Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Shani dan Gracia (X-tra Part)






Cuma melengkapi potongan
Puzzle yang hilang.

Dilarang minta nambah. 🤪




-MetRehat-








"I miss you Kak, really miss you. And it hurts. Jangan pernah tinggalin aku lagi."

"Won't ever."


Keduanya masih betah berdiri disana selama beberapa menit dengan posisi yang sama. Gracia membiarkan Shani menumpahkan semua emosi yang lama dia tahan sampe habis tak bersisa.

Gracia bahkan rela jika akhirnya Shani memukul dirinya karena sudah bersikap jahat padanya.

Baru ketika mendengar tangis Shani mereda, Gracia melepaskan pelukannya.

"Udah?" Shani menggangguk pelan dengan kepala menunduk.

Ada rasa menyesal dalam diri Gracia ketika melihat Shani seperti ini. Apalagi penyebabnya adalah dirinya sendiri. 

Dalam hati bertekad akan menebus semua kesalahannya pada Shani. Meski dia tau mustahil menghilangkan rasa trauma ditinggalkan, tapi tidak ada salahnya mencoba.

"Sekali lagi, maafin Kakak." Ucap Gracia mencoba menatap mata Shani.

"Bagaimana membuat kamu merasa lebih baik? Kamu ingin dengar penjelasan Kakak?" Tanya Gracia lagi karena tak ada jawaban dari Shani.

Shani mengangkat kepalanya. Wajah merah dan basah, mata bengkak, bahkan air mata sesekali masih menetes di pipinya. Dengan sigap Gracia mengusap air mata itu dengan kedua tangannya.

"Mau ikut? Kakak jelasin semuanya sama kamu." Ucap Gracia lalu mengulurkan tangannya. Mengajak untuk segera pergi darisini.

Berharap Shani meresponnya nyatanya dia hanya berdiri mematung.

"Shan?"

Shani hanya menggeleng.

"Separah itu kejahatan yang Kakak buat?"

"Iya! Masih nanya?"

Ada senyum tertahan kala mendengar Shani akhirnya bicara. Bukannya takut malah terdengar lucu di telinga Gracia. Adiknya sedang merajuk, ngambek karena ditinggal lama.

Shani kaget ketika Gracia memegang kepalanya dengan kedua tangannya lalu menariknya agar mendekat. Seketika sebuah kecupan mendarat di keningnya. Terasa lama dan dalam.

"Come with me. Kakak jelasin semuanya sama kamu." Ucapnya lalu menarik tangan Shani menggadengnya masuk ke mobil, tidak peduli Shani setuju atau tidak.



____




Rooftop kantor adalah tujuan Shani dan Gracia. Hanya ditemani dua cangkir coklat panas dan french fries ukuran large, hasil dari gerai drivethru yang mereka lewati saat menuju kesini.

Keduanya duduk bertumpu pada kursi lipat yang entah Gracia dapat darimana. Memandang kemegahan secuil Berlin dibawah sana.

"Ara dan Chika kabur waktu itu." Ucap Gracia memulai percakapan tanpa intro. "Entah sudah berapa lama mereka luntang lantung dijalanan. Kakak sendiri ga expect bakal ketemu mereka, tapi bersyukur Kakak yang mereka temui bukan orang lain yang berniat jahat."

"Fiony adalah hal paling logis untuk menyembunyikan mereka sementara waktu karena tidak mungkin Kakak bawa pulang kerumah. Minimal sampai Kakak punya cara yang tepat untuk bawa mereka pergi jauh dari wanita tua itu."

"Kakek Jonathan yang bantu semuanya dari awal-----

"Bagaimana dia bisa tau apa yang terjadi pada kalian?" Potong Shani.

"Kakak yang menghubunginya. Apalagi Kakek punya hubungan masalalu yang belum selesai dengan Amanda."

"Berarti Kakak-------?"

"Iya, Kakak udah tau dari lama kalau keluarga kakak bukan hanya Mama, Papa, kamu sama chika."

"Sejak kapan?"

"Sejak dipercaya memegang semua dokumen penting peninggalan Papa sama Mama."

Mata Shani membelalak lebar. Dia tak menyangka Gracia menyimpan rahasia selama itu. Shani masih ingat dengan baik, Gracia dipercaya menjadi kepala keluarga dan mengelola sisa aset serta dokumen peninggalan orang tua mereka genap ketika dia berusia 18 tahun.

"Kenapa menyembunyikan rahasia sebesar itu dari kita Kak?

"Tidak bermaksud. Mengetahui siapa keluarga asli Kakak juga baru beberapa tahun ke belakang. Selebihnya hanya sebatas Kakak anak adopsi."

"Ya, t-tapi kan-----" Shani ingin protes. Tetap saja itu sebuah rahasia meskipun saat itu belum jelas diketahui siapa keluarga kandung Gracia. Tapi ah sudahlah...

"Jangan kesel. Mengetahui kakak anak adopsi itu menyesakkan. Makanya kakak anggap hal itu tak pernah terjadi. Kakak bahkan ga peduli dari rahim mana dilahirkan. Kakek Jo yang menemukan Kakak, bukan Kakak yang sengaja mencarinya."

Shani menghela napas panjang. Dalam hati tetap saja kesal.

"Lalu kenapa pergi? Kalaupun harus pergi kenapa ga bawa Shani juga? Minimal kasih kode kek kalau ga boleh ikut." Topik utamanya kembali diangkat. Dimana Shani belum bisa menerima bahwa dia ditinggalkan begitu saja tanpa clue apapun.

Gracia hanya tersenyum tipis mendengar keluhan Shani.

"Ingat kan gerak gerik kita terbatas karena pengawal Amanda menguntit kita kemanapun? Bergerak bersama hanya akan menimbulkan kecurigaan berlebih. Tetap disini bersama kamu juga tidak mungkin mengingat dua bocah itu belum bisa dipercaya melakukan banyak hal."

"Jadi Kakak lebih memilih pergi sama mereka dan ninggalin Shani?"

"Kakak sadar betul adik kakak bukan cuma mereka, tapi Kakak percaya kamu adalah wanita dewasa yang bisa diandalkan dibanding Chika atau Ara. Kakak ga pernah berniat pergi ninggalin kamu selamanya, nanti ketika waktunya sudah tepat kita pasti kembali buat kamu."

"Padahal Kakak bisa saja memantau mereka diam-diam bareng Shani tanpa harus ikut tinggal bersama mereka disini." Gumam Shani masih tak terima.

Feeling Shani masih begitu kuat dimana alasan Gracia pergi bukan hanya demi Chika dan Ara.

"Kamu butuh waktu sendiri kan?" Tanya Gracia tiba-tiba mengundang kebingungan Shani.

"Maksud Kakak?"

"Entah kenapa saat itu masalah datang bertubi-tubi dalam waktu bersamaan. Dua bocah itu kabur dan kamu ga mau deket-deket sama Kakak karena merasa Kakak-------menjijikkan?"

Deg.

Shani merasa tertampar kenyataan. Padahal Gracia mengucapkannya tanpa emosi apapun. Entah mengapa Shani yang justru menjadi gelisah.

"K-kak, Shani------ngngh---maksud Shani-----"

"Its okey. Kakak ngerti kok."

"I-itu h-hanya emosi sesaat Kak, Shani ga maks----"

"Shan, its okey. Kakak ngerti. Lagian semua udah berlalu kan." Ucap Gracia sambil menepuk pelan pundak adiknya.

Shani menggeleng tak terima.

"Puluhan tahun hidup sama Kakak harusnya Shani paham kalau Kakak ga mungkin berani melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang. Kalau Shani tau kenyataan aslinya, mungkin Shani ga akan------"

"Shan, kamu ga salah. Udah ya. Ga usah dibah-------"

"Ga bisa gitu Kak!" Protes Shani keras karena Gracia terkesan tak ingin membahas hal itu lebih jauh.

Shani mencoba cooling down ketika melihat Gracia sedikit shock dengan respon terakhirnya.

"Maaf Kak." Shani tertunduk lesu.

"Its okey. Kakak cuma ga ingin kamu merasa ga nyaman ketika kita harus bahas hal ini lagi. Masih dianggap Kakak sama kamu aja udah bersyukur."

"Tapi Shani ingin bahas Kak."

"Kenapa?"

Shani no respon.

"Kenapa ingin bahas?" Tanya Gracia lagi.

"Karena Shani ingin tau, setelah penolakan Shani dan setelah 2 tahun menghilang hidup tanpa Shani, apa-------" Ada jeda sesaat karena Shani terlihat ragu untuk melanjutkan.

"Apa perasaan Kakak buat Shani masih sama?"

Hening..

Tak ada respon apa-apa selain senyum yang kini tercipta di wajah Gracia.

"Iih Kaaak, jawab"

Gracia malah terkekeh pelan. Sudah lama sekali rasanya ia tak merasakan momen seperti ini. Shani tetap Shani, dia akan terus menuntut sesuatu sampai ia mendapat jawaban yang memuaskan.

"Kamu mau kakak jawab apa?"

"Ya apapun. Siapa tau selama 2 tahun ini Kakak ketemu orang lain. Secara kan Shani gak pernah tau apa yang terjadi sama Kakak, gak tau apa yang kakak rasain. Mungkin aja kakak udah suka sama orang lain kan?"

Gracia menyentuh ujung hidung Shani dengan jarinya. "Kamu pikir semudah itu?"

"Ya siapa tau kan Kak? Shani udah pernah nyakitin Kakak dengan penolakan Shani, Shani rasa itu cukup jadi alasan Kakak nyari orang lain kan?"

"Tidak ada yang berubah. Semua masih tetap sama"

Shani menatap penuh tuntutan. Seolah tak puas dengan jawaban Gracia. Ia ingin sekali mendengar banyak hal dari Gracia. Bukan hanya kalimat sepotong-sepotong saja.

"Kalo semuanya semudah kaya yang kamu omongin barusan, sudah sejak dulu kakak bersama orang lain. Bahkan dari sejak pertama kali kamu mengenalkan seseorang sama Kakak, atau sejak kamu memutuskan untuk memilih hidup bersama Vino saat itu."

Lagi-lagi Gracia berkata dengan tenang. Seolah apa yang ia katakan bukan tentang luka atau semacamnya.

"Kakak bisa saja mencari seseorang, atau mungkin memilih Fiony yang begitu gencar deketin Kakak. Tapi nyatanya, semuanya hanya tentang kamu. Sedikitpun perasaan Kakak tidak ada yang berkurang, malah bertambah setiap harinya".

Shani menahan nafas beberapa kali saat mendengar penuturan Gracia. Ada rasa sesal di hatinya jika mengingat semua hal yang terjadi.

"Lalu kenapa Kakak tidak memperjuangkan perasaan Kakak saat itu? Bukannya Kakak sudah tau sejak lama kalo kita itu enggak--- sedarah?"

Shani sepertinya belum puas melayangkan introgasi pada Gracia. 2 tahun tidak bertemu, membuat Shani harus menuntut banyak jawaban pada Gracia.

Tangan Gracia bergerak meraih cangkir yang masih berisi coklat yang tak lagi hangat. Meneguknya dua kali sebelum menyimpannya kembali.

"Saat Kakak sadar kalo kakak punya perasaan berbeda sama kamu. Kakak berusaha untuk menutupinya serapat mungkin. Kakak membebaskan kamu untuk memilih siapapun yang ingin kamu pilih, selama kamu bahagia, walau sesekali mungkin kamu akan ngerasa kalo kakak gak suka sama orang itu".

Gracia mengusap pipi Shani pelan lalu tersenyum tipis
"Perasaan Kakak itu urusan Kakak, kamu gak perlu ikut bertanggung jawab. Kamu ga milih Kakak gapapa, tapi bukan berarti harus memaksa Kakak dengan orang lain. Mungkin saja kan Kakak memilih untuk tidak bersama yang lain sampai kapanpun".

"K-kaaak...."

"Mau kembali sama Vino?" Tanya Gracia dengan senyum tipis.

"Haa? Kenapa malah jadi bahas Vino?"

"Kakak emang menghilang dari kehidupanmu tapi bukan berarti Kakak ga tau apa-apa. Termasuk Vino yang sedang ngejar cinta kamu lagi."

"Kak aku----"

"Gapapa kalau kebahagiaan dan keyakinanmu masih sama dia. Kakak dukung. Meski sekarang kenyataannya sedikit berbeda, aku masih tetap Kakakmu sampai kapanpun."

Shani diam tak berkutik.

"Apa itu artinya dia telah mendapatkan restu?" Ucapnya dalam hati.

"Masih ada lagi yang ingin kamu tahu Shani?" Tanya Gracia sambil meneguk habis coklatnya.

Shani menggeleng pelan. Bukan tak ada lagi pertanyaan, dia hanya tidak tahu bagaimana cara menggungkapkan keganjalan di hatinya. Keganjalan yang dia sendiri tidak tahu pasti kenapa bisa begitu.

"Kita pulang ya? Yang lain udah nunggu." Ucap Gracia lalu berdiri.

Shani mau tak mau mengikuti, mengingat hawa dingin makin menusuk. Dia butuh kehangatan supaya otaknya tidak membeku dan bisa berpikir apa yang mau dilakukan selanjutnya.


____



Seminggu kemudian Gracia, Chika dan Ara terbang kembali ke Indonesia. Menyusul Shani, Anin dan Fiony yang sudah duluan beberapa hari yang lalu.

Ara yang akhirnya harus menemui kembali kedua orang tua dan Kakaknya untuk menyelesaikan semuanya. Chika yang dipaksa menemui kedua orang tua kandung serta neneknya meski dengan drama sana sini.

Dan Gracia yang harus kembali ke kantornya, melihat perkembangan setelah lama ditinggal.

"Kak Gre----" Sapa Vino terlihat canggung ketika melihat Gracia datang bersama Shani.

Gracia hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Kantor aman?" Tanya Gracia ketika melihat Vino salah tingkah sendiri.

"Aman Kak. Maaf kalau Vino disini. Kalau Kakak ga suka, Vino bisa mengajukan resign------"

"Terimakasih udah bantuin Shani dan Mario selama saya gak ada." Potong Gracia.

Respon yang tak diduga oleh Vino. Padahal sejak tadi dia sudah panas dingin ketika Gracia menatapnya tanpa ekspresi sedikitpun. Dia bahkan sudah siap jika kedatangan Gracia menjadi tanda ini hari terakhirnya bekerja disini.

"I-iya Kak. A-aku yang harus ucapin makasih sama Kakak karena diijinkan bekerja disini."

"No Problem. Selamat bekerja Vino." Ucap Gracia lalu berlalu pergi diikuti Shani. Sempat Vino dan Shani saling tatap sebelum akhirnya kontak mata terputus karena Shani harus mengejar Gracia.

"Apa kamu sudah memutuskan?" Tanya Vino ketika tak sengaja berpapasan dengan Shani di pantry.

"Belum."

"Aku masih berharap, aku yang kamu pilih Shan."

"Nanti jam 1 Kak Gre mau meeting sama semua staff, tolong kamu kabarin yang lain." Ucap Shani mengalihkan pembicaraan lalu pergi begitu saja.



____



Hari-hari berlalu, aktifitas mulai berjalan normal kembali. Gracia yang kembali fokus urusan kantor dibantu Shani, walau kini Shani mulai aktif lagi praktek di Rumah Sakit. Tidak ada yang berubah kecuali situasi dimana Gracia, Shani dan Vino dipaksa harus berada dalam 1 ruangan cukup lama. 

Vino dan Shani terlihat seperti manusia yang sedang berperang dengan pikirannya sendiri, sedangkan Gracia terkesan santai saja menjalani hidup. Bahkan seringnya Gracia memilih undur diri pindah ruangan meninggalkan Shani dan Vino hanya berdua.

Tak jarang dirumah Gracia juga terkesan mengurangi intensitasnya untuk duduk lama berdua dengan Shani, kecuali jika ada Chika atau Ara disitu.

Tentu saja itu membuat Shani tak suka.

"Kakak mau kemana?" Tanya Shani buru-buru mengejar Gracia.

"Mau ke kantor sebentar."

"Malam-malam begini?"

"Udah biasa kan? Cuma ngecek sesuatu."

"Shani ikut."

Gracia menaikkan sebelah alisnya heran. Setidak pekanya Gracia, namun ia bisa merasakan jika akhir-akhir ini Shani sering sekali mengikuti Gracia  "Ngapain?"

"Ikut aja."

"Dirumah aja. Tidur"

"Ikut pokoknya, Shani trauma di tinggalin."

Gracia hanya terkekeh pelan. Apa adiknya ini masih menyimpan dendam karena dua tahun di tinggalkan, atau karena ada hal lain yang ingin ia lakukan?

"Mungkin mau ketemu Vino" pikir Gracia.

"Yaudah pakai jaket. Kakak tunggu di mobil"

Tanpa kata apapun Shani melesat menuju kamarnya. Lalu segera menyusul Gracia.

Benar saja, ternyata memang Vino masih ada di Restoran. Pantas saja Shani kukuh ingin ikut.

"Malam Kak Gre" sapa Vino masih canggung.

"Malam." Jawab Gracia sekenanya "Temenin Shani dulu, saya ada urusan di atas."

Shani malah melotot tak percaya, bisa-bisanya Gracia berkata demikian.

"Baik Kak"

"Shani mau ikut Kak."

"Tunggu sebentar. Kakak gak lama"

Shani akhirnya pasrah. Ia duduk disusul Vino yang juga ikut duduk lalu menatap Shani penuh harap.

"Aku udah bisa dapat jawaban?"

"Tentang?"

"Pilihan kamu"

Hampir saja Shani lupa jika ia masih punya hutang jawaban pada Vino. Akhir-akhir ini ia terlalu menyibukkan diri dengan Gracia. Shani merasa hidupnya kembali, setelah sebelumnya hilang setengahnya.

Harusnya Shani sudah punya jawaban pasti.
Dan harusnya Shani sudah siap menentukan pilihannya.

"Kalo kamu masih butuh waktu--

"Maaf Vin."

Vino mendadak lemas mendengar kata maaf dari Shani. Rasanya ini bukan hal baik yang ingin ia dengar.

"Maaf kalo aku harus mengatakan ini. Aku milih Kak Gre. Aku sadar kalo aku gak bisa hidup tanpa Kak Gre."

Vino mengangguk lesu. Pupus sudah harapannya selama ini. Mau tidak mau, ia harus menerima keputusan pahit ini.

Vino memaksakan senyumnya, ia meraih tangan Shani di atas meja lalu di genggamnya. "Walaupun berat, tapi aku tetap terima keputusan kamu. Makasih udah kasih aku kesempatan buat deketin kamu lagi, walaupun pada akhirnya aku harus kalah telak. Aku harap kamu masih mau berteman sama aku."

Shani mengangguk semangat
"Tentu saja Vin." ucap Shani bertepatan dengan Gracia yang kini berdiri disamping Shani.

"Mau pulang apa nginep?" Tanya Gracia lalu pergi. Ia sedikit tak suka dengan pemandangan di hadapannya tadi.

"Kak--

Shani buru-buru berdiri mengejar Gracia, sempat melambaikan tangannya pada Vino sebagai tanda ia pamit.

"Kakaaaak!"

"Tungguin."

Shani segera masuk ke mobil, menatap Gracia tajam.

"Seneng banget ninggalin."

"Kirain mau nginep sama pacarnya."

"Emang boleh?" Shani malah tersenyum tengil. Tak peduli dengan raut wajah Gracia yang kini tidak bersahabat. "Besok-besok deh."

Shani tertawa dalam hati ketika Gracia mendengus lalu  tancap gas tanpa basa-basi.



_____



Setelah beberapa kali usaha Shani untuk meminta perhatian Gracia Gagal. Akhirnya malam ini Shani memutuskan untuk menemui Gracia di kamarnya.

"Kaak... Shani boleh masuk?"

"Masuk aja." ucap Gracia menyimpan bukunya di meja.

"Kakak kok belum tidur?" Ucap Shani setelah merebahkan tubuhnya di samping Gracia.

"Itu pertanyaan buat kamu harusnya."

"Shani belum bisa tidur."

Gracia mengusap pipi Shani sekilas "Kenapa? Ada yang di pikirin?"

"Ada"

"Apa?"

"Vino."

Gracia hanya menghembuskan nafas, sebisa mungkin ia bersikap biasa saja. 

"Kapan?"

"Apanya kapan?"

"Mau serius sama Vino kan? Kapan tanggalnya, nanti Kakak yang urus persiapannya."

Shani mendengus kesal. Selalu saja Gracia bersikap demikian.

"Yakin rela?"

"Yakin."

"Katanya sayang sama aku, tapi kok di relain gitu aja?"

"Justru karena sayang, makanya Kakak relain. Asal kamu bahagia."

"Kalo gak bahagia?"

"Ya Kakak ambil lagi."

Shani menatap tak percaya, selalu saja ada kalimat tak terduga dari kakaknya ini.

"Emang Shani barang." Gerutu Shani.

"Terus kapan?" Ucap Gracia menatap Shani sambil menaikkan satu alisnya.

"Aku gak milih Vino."

Satu alis Gracia kembali terangkat. Seolah tak percaya dengan kalimat Shani barusan.

"Sorry?"

"Shani gak milih Vino."

"Kenapa?"

"Shani bersyukur untuk banyak hal yang terjadi. Kalo gak gitu mungkin Shani gak akan pernah sadar kalo Shani gak bisa tanpa Kakak. Semua hal terasa cukup kalo sama Kakak. Shani gak butuh apapun lagi selain Kakak."

Gracia menarik sedikit sudut bibirnya, hampir tak terlihat sebenarnya. Tiba-tiba saja perasaannya menghangat setelah mendengar penuturan Shani. Ini kah jawabannya?

"Shani cuma mau hidup sama Kakak."

Ditariknya Shani ke dalam dekapan. Tak ada respon apa-apa, selain pelukan yang semakin dieratkan. 



___




Waktu terus berjalan. Shani pikir setelah memantapkan pilihannya, mengutarakan keinginannya pada si pemilik hati, tak jarang bersikap seperti barang diskon yang diobral murah, Kakaknya akan berubah sikap. Menganggapnya bukan sebagai adik lagi.

Ternyata sama saja.

Dan itu membuat Shani kesal setengah hidup.

Seperti hari ini, niat hati ingin mengajak Kakaknya jalan-jalan berdua menikmati weekend dengan tenang, Kakaknya justru harus keluar kota mendadak selama beberapa hari untuk menemui Kakek Jonathan yang kebetulan sedang di Indonesia. Shani harus rela tidak ikut karena mendadak dia ada jadwal operasi yang tidak bisa digantikan. Apesss.

Kesalnya bertambah ketika tiba-tiba Vino mengajaknya pergi dengan alasan atas suruhan Gracia karena tak ingin Shani kesepian. Mengingat Ara dan Chika sudah kembali lagi ke Jerman untuk lanjut studi.

"Aaaaarrrggghhhh Kakaaaak!!!" Teriak Shani di dalam kamar sendirian seperti orang kesurupan setelah Vino pulang.

Kekeselannya sudah sampai di ubun-ubun.

Beberapa kali dia mencoba menghubungi ponsel Gracia namun tak tersambung sama sekali. Kakaknya seperti sengaja mematikan ponselnya. Chatnya sejak Gracia berangkat 6 jam yang lalu pun tidak di read sama sekali.

"Kamu maunya apa sih Kaaaak!!!!" Geram Shani lalu membanting dirinya di kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

Tidur jadi salah upaya meredam emosi agar tidak terbuang sia-sia. Pikir Shani.

Baru 3 hari kemudian Gracia kembali. Ponselnya juga baru di aktifkan hanya untuk mengabari Shani bahwa dia senang dalam perjalanan pulang.

Selama 3 hari itu pula, Vino yang tiap hari datang menemui Shani. Entah hanya mengajaknya makan atau duduk ngopi berdua di rumah. Tentu alasan Vino sama. Atas perintah Gracia yang tak bisa dibantah.

"Mau Kakak tuh sebenarnya apa sih?!!!!" Ucap Shani tanpa basa basi ketika Gracia baru saja masuk rumah.

"Jujur aja kalau perasaan Kakak udah berubah ke Shani! Ga usah boong dengan bilang perasaan itu masih sama. Sikap Kakak selama ini udah nunjukin kalau Kakak udah ilang rasa!"

"Shan-----"

"Apa maksudnya nyuruh-nyuruh Vino kesini hah?!! Biar Shani ga kesepian? Bullshit Kak!! 2 tahun Kakak tinggalin, Shani bisa hidup sendiri. Kenapa sekarang sok-sok jadi pahlawan dengan ngirim temen buat Shani!"

"Shan dengerin dulu------

"Kakak yang harus dengerin Shani! Selain penjahat Kakak juga penipu! Pembohong!!"

"Bukan gitu maks-----

"Bukan gitu, bukan gitu apa!! Shani cape berusaha ngerti maunya Kakak, tapi Kakak ga pernah ngerti maunya Shani!"

"Dengerin dulu Shan-----"

"Dengerin apa?!! Dengerin kalau akhirnya Kakak berubah pikiran?! Kalau Kakak ud-------"

"Dengerin dulu SAYANG!!!" Potong Gracia dengan nada meninggi. Dia tak ikut marah, hanya supaya amukan Shani mereda dan mau mendengarkannya.

Shani diam sambil ngos-ngosan.

"Niat Kakak cuma mau kasih waktu kamu lebih banyak sama Vino berdua. Memberi kesempatan siapa tau mungkin kamu berubah pikiran lagi untuk balik sama dia. Hubungan kalian bukan 1 atau 2 tahun. Kakak perlu memastikan juga keinginanmu ini bukan hanya imbas dari kejadian kemarin. Takut ditinggalkan atau takut kehilangan itu belum tentu perasaan cinta, jangan sampai kamu salah mengartikan."

"Shani bukan anak kecil Kak!" Ucap Shani tak terima.

"I know."

"Hanya itu Kak?!! Hanya itu jawaban Kakak?!! Kalau udah tau terus ap---"

"Nikah?"

Amarah Shani mendadak menguap saat Gracia bertanya sambil menyodorkan sebuah cincin padanya.

"Kita nikah?" Ulang Gracia lagi

"K-kak apa ini ga terla----"

"Terlalu cepat?" Shani mengangguk. "Umur kakak udah ga pantes buat pacaran. Daripada pacaran, status kakak-adik yang kita punya jauh lebih jelas daripada status pacaran yang bisa aja putus nyambung."

"Kak-----"

"Dengan catatan kalau kamu udah siap. Kalau belum, biar kita jalani hubungan seperti ini. Aku kakakmu, kamu adikku." Gracia mempertegas keinginannya.

"Kita nikah Kak. Kita nikah secepatnya!" Ucap Shani mantap tanpa pikir panjang. Nyatanya dia lebih takut Gracia yang berubah pikiran daripada dirinya.

Maka ketika kesempatan yang mungkin hanya sekali seumur hidup itu datang, Shani tak ingin melewatkannya.

"Ambil cincinnya." Perintah Gracia.

Segera setelah cincin itu berpindah ke tangan Shani, Gracia merentangkan kedua tangannya. Senyumnya kali ini lebih lebar dari yang biasa dia perlihatkan pada orang-orang.

Tak butuh waktu lama, dirinya ditubruk oleh Shani yang kini sedang memeluknya erat. Menyalurkan semua rasa yang sempat tertahan pada Gracia. Membuktikan bahwa bahagia Shani cukup dengan Gracia.

"Akhirnya aku bakalan bisa merasakan pelukan ini selamanya Kak. Selamanya."

"Ya, sampai mati." Balas Gracia.

Shani mendongakkan kepalanya menatap Gracia.

Lambat laun tubuh keduanya seperti tersihir, saling mendekat sampai akhirnya bibir keduanya bertaut makin dalam....dan makin dalam.


____



Tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiran Shani bahwa hari ini akan terjadi. Hari dimana ia mengucap janji sehidup semati dengan Kakaknya sendiri. Takdir selucu itu memang.

Kadang sesekali Shani masih suka protes pada Gracia. Kenapa ia tidak memberitahukan semua fakta ini sejak dulu. Mungkin Shani dan Gracia harusnya sudah bisa bersama sejak lama. Tidak harus ada drama segala.

Tapi Gracia tetap Gracia. Dia hanya berkata 'Sudah takdirnya seperti itu. Terima aja'.

Dasar manusia pasrahan.

Shani menoleh ke arah Gracia yang kini berbaring di sampingnya. Fokus pada ponsel miliknya padahal ini malam pertama mereka. Harusnya tidak ada yang lebih menarik dibanding Shani. Kenapa Kakak--- eh istrinya itu lebih tertarik pada hal lain.

Sebenarnya Shani agak canggung juga dengan posisinya saat ini. Secara kan status mereka sudah berubah, naik level jauh sekali. Shani memang bisa dengan mudah membiasakan diri, namun belum tentu Gracia bisa adaptasi semudah Shani.

"Kamu kenapa liatin Kakak kaya gitu?"

Shani mengerjap saat Gracia bertanya.

"Kakak sibuk banget sih!?"

"Cuma ngecek email kerjaan."

Shani mendengus. Bisa tidak sehari saja Gracia tidak memikirkan pekerjaan.

"Kakak tau kan aku siapa?"

"Shani."

"Ck! Ya aku apa?"

"Manusia kan?"

Memang manusia titisan kulkas 4 pintu ini menyebalkan.

"Kakak tau kan sekarang kita ini apa? Gak usah pura-pura bodoh deh."

"Iya tau"

"Lalu?" Tanya Shani gemas.

"Lalu apa?"

Shani mau berharap apa dari makhluk di sampingnya ini. Boro-boro mau manya- menye manja-manja. Yang ada malah bikin kesel terus bawaannya.

"Aku ini sekarang istri kamu!" Ucap Shani penuh penekanan. "Ngerti kan?"

"Iyaa ngerti. Lalu apa?"

"Argghh!! Tauk ah!"

Shani berbalik memunggungi Gracia yang kini mengulum senyumnya. Ia paham apa yang Shani mau, hanya saja ia senang menggoda Shani.

Kadang Gracia juga masih tak percaya jika status mereka sekarang sudah berbeda. Dua puluh tahun lebih berinteraksi sebagai adik kakak, sekarang tidur satu ranjang dengan status istri, rasanya sungguh luar biasa. Luar biasa aneh.

Gracia menyimpan ponselnya, beralih memeluk Shani dengan erat.

"Kamu maunya apa?" Bisik Gracia membuat Shani tersenyum tipis.

"Kalo mau sesuatu tuh bilang, bukannya misuh."

Lagi, Suara lembut Gracia berhasil menghipnotis Shani.

"Sayang?"

Tak lama Shani berbalik, tersenyum lalu memeluk erat pinggang Gracia.

Wajahnya mendekat mengikis jarak
"Mau kamuuu."

Lalu menempelkan bibir keduanya.


________



"Sayang?"

"Hmmm?" Jawab Gracia ketika tiba-tiba Shani memeluknya dari belakang.

"Kakek Jo belum minta Kakak cepet balik ke Jerman kan?"

"Kenapa?"

"Aku masih mau disini." Ucap Shani seperti anak kecil yang sedang merajuk.

Gracia balik badan lalu membalas pelukan Shani.

"Biar Chika sama Ara yang balik duluan. Summer Holiday mereka udah mau selesai." Jawab Gracia dengan senyum tipis namun tatapannya begitu hangat pada Shani.

"Bulan depan Kak Fio sama Anin tunangan, aku mau bantu acara mereka."

Gracia mendesah pelan. "Kenapa Anin mau sama dia sih? Kayak ga ada yang laen."

Shani terkekeh. "Kak, please...."

"Ya t-tapi kan-----" Gracia masih memperlihatkan sikap tidak terima.

"Jodoh ga ada yang tau Kak, kayak kita." Ucap Shani sambil mendusel dusel hidungnya pada Gracia.

Gracia akhirnya tersenyum lebar, antara geli atau menertawakan jalan hidupnya sendiri.

"Ya, kayak kita." Ucap Gracia sambil mengecup sekilas bibir Shani.






-beneranEND-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro