Part 6
Ruangan yang dominan putih itu. Hening, tidak ada satupun suara terdengar kecuali helaan nafas dua anak manusia yang saling tatap dan sesekali saling melempar senyum tatkala dua bola mata keduanya bertemu. Jari-jari tangan keduanya masih saling menggenggam seakan takut ditinggalkan satu sama lain.
"3 kutu titip salam buat kamu. Cepet sembuh katanya." Ucap Ara akhirnya memecah kesunyian.
"Iyah. Mereka ga ada niatan nengok aku kesini kan?" Senyuman dan raut penuh khawatir bercampur jadi satu di wajah orang yang masih terbaring lemah di ranjang itu.
"Ada. Tadi malah mau ikut kesini."
"Ish jangan dibolehin Ara. Kamu udah janji ya sama aku." Wajahnya kini berganti kesal. Sedangkan orang yang duduk disebelahnya bukannya takut malah senyum.
"Malah senyum. Kalau beneran kesini, awass aja ya!"
"Emang kamu mau ngapain mereka? Bangun aja masih susah." Ara dengan muka tengilnya bukan menenangkan malah menambah emosi.
"Tauk ah! Capek kalau ngomong sama kamu mah!" Genggaman tangannya dilepas sedikit kasar. Dengan sisa tenaga yang ada, Chika memalingkan wajahnya ke sisi lain tak ingin menatap Ara.
"Ngambek neng geulis? Ara cuma becanda atuh. Maafin ya, jangan marah." Dengan lembut Ara memegang sebelah pipi Chika agar dia mau menatapnya kembali.
"Becanda kamu ga lucu."
"Iya. Maafin Ara ya. Tadi mereka memang maksa mau ikut kesini cuma aku bilang kalau ada Kak Gre jadi mereka mundur. Tau sendiri kan mereka kalau sama Kak Gre gimana." Jelas Ara.
"Cuman karena Kak Gre? Lagian apa sih yang ditakutin dari Kak Gre. Dia ga pernah gigit kok."
"Ya kamu ga takut karena kamu adiknya. Coba deh balik posisi sini minimal jadi aku deh biar kamu rasain sensasinya." Ucap Ara mencibir.
"Hehe ga perlu tukar posisi jadi kamu. Aku udah tau kok isi hati kamu." Ucap Chika. Glek. Ara sedikit kesulitan meneguk ludahnya sendiri. Tanpa sadar semburat merah muncul di pipinya. Entah itu benar atau hanya sebuah gombalan yang jelas Ara gesrek. Dasar lemah!.
"Ra. Ara! Ish! Malah diem aja." Ara tersadar dari lamunannya. Entah apa yang sedang dia pikirkan, semoga bukan pikiran jorok.
"Kenapa?" Tanya Ara.
"Mikirin apa sih? Diajak ngomong diem aja."
"Mikirin kamu." Andaikan ada Gracia disitu, sudah pasti sebuah toyoran di kepala dia terima.
"Apa?" Tanya Chika kaget.
"Mikirin kamu Chika."
"Mikirin apa emang? Jorok pasti."
"Nah itu tau."
"Ara!" Seketika Chika memegang dadanya. Emang Ara ga tau diri. Temen lagi sakit bukannya dibaikin biar sembuh. Malah dibikin tambah emosi. Itu jantungnya woy!.
"Eh eh. Maaf. Aduh aku lupa kalau kamu lagi sakit." Reflek Ara ikutan memegang dada Chika. Niatnya bener-bener cuma mau mengelus dadanya biar ga kumat lagi tapi apa daya sebuah geplakan dia terima.
"Apa sih Chik? Malah dipukul tangan aku." Tanya Ara dengan begonya.
"Ga usah nyari kesempatan kamu ya. Mesum!" Yang dikatain malah loading.
"Padahal niat aku beneran mau bantuin. Takut disemprot Kak Gre sama Cici weh, suruh jagain orang sakit bukannya dibikin cepet sembuh malah dibikin cepet mampus!" Ucap Ara.
"Mulutnya Ara!"
"Iya iya. Tenang Chik. Sabar. Tarik napas yang dalam. Kamu mah emosian orangnya."
"Itu juga gara-gara kamu!"
"Iya maaf." Ara kemudian mengenggam tangan Chika. Tangan sebelahnya mengelus kepalanya pelan.
"Mau minum, mau makan?" Tanya Ara pelan. Chika hanya menggeleng pasrah menikmati usapan lembut di kepalanya.
"Cepet sembuh sahabat aku. Sepi ga ada kamu di kelas."
"Khawatir ya sama aku?" Tanya Chika sedikit menggoda.
"Iya. Kamu ga tau rasanya pas tau kamu ga datang sampe jam pertama dimulai. Apalagi denger berita kamu masuk rumah sakit. Aku takut banget." Entah jawaban seperti ini yang diinginkan Chika atau bukan yang jelas dia kini melongo. Apalagi melihat muka Ara yang terlihat lebih serius dibanding tadi saat mengerjainya.
-------------------
Ara terbangun saat merasakan sebuah usapan di kepalanya. Dia membuka mata dan tersadar dia masih dirumah sakit. Tertidur di sofa. Memang semalam dia meminta ijin pada Gracia untuk menemani Chika biar Gracia dan Shani bisa pulang kerumah untuk istirahat sebentar.
"Bangun terus mandi."
"Kak Gre?" Gracia hanya mengangguk. Kemudian menunggu Ara duduk sambil mengumpulkan nyawa.
"Chika?" Tanya Gracia yang kini menatap Chika yang masih tertidur.
"Semalam udah mau makan kak. Lumayan banyak."
"Oke. Mandi. Baju seragam kamu ada ditas itu. Nanti ke sekolah bareng kakak." Gracia menunjuk sebuah tas di sudut sofa.
"Iya kak." Tanpa basa-basi Ara segera bangkit menuju kamar mandi.
Satu jam kemudian, setelah mereka berdua sarapan sambil menunggu Shani datang. Ara dan Gracia keluar dari ruangan meninggalkan Shani yang masih mengecek kondisi Chika hari ini.
"Kakak udah bilang Mario untuk liburin kamu hari ini. Jadi selesai sekolah langsung pulang istirahat." Ucap Gracia ditengah perjalanan menuju sekolah.
"Iya kak. Makasih."
"Kakak juga makasih kamu udah mau jagain Chika semalam."
"Gapapa kak. Aku malah seneng kok." Gracia hanya tersenyum tipis tapi tangan sebelahnya yang tidak memegang kemudi menepuk-nepuk pelan kepala Ara.
Dalam hati Ara senang bukan main karena jarang-jarang Gracia menampakkan sikapnya yang seperti ini. Dia jadi merasa tidak sendiri, merasa memiliki sosok kakak yang selalu melindungi. Meski Shani juga sering melakukan itu padanya, bahkan tak jarang memeluknya tapi tak akan lengkap rasanya jika Gracia belum melakukannya. Seperti merasa memiliki keluarga yang utuh.
"Makasih ya kak." Ucap Ara saat mobil Gracia berhenti di depan gerbang sekolahnya.
"Iya. Belajar yang bener."
"Iya kak. Hati-hati dijalan." Gracia hanya mengangguk. Ara baru masuk kedalam setelah melihat mobil Gracia menghilang di tikungan.
"Woy nyet!" Ara menoleh saat mendengar panggilan Aldo.
"Cie yang dianter Bu Bos." Goda Aldo sambil merangkul Ara.
"Kepo bener jadi orang." Dengan kasar Ara melepaskan rangkulan tangan Aldo di lehernya.
"Woya jelas! Always cantik ya Kak Gre. Coba kalau ga jutek." Aldo mulai mengandai-ngandai.
"Emang kalau dia ga jutek mau lo apain? Lo gebet juga kayak Bu Sisca? Kagak gue ijinin! Lo bukan levelnya dia, dan gue malah bersyukur banget dia jutek kayak gitu." Ara mempercepat langkahnya. Meninggalkan Aldo yang terbengong-bengong.
"Tuh anak sarap kali yak! Nyerocos aja. Padahal gue tadi mau bilang kalau dia ga jutek gue mau minta makan gratis di restonya. Ra tungguin woy!" Teriak Aldo.
Selama pelajaran berlangsung, tidak ada satupun materi yang masuk ke kepala Ara. Raganya memang dikelas, tapi pikirannya tidak. Pikirannya masih dipenuhi oleh satu orang yang masih terbaring di ranjang rumah sakit sampai hari ini.
Dia mengaku rindu padahal baru tadi pagi melihatnya. Kalau bukan karena Gracia yang sudah memberikan waktu libur untuknya agar bisa istirahat hari ini, mungkin dia akan nekat meminta ijin untuk menemani Chika lagi malam ini.
Seakan teringat pertanyaan Indah tempo lalu tentang perasaannya pada Chika. Sebenarnya Ara sudah punya jawabannya. Tapi belum saatnya mereka tau. Dia menyadari bahwa apa yang di rasakan saat ini bukan hanya perasaan biasa antar sahabat. Meski tidak yakin kapan rasa itu mulai tumbuh, tapi dia tidak bodoh untuk tahu bahwa rasa yang dia punya untuk Chika berbeda dari rasa yang dia punya pada teman-temannya.
Rasa yang jika diteruskan akan membahayakan kelangsungan hidupnya nanti. Makanya dia memilih bungkam, menutup rapat dan rapi perasaannya sampai dia tak sanggup lagi menyimpannya sendiri.
----------------
Tepat jam makan siang, Gracia menginjakkan kakinya lagi dirumah sakit. Baru sampai lobby rumah sakit, Gracia melihat Shani dan Vino sedang asyik mengobrol. Dia mengerutkan keningnya heran. Tapi dengan tenang dan tatapan tanpa ekspresi dia tetap berjalan hingga akhirnya Vino melihatnya.
"Eh Kak Gre, Selamat Siang." Sapa Vino berusaha ramah.
"Siang." Balasnya singkat.
"Kak Gre?" Shani menatapnya hati-hati seakan ada yang mau dibicarakan.
"Maaf Kak Gre. Saya kesini ga bilang-bilang dulu. Boleh ga kalau kali ini saya ajak Shani makan siang?" Tanya Vino masih dengan senyum terpampang di wajahnya.
Gracia hanya menatap Vino dan Shani bergantian.
"Cuma makan siang aja kok kak. Soalnya besok saya harus keluar negeri lagi. Boleh ya kak?" Gracia masih diam.
"Kak?" Kali ini giliran Shani meminta atensi. Seperti menagih jawaban, apapun itu, karena Gracia masih saja diam.
"Silahkan." Jawab Gracia kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. Shani hanya menatap punggung kakaknya yang berjalan semakin menjauh. Dilihatnya juga sebuah bungkusan makanan di tangan kakaknya.
Seketika rasa bersalahnya muncul. Pasti Kakaknya menyempat diri kesini untuk makan siang bersama di ruangan Chika. Tapi dia juga tidak bisa menolak Vino yang tiba-tiba datang menemuinya ingin melepas rindu karena cukup lama tak bertemu.
"Maaf Kak." Batin Shani.
"Sayang. Kok diliatin aja sih makanannya? Ga enak ya?" Tanya Vino pada Shani. Mereka kini sedang makan di restoran jepang tak jauh dari rumah sakit.
"Enak kok." Ucap Shani.
"Ya udah dimakan. Keburu dingin."
"Iya." Shani menurut. Tapi entah kenapa kali ini apapun yang masuk di mulutnya terasa hambar. Padahal yang dia pesan termasuk salah satu makanan favoritnya.
"Sayang, aku mau ngomong sesuatu sama kamu." Ucap Vino beberapa saat setelah mereka selesai makan.
"Mau ngomong apa?" Tanya Shani.
"Kamu udah ada kepikiran mau nikah belum?" Pertanyaan Vino seketika membuat Shani kaget.
"Maksud kamu?" Tanya Shani memastikan.
"Em aku pengen bawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Kita udah hampir 10 tahun pacaran. Umur kita udah sangat cukup. Jadi aku udah ga mau nunggu lebih lama lagi. Kamu mau kan nikah sama aku?" Tanya Vino.
"Iya. Tapi?" Shani mendadak bimbang. Di satu sisi dia bahagia karena hubungannya dengan Vino mulai ada kepastian. Tapi di sisi lain dia masih berat meninggalkan Kakak dan adiknya.
"Tapi apa sayang?"
"Kak Gre? Chika?"
"Mereka kenapa? Aku ngajak kamu nikah, bukan bawa kabur kamu pergi jauh dari mereka. Setelah kita nikah, kamu masih boleh kok tiap hari ketemu mereka. Bedanya cuma setelah kamu ketemu mereka, kamu pulang ke aku." Vino menjelaskan. Berusaha menyakinkan Shani.
"Kamu mau kan sayang?" Vino bertanya lagi.
"Aku belum bilang sama Kak Gre." Ucap Shani.
"Nanti aku yang akan bilang sama dia. Segera setelah kerjaan aku di luar negeri selesai, aku akan cari waktu yang pas buat ketemu kakak kamu. Dan kalau kakak kamu ngijinin, aku bakal bawa orang tuaku kerumah buat lamar kamu. Gimana?"
"Sayang?" Tanya Vino lagi karena Shani masih bungkam.
"Oke. Aku mau nikah sama kamu. Tapi atas ijin Kak Gre." Jawab Shani.
"Tentu saja. Ya kali kita kawin lari. Aku bakal usaha keras supaya kakak kamu kasih restu. Doain aku ya sayang." Vino menggenggam tangan Shani mesra.
"Iya." Jawab Shani sambil tersenyum.
Setelah acara makan siang bersama Vino, Shani kembali kerumah sakit. Segera ia berlari ke ruangan Chika. Setelah membuka pintu ruangan, terlihat Chika sedang duduk bersandar di ranjangnya sambil sesekali mencomot makanan di atas piring yang ada di pangkuannya. Memang kondisinya sudah jauh lebih baik hari ini, bahkan mungkin besok sudah bisa pulang.
"Cici." Sapa Chika.
"Kakak mana?" Tanya Shani sambil mencari-cari Gracia.
"Lagi terima telpon tuh di balkon." Jawab Chika. Shani hanya mengangguk. Dia kemudian duduk di sofa dan mendapati dua porsi makanan masih utuh di atas meja. Rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi.
"Pasti belum makan." Batin Shani kesal sambil menunggu Gracia.
"Kak. Aku. . ." Ucapan Shani terputus saat melihat Gracia muncul dari balkon dan malah menghampiri Chika tanpa melihatnya sedikitpun.
"Udah makannya?" Tanya Gracia pada Chika sambil mengambil segelas air di sebelahnya.
"Udah."
"Kakak harus balik lagi ke kantor. Baru bisa kesini lagi nanti malam. Disini sama Cici dulu ya." Chika hanya mengangguk masa bodoh.
"Hati-hati kak." Gracia hanya mengangguk.
"Kalau kamu ga bisa nemenin Chika sampai kakak datang, telpon Ara aja. Dia kakak liburin hari ini, jadi ada waktu kalau cuma buat nemenin." Gracia kemudian mengambil tasnya di sofa yang diduduki Shani, bersiap untuk pergi.
"Kak, kamu belum makan." Ucap Shani pelan.
"Ga ada waktu." Gracia bergegas keluar ruangan. Baru saja akan memegang gagang pintu, Shani memanggil lagi.
"Kak. Maaf." Gracia berbalik menatap Shani heran. Terlihat adiknya itu kini menunduk.
"Not here. Di depan adik kamu. Kakak ga suka." Perlahan Gracia berjalan mendekati Shani, menepuk pelan pipinya sambil berbisik supaya Chika tidak mendengar.
"Tapi. . " Raut wajah bersalah itu masih terus terlihat di wajah Shani.
"Bisa kita terusin nanti malam setelah kakak balik lagi kesini?" Shani hanya mengangguk pasrah.
"Good." Gracia kemudian lebih mendekat dan mencium pipi Shani.
"Lupakan soal tadi. Bukan salah siapa-siapa. If you happy, then I'm happy. Okay?" Shani hanya bisa mengangguk sekali lagi.
"Oke kakak pergi. Bye." Gracia segera keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Shani yang masih berdiri mematung. Nyatanya dia selalu lemah. Diabaikan sedikit saja oleh Gracia, hatinya sudah tak karuan.
Sejak dulu, dia lebih memilih Vino marah dan mengabaikannya daripada melihat Gracia mengabaikannya. Lebih baik kakaknya marah atau memakinya habis-habisan daripada mendiamkannya. Sungguh Shani belum siap tanpa Gracia.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro