima kehangatannya.
Kupikir saat itulah masaku bangkit, karena aku telah menemukan sosok yang dicari, karena sedihku rasanya siap berakhir di sini, dan karena kegelapan yang selama ini mengekangku juga akan usai sampai titik ini. Semua itu berkat dirinya, sosok asing yang tampak begitu menjanjikan dengan segala kebaikan dan kebahagiaan yang ditawarkan.
Nyatanya, harapku terlalu tinggi, khayalku juga tak kalah tinggi. Pada akhirnya dia sama saja, seperti yang sudah-sudah menorehkan luka di hati. Dia datang tanpa diundang, jelas karena punya misi penting. Sementara aku orang yang tengah haus akan kasih sayang.
Aku patah, payah, pasrah.
Hatiku hancur berkeping, kepalaku pun ikut pening, dan diriku memilih geming.
Dalam masa-masa senyap yang penuh siksa itu, sebuah tekad lemah perlahan-lahan tercipta. Bahwa aku tak akan lagi jatuh cinta, bahwa aku tak percaya lagi dengan cinta, bahwa cinta adalah dusta paling nikmat yang membawa seribu duka lara.
Aku menjadi sosok beku yang dikekang trauma.
Namun, kusadari seseorang berjalan mendekat. Dia datang dengan tenang dan menawarkanku ketenangan. Dia diam, tetapi hadirnya mampu meredam kobaran kebencian yang kupikir tak bisa padam.
Dia tak menegurku, tak pula berupaya meluluhkanku, atau sekadar menyapa singkat padaku. Dia di sana, diam dalam batasnya; tak pula memandang ke sini—mungkin saja—untuk mencari tahu apa yang telah terjadi di sini.
Dia ...
Siapa dia?
Mengapa Dia mengirimkannya?
Padahal telah terucap dalam doaku, bahwa, Tuhan, tolong jangan kembali buka pintu hatiku jika yang datang itu bukan jodohku ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro