Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 8

Mobil Porsche Putih milik Shani akhirnya berhenti tepat di depan sebuah rumah besar. Rumah yang sudah menjadi tempat berteduh dan melepas semua  keluh kesah tiga orang kakak beradik itu selama bertahun-tahun. Rumah saksi perjuangan jatuh bangun Gracia dan Shani demi kehidupan yang layak untuk mereka berdua dan tentu saja adik bungsunya.

Shani menoleh kesamping dan menemukan Gracia bersandar dengan masih memejamkan mata. Sepertinya kakaknya itu belum menyadari bahwa mesin mobil sudah mati sejak beberapa menit yang lalu. Bimbang antara membangunkannya atau menggendongnya saja kedalam. Akhirnya opsi kedua dia pilih karena melihat wajah kakaknya yang masih terlihat menahan sakit. Beberapa bulir keringat sebesar biji jagung terlihat di pelipisnya. Shani mendesah pelan.

Perlahan dia keluar dari mobil dan berjalan ke sisi samping tempat Gracia duduk. Pintu mobil dibuka, namun kakaknya sama sekali tak bergerak. Apa boleh buat, segera ia menyusupkan satu tangan ke bawah kaki dan satu tangannya lagi ke badan Gracia. Menggendongnya ala pengantin dan segera membawanya masuk kerumah.

"Hei." Gracia terbangun ketika Shani sedang menaiki tangga menuju lantai atas.

"Jangan gerak kak. Nanti kita jatuh." Gracia yang mengerti akhirnya mengalungkan lengannya ke leher Shani.

"Turunin aja kenapa. Udah kayak orang lumpuh aja harus digendong." Ucap Gracia.

Shani tidak menjawab, dia hanya memberi kode agar Gracia membantunya membukakan pintu kamarnya.

Segera ia membawa kakaknya itu duduk di atas ranjang.

"Besok makan yang banyak kak. Kamu kurus banget." Ucap Shani sedikit ngos-ngosan.

"Ngejek kurus tapi gendong kayak gitu aja ngos-ngosan." Nada Gracia sedikit tidak terima.

"Justru karena aku bisa gendong kakak walau ngos-ngosan makanya aku bilang kurus. Bobot kakak udah memenuhi standar kalau aku ngangkat aja udah ga bisa." Bantah Shani.

"Ngeles terus." Ucap Gracia kemudian berdiri.

"Mau kemana kak?"

"Ganti baju. Kita harus siap-siap kerumah sakit lagi."

"Kak...." Shani memanggil Gracia yang kini sibuk mencari sesuatu di dalam lemari.

"Kak..." Panggilnya sekali lagi karena Gracia tak juga menggubrisnya.

"Apa?" Gracia akhirnya menoleh.

"Jangan bikin aku sia-sia gendong kakak dari luar kesini kalau akhirnya aku harus liat sakit kakak kambuh lagi. Malam ini kita ga kerumah sakit."

"Chika?" Tanya Gracia.

"Dia udah baik-baik aja. Ada banyak perawat yang jagain disana. Atau kalau perlu aku telpon Ara biar dia ada temen ngobrol." Gracia diam seperti berpikir sesuatu.

"Stop mikirin hal lain kak. Yang perlu kamu pikirin kondisi kamu sekarang. Dan stop berpura-pura kalau kakak baik-baik aja di depan aku, karena aku ga percaya!" Shani kini berjalan mendekat ke arah Gracia. Mengikis jarak.

Diusapnya pelan tangannya ke pelipis dan dahi Gracia. Benar saja keringat dingin dia rasakan saat tangan itu menyentuh permukaan kulit. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya, serta merta dia memutar posisi mencari piyama milik Gracia di dalam lemari.

"Ayo ganti baju." Gracia yang berdiri disamping Shani hanya bisa menatap tak percaya ulah adiknya ini.

"Malam ini aku ga mau dibantah kak. Sekarang ganti baju lalu naik ke tempat tidur." Perintah Shani. Gracia bergeming.

"Kak? Mau ganti sendiri atau aku yang gantiin?" Shani mulai kesal.

"Oke. Ganti sendiri." Akhirnya Gracia menurut kemudian mengambil piyama dari tangan Shani dan masuk ke kamar mandi.

Tak lama Gracia keluar dari kamar mandi berbarengan dengan Shani yang masuk kembali ke kamarnya dengan membawa segelas air putih.

"Itu obat sama air putih udah aku siapin. Kalau tengah malam kakak kebangun dan masih ngerasa sakit obatnya diminum lagi ya." Gracia hanya mengangguk kemudian naik ke tempat tidur. Dia merebahkan dirinya dengan dibantu Shani yang membetulkan selimut.

"Besok istirahat full dirumah. Ga usah ke kantor. Aku juga ga ada shift besok, jadi besok pagi aku cuma kerumah sakit jemput Chika, dia udah bisa pulang."

"Jemputnya sama kakak."

"Ish ngeyel kalau dibilangin! Dirumah aja, istirahat! Aku pergi juga cuma jemput jadi ga lama."

"Ya udah." Gracia akhirnya mengalah kemudian memejamkan mata kembali.

"Kak?" Shani belum beranjak dari duduknya disamping Gracia. Gracia yang mendengar namanya dipanggil akhirnya membuka matanya kembali.

"Hmmm?"

"Jangan sakit...Please jaga diri. Dari dulu kakak selalu mentingin kesehatan aku sama Chika, selalu marah kalau kita bandel. Tapi kenapa kakak selalu lupa mentingin diri kakak sendiri? Kalau aku bisa, aku bakal stay disamping kakak terus tiap detik, perhatiin pola makan kakak, istirahat kakak."

"Udah naluri." Jawab Gracia dengan hanya tersenyum tipis.

"Ini pasti gara-gara Vino datang ya sampe kakak ga mood makan tadi? Aku minta maaf ya. Aku ga tau kalau dia tiba-tiba datang kerumah sakit tanpa ngabarin dulu." Ucap Shani terlihat menyesal.

"Udah dibilang bukan salah siapa-siapa, kenapa harus dibahas lagi?" Nada Gracia terlihat mulai tidak suka.

"Aku cuma...."

"Lupakan, oke? Mungkin kebetulan aja tadi mau makan ada panggilan urgent. Bukan karena siapa-siapa." Jelas Gracia yang terlihat enggan menyebut nama Vino. Shani kemudian diam memikirkan sesuatu.

"Ada yang mau kamu sampaikan ke kakak?" Tanya Gracia yang seakan mengerti diamnya Shani kali ini.

Pikiran Shani kembali ke kejadian tadi siang, dimana Vino mengatakan ingin segera menikahinya. Apakah dia harus mengatakannya sekarang? Tapi mungkin lebih baik tidak sampai Vino kembali dan meminta restu Gracia terlebih dahulu. Dia akan berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa.

Rasa bimbang itu kembali lagi memenuhi rongga hatinya. Kali ini rasanya berkali-kali lipat lebih kuat dibanding tadi siang. Bukan karena takut Gracia tidak akan merestui. Melihat Chika yang masih dirumah sakit, dan Gracia kini yang terbaring dengan wajah pucatnya, lagi-lagi dia merasa masih belum siap untuk meninggalkan kedua saudaranya ini.

"Shani....." Gracia memegang lengan Shani. Membuat Shani akhirnya tersadar dari pikirannya sendiri.

"What's wrong?" Tanya Gracia lagi.

"Emm gapapa kak. Ya udah kakak tidur ya. Kalau butuh apa-apa teriak aja. Shani dikamar." Shani kemudian berdiri tak lupa mencium pipi sebelum akhirnya dia keluar.

Gracia hanya memandang adiknya yang keluar dari kamar dengan dingin. Jangan dikira dia akan menelan mentah-mentah perkataan Shani tadi. Mereka hidup bersama tidak 1-2 tahun. Shani adalah adiknya. Dia sangat mengerti bagaimana perilaku adiknya ketika sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi dia akan mencari tahu besok ketika dirinya sudah pulih. Tubuh yang lemah tentu akan sangat menghambat semua rencananya.

------------------

"Pagi Cantik." Sapa Shani ketika memasuki ruangan Chika.

"Pagi Ci." Balas Chika yang sedang mencoba menghabiskan sarapannya.

"Maaf ya semalam Cici tinggal dan ga balik. Kak Gre sakit." Jelas Shani.

"Kak Gre sakit?" Tanya Chika kaget tak jadi memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

"Iya. Maag-nya kambuh. Tapi udah gapapa kok. Semalam disini sama siapa?"

"Ada mba-mba perawat dua orang yang kesini tiap dua jam sekali kok. Lagian juga semalam aku telponan sama Ara jadi ga sepi-sepi banget."

"Oh ya. Ngomongin apa? Seru pasti ya!" Ucap Shani sambil memeriksa denyut nadi dan Jantung Chika.

"Semalam pada mau ngasih surprise Ulang tahunnya Indah. Terus mau makan-makan tapi ditunda katanya." Chika memulai ceritanya.

"Kenapa?" Tanya Shani lagi.

"Nunggu aku sembuh, biar bisa pergi sama-sama."

"Ya udah bilang sama Ara dan temen-temennya mau kapan. Chika udah siap gitu."

"Maksudnya kak?"

"Siap pulang kerumah sekarang?" Shani sedikit membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan Chika.

"Aku udah bisa pulang Ci?" Mata Chika berbinar.

"Iya. Kak Gre udah nunggu dirumah tuh. Jangan bandel lagi ya, enakan tidur dirumah kan daripada disini?"

"Iya Iya maaf Chika kapok. Ga ngulangin lagi."

"Anak pinter." Shani tersenyum kemudian mengusap pelan kepala Chika.

--------------------------------

Gracia bangun dan mendapati suasana rumah sepi. Teringat Perkataan Shani semalam bahwa pagi ini dia akan kerumah sakit untuk menjemput Chika. Tak perlu repot mandi, setelah makan beberapa potong roti yang terletak di meja samping tempat tidurnya, Gracia berjalan menuju meja kerjanya dan membuka laptop.

Padahal wanita ini sudah dilarang untuk tidak bekerja hari ini, namun sifat dasarnya yang keras kepala membuat larangan itu ga ada harga dirinya. Baginya yang penting dia sudah menurut untuk tidak ke kantor hari ini.

Tadinya hanya mengecek beberapa email, tapi apa daya jadi keterusan mengecek hal-hal lainnya juga dan tanpa sadar waktu sudah berjalan hampir dua jam lamanya. Merasa sudah cukup, baru akan menutup laptop muncul notifikasi email baru dari Mario, Managernya. Tanpa pikirnya panjang, email itu dia buka. Seketika keningnya bertaut jadi satu. Wajahnya mengeras. Dengusan kasar keluar dari mulutnya.

"Kenapa dia?" Ucap Gracia pelan. Segera dia berdiri mengambil ponselnya yang masih berada didalam tas sejak semalam.

"Halo." Ucap Gracia setelah ia tersambung pada seseorang.

"Ga ada orang lain yang bisa diajak kerja sama?"

"........."

"Indonesia banyak orang-orang kompeten di bidang itu. Kenapa harus dia?"

"......."

"Oke! Pending dulu semuanya sampai saya datang. Hari ini saya ga bisa kesitu."

"......"

"Good." Gracia melempar ponselnya ke atas kasur setelah panggilan terputus. Mendadak kepalanya berdenyut. Baru saja merasakan perutnya baik-baik saja. Masalah baru muncul dan kini membuatnya sakit kepala.

Tak lama Gracia mendengar Suara berisik dari bawah. Sepertinya itu Shani dan Chika yang pulang. Buru-buru dia keluar kamar masih menggunakan piyamanya.

"Kak Geee." Chika melepaskan diri dari papahan Shani, berjalan sedikit cepat kemudian memeluk kakaknya yang kini berdiri di dekat tangga.

"Welcome home." Ucap Gracia sambil membalas pelukan Chika.

"Everything's good?" Tanya Gracia.

"Harusnya aku yang nanya Kak Ge gapapa? Cici baru ngasih tau aku kalau Kak Ge sakit." Ucapnya cemberut sedangkan Gracia hanya tersenyum.

"Kalau Kakak sakit ga mungkin berdiri disini kan? Udah sembuh kok. Kamu udah gapapa beneran?"

"Gapapa aku udah sehat."

"Ya udah ke kamar gih." Chika mengangguk kemudian naik perlahan ke kamarnya. Shani yang sedari tadi hanya menyaksikan interaksi mereka berdua, kemudian maju mendekati Gracia.

"Udah makan kak? Udah minum obat?"

"Udah." Jawab Gracia.

"Perutnya gimana.?"

"Gapapa." Perlahan Shani memegang dahi Gracia. Gracia hanya memandang Shani malas.

"Muka kamu kalau kayak gitu terus cepet keriput nanti." Gracia tiba-tiba mengomentari raut wajah Shani yang terlihat mengkerut sejak tadi.

"Aku khawatir tau ninggalin kakak tadi pagi disini. Takut kakak butuh apa-apa tapi ga ada orang."

"Udah bukan anak kecil yang dikit-dikit harus dijagain. Sana adik kamu diurus dulu. Kakak mau mandi."

"Tapi kak...." Shani ingin protes.

"Debatnya lanjut di kamar kakak aja nanti setelah urusan Chika kamu beresin." Gracia kemudian berbalik naik ke kamarnya meninggalkan Shani yang sedang cemberut kesal.

---------------

"Rapat ntar sore pending dulu." Ucap Ara tiba-tiba di akhir pelajaran.

"Lhoo eh lhoooo. . Kenapa?" Tanya Sholeh.

"Chika udah pulang. Habis ini gue mau kesana."

"Ikut dong Ra. . " Aldo tiba-tiba berdiri disampingnya.

"Ada Kak Gre."

"Ah lo mah alasannya itu mulu."

"Yee siapa yang alesan. Kalau mau ikut ya ayo. Emang tadi gue nglarang. Gue cuma bilang ada Kak Gre."

"Shol ikut kagak?" Aldo malah bertanya pada Sholeh.

"Terserah!"

"Ck jawaban lo kek cewek anjay! Salah gue nanya lo! Ndah?" Kali ini Indah yang ditanya. Yang ditanya malah diam berpikir.

"Dah kelamaan! Lo bertiga ga usah ikut, biar gue aja. Mikir gitu doang kek mikir negara." Ara segera menggendong tas ranselnya dan berjalan keluar kelas.

"Lo si Ndah gitu doang pake mikir segala." Ucap Aldo dengan kesal.

"Eh biji nangka kenapa lo malah nyalahin gue. Tinggal kejar sono Ara, ga usah tanya-tanya gue. Gue mau balik." Indah akhirnya mengikuti jejak Ara keluar kelas meninggalkan kedua temannya.

"Cewek kenapa ribet banget sih. Heran!"

"Lo yang ribet. Tinggal ngintil doang segala pake semua diwawancara. Bodo ah gue mau balik. Ndah tungguin guee.." Teriak Sholeh yang masih sempat menggeplak kepala Aldo kemudian berlari keluar.

"Ah ternyata daku memang cowok sejati. Selalu salah dimatamu." Aldo bergumam sendiri sambil geleng-geleng kepala.

Ara mengendarai motornya dengan kecepatan sedang menuju rumah Chika. Di tengah jalan tidak sengaja dia melihat seseorang yang sangat familiar. Seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di pinggir jalan, sepertinya ada masalah dengan mobil yang dikendarainya. Ingin membantu tapi setan-setan yang menari di kepalanya lebih kuat pengaruhnya, menyuruhnya untuk mengabaikannya. Alhasil dia hanya bisa melewati wanita itu dengan perasaan tak karuan. Untungnya dari spion dia bisa melihat ada orang yang menghampiri dan berniat membantu si wanita tadi. Seutas senyum tercetak di wajahnya.

"Liat dia berdiri dengan sehat aja udah seneng kok." Ucap Ara dalam hati kemudian menambah kecepatan motornya agar cepat sampai di tujuan.

-------------------

"Tetap pastikan Dua Natio itu masih dalam pengawasan ketat kalian."

"Saya sudah pikirkan cara untuk menariknya kembali. Tinggal tunggu waktu yang tepat."

"Terus cari titik kelemahannya karena kedua orang itu akan menjadi penghalang terbesar untuk kita menjalankan rencana selanjutnya."

"Oke. Update terus ke saya sekecil apapun info yang kamu dapat. Saya tidak ingin ada kesalahan sedikitpun."

Panggilan terputus. Namun dia tetap masih berdiri disana menatap kosong ke area taman belakang dari balkon atas. Pikirannya terus berperang mencari cara untuk mendapatkan apa yang dia mau. Sifat angkuhnya tak luntur sedikitpun meski usianya kini sudah lebih dari setengah abad. Tak ada yang berani membantahnya meski itu keluarganya sendiri. Semua harus berjalan sesuai perintahnya. Wanita tangguh, sayang isi pikirannya selalu mencerminkan manusia yang tidak punya empati. Hingga akhirnya sebuah suara mengagetkannya.

"Ma..apa yang sedang mama rencanakan selama ini?"

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro