Part 44
==SelamatNite==
Waktu terus berlalu, banyak yang berubah pastinya kecuali sikap Vino yang tak menyerah mengambil kembali hati Shani. Berbagai penolakan halus sampai yang tegas sudah dia terima, tapi tak ada satupun yang membuat dia berpikir akan menyerah.
Bukan tanpa sebab, melihat kondisi Shani yang masih sama saja seperti 1 tahun yang lalu, membuat Vino masih percaya diri bisa meluluhkan hatinya lagi. Selama Shani belum menjatuhkan pilihan hidupnya pada orang lain, peluangnya masih sangat besar, pikirnya.
Seperti malam ini, mengetahui Shani masih berada di dalam ruang kerjanya membuat jantungnya berdegup kencang tak berhenti. Ada 1 misi yang harus dia lakukan kali ini, setidaknya dia butuh mencoba, tidak peduli bagaimana hasilnya nanti.
Dengan langkah tegap, dia berjalan ke arah ruang kerja Shani lalu mengetuk pintunya perlahan.
"Shan?" Ucap Vino sambil menyembulkan sedikit kepalanya. Setelah beberapa menit mengetuk tak ada jawaban, Vino memutuskan untuk membuka sedikit pintunya dan menengok kedalam. Beruntungnya tidak dikunci.
"Apa Vin?" Tanya Shani tanpa menoleh sedikitpun. Fokusnya hanya pada layar laptop yang menyala di hadapannya.
"Aku boleh ngomong sesuatu?"
"Penting?" Tanya Shani lagi.
"Penting."
"Besok ga bisa? Kerjaan aku masih banyak."
"Sebentar aja."
Shani diam sejenak lalu kemudian menggangguk.
"Beneran?" Tanya Vino lagi memastikan.
"Kamu buang waktu kalau terus nanya." Ucap Shani yang masih saja sibuk dengan pekerjaannya.
Akhirnya Vino membuka pintunya lebar. Perlahan masuk sambil menghela nafas mengontrol emosi.
"Minta fokus kamu sebentar ya." Pinta Vino berharap Shani mau melihatnya.
Akhirnya dengan berat hati, Shani melepas kacamatanya lalu duduk bersandar di kursinya.
"So?" Tanya Shani dengan tatapan tanpa ekspresi.
Vino yang melihat tatapan Shani seperti itupun mendadak hilang nyawanya setengah. Padahal seharusnya dia sudah kebal menghadapi sikap Shani yang seperti ini. Entah kenapa kali ini rasanya 100x lipat lebih menakutkan daripada biasanya.
"Jadi ngomong ga?" Tanya Shani lagi mulai kesal.
Mau tak mau Vino mengangguk cepat, tak ingin kehilangan kesempatan emasnya.
Dengan mengumpulkan sisa keberanian yang ada, Vino merogoh sesuatu di kantongnya lalu menyodorkannya ke hadapan Shani.
"Hal yang seharusnya aku lakukan dari lama. Aku tau sudah terlambat tapi aku tetap ingin mencoba." Ucap Vino lalu membuka isi kotak yang dia sodorkan pada Shani tadi.
"Aku udah kehabisan cara bagaimana agar kamu percaya kalau aku bener-bener menyesal dan mau kita balik lagi kayak dulu. Aku janji dengan seluruh nyawaku, cuma kamu satu-satunya prioritas aku. Aku akan turuti semua mau kamu tanpa bantahan. Bahkan jika kamu ingin aku yang kerjain semua pekerjaan rumah ga masalah, asal kamu mau terima aku lagi, kita nikah dan hidup bersama seperti impian kita dulu."
"Kamu boleh pikirkan dulu. Tapi jika kamu sudah punya jawabannya, terima cincin ini jika kamu mau, jika tidak--- ambil lalu buang." Vino yang menatap Shani yang kini juga sedang balik menatapnya.
Tak lama terdengar Shani menghela nafasnya berat. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya. Tak disangka kotak cincin yang disodorkan Vino diambil olehnya.
"Harusnya aku senang karena ucapan ini yang aku tunggu dari kamu dulu, nyatanya aku tidak senang karena untuk mendapatkan ini semua aku harus kehilangan banyak hal berharga di hidup aku. Menurutmu ini sepadan?" Tanya Shani pada Vino. Kotak cincin itu masih Shani pegang.
"A-aku tau posisi aku tak lebih berharga dari mereka. Tapi setidaknya aku sedang berusaha terus ada di sisi kamu supaya kamu tau kalau hidupmu tidak semenyedihkan itu. Kamu ga sendirian Shan, ada aku. Kamu bisa berbagi apa aja denganku sekarang." Ucap Vino. Tidak peduli apapun yang dia katakan bisa 100% merubah pemikiran Shani.
"Bagi apapun itu denganku sekalipun kamu masih belum bisa terima kenyataan bahwa mereka ga akan kembali." Lanjut Vino lagi.
"Mereka pasti kembali."
"Shan, 1 tahun lebih kamu nyari dan ga ada hasil. Kalaupun mereka masih hidup diluar sana dan peduli sama kamu harusnya mereka ga nyiksa kamu kayak gini."
"Mereka pergi karena aku." Ucap Shani mulai frustasi.
"Mustahil." Sanggah Vino. "Yang kehilangan bukan cuma kamu Shan, aku tau Ara pergi bukan karena kamu. Banyak orang yang harus bertanggung jawab atas kepergian mereka, termasuk aku."
Shani hanya diam. Tak ingin menjelaskan lagi karena pasti Vino ga akan mengerti. Yang tau hanya dirinya sendiri, penyebab kepergian seseorang yang membuat dia belum mau berhenti sebelum bisa menyampaikan permintaan maaf secara langsung.
"Jadi? Apa kamu mau mencoba sekali lagi sama aku? Gapapa kalau kamu masih mau terus cari mereka. Aku akan temani kamu sampai kamu sendiri yang bilang harus berhenti." Tanya Vino. Obrolan mereka sudah melebar kemana-mana, jadi dia harus memastikan mereka kembali ke tujuannya semula.
Shani menatap Vino, mencari kebohongan di mata itu, sayangnya dia tidak menemukannya. Antara Vino yang memang jujur atau terlalu pandai menutupi.
Pandangannya terus beralih ke kotak cincin yang masih dia pegang. Memandang lamat-lamat kotak itu sesekali berpindah menatap Vino.
Perlahan Vino tersenyum memandang Shani sesekali mengangguk menyalurkan keyakinan penuh. Hatinya berbunga tatkala gesture tubuh Shani seakan memberi kode padanya bahwa usahanya berhasil.
____
"Stop ngikutin Aku. Dasar penguntit gila!"
"Aku bukan penguntit, tapi kalau gila sih iya. Tergila-gila sama kamu!"
"Najiss!"
"Memang."
Anin menggeram kesal dalam hati. Merasa makin kesini nasibnya apes terus. Semenjak menjadi incaran seorang alumni rumah sakit jiwa maybe, hidupnya berjalan abnormal.
Tak bisa lagi dia pergi kemanapun menikmati hidupnya dengan tenang.
"Kamu mau aku apain supaya stop ngikutin aku?!" Tanya Anin geram.
"Kamu tau mauku apa."
"Apa?!"
"Menurut kamu apa?!"
"Ya apa? Aku ga tau!"
"Taulah pasti, kamu ga bego Anindhita."
Entah mengapa orang ini selalu menguji batas kesabaran Anin.
"Aku bego, bego banget!" Anin mulai frustasi. "Daripada nyusahin diri sendiri sama orang bego kayak aku, mending pergi!"
"Nah itu tau mauku apa."
"Haa?" Anin mendadak blank.
"Itu kamu tau mauku apa."
"Yang mana?"
"Kalimat terakhirmu."
"Mending pergi?"
"Bukan itu, sebelumnya."
"Aku bego?!"
"Iya kamu bego!"
"Arrrrggghhhh!!! Fiony!!!!"
Bukannya takut, Fiony justru terkekeh melihat respon Anin.
"Aku mau nyusahin diri sama orang bego kayak kamu." Ucap Fiony. "Gapapa kamu bego, aku pinter kok, kita saling melengkapi nanti."
"What the h-----"
"Coba dulu, kamu ga akan tau rasanya kalau ga coba." Potong Fiony.
"Belum nyoba aja, aku udah ikutan gila, apalagi-----" Ucapan Anin tertahan kala Fiony semakin mempersempit jarak, berdiri tepat di depannya.
"Coba dulu 1 bulan, selebihnya terserah kamu." Bisik Fiony di telinga Anin.
"Jangan harap!"
"Harusnya jadi kesempatan, kamu bisa apa-apain aku selama 1 bulan itu. Suwerr aku ga akan ngelawan."
"Apa-apain maksud kamu?" Tanya Anin.
"Kamu halal pukul aku kalau menurutmu aku menyebalkan, walau aku lebih prefer kamu cium sih. Aku udah obral diri nih? Masa kamu ga mau ambil kesempatan. 1 bulan doang Ya Allah..."
Anin diam berpikir. Daripada sakit jiwa beneran diikutin terus, memang lebih baik.....
"1 bulan! Ga kurang ga lebih!" Ucap Anin sambil mengacungkan telunjuknya tepat di depan muka Fiony.
"Deal sayang!! DEAL!!!"
____
"Ma, mama yakin? Kata dokter Mama harus istirahat beberapa hari lagi." Ucap Shania mencoba menahan Mamanya keluar rumah.
"Dan membiarkan perusahaanku hancur gitu aja?"
"Tapi Mama harus pikirin kesehatan Mama." Shania menatap sedih.
"Buat apa kalau aku tetap akan kehilangan segalanya! Kalian berdua ga membantu sama sekali! Lebih baik Mama mati demi perusahaan itu balik daripada Mama mati berdiam diri disini. Minggir kamu!"
"Ma.."
"Minggir kalau masih ingin liat Mama hidup!" Ancam Amanda.
Shania menyerah. Percuma berdebat dengan orang tua keras kepala itu. Sudah hapal diluar kepala bahwa Mamanya tidak akan pernah mendengar ucapan orang lain kecuali pemikirannya sendiri. Setidaknya Shania sudah berusaha walau tak berakhir semestinya.
Ditatapnya lesu sang Mama yang kini berjalan tertatih masuk ke mobil hingga akhirnya mobil itu bergerak keluar dari gerbang.
Bukan menuju kantornya, tapi berhenti tepat di lobby JH Group. Si musuh utamanya.
"Mana Jonathan! Bilang saya mau ketemu dia." Ucapnya pada salah satu staff frontliner disitu.
"Maaf apakah ibu sudah buat janji?"
"Bilang Amanda mau ketemu!"
"T-tapi Bu---"
"Kamu mau sampaikan atau saya sendiri yang pergi ke ruangannya!" Ancam Amanda dengan penuh amarah.
Akhirnya salah satu staff mengantarkan wanita tua itu ke lantai paling atas sesuai instruksi atasannya.
Sampai di ruangan yang dimaksud, alih-alih Jonathan yang menyambutnya nyatanya hanya seorang wanita berumur 30-an yang berdiri di tengah ruangan itu.
"Mana Jonathan?!!"
Belum sempat pertanyaan dijawab, terdengar nada dering telpon milik wanita itu. Dengan sigap dia mengangkatnya lalu menyerahkan telponnya pada Amanda.
Dengan alis ditarik keatas, Amanda mengambil telpon itu.
Beberapa percakapan mengalir, namun yang sering terdengar adalah umpatan demi umpatan.
"BRENGSEK!" Tutupnya lalu mengembalikan telpon itu pada pemiliknya dengan dilempar.
"Ini perjanjian yang harus ibu tanda tangani. Batasnya 1 minggu, lewat dari itu saya kira ibu sudah tau konsekuensinya." Ucap wanita yang lebih muda darinya itu sambil menyerahkan 1 map pada Amanda.
Habis sudah, maju kena mundur kena.
Amanda tak lagi punya pilihan. Menolak berarti harus siap semua investor menarik dananya dan status perusahaannya otomatis pailit. Menerima berarti harus rela menyerahkan sebagian besar sahamnya pada Jonathan. Akhirnya sama, dia tak lagi punya kuasa penuh pada perusahaan yang sudah dia bangun puluhan tahun.
Dengan tubuh gemetar menahan emosi, dia meremas map di tangannya lalu berlalu pergi meninggalkan ruangan itu tanpa sepatah katapun.
_____
"Kabar mereka gimana ya Ra? Aku merasa kita udah terlalu lama pergi." Ucap Chika sambil mengigit sepotong besar burger di tangannya.
"Aku ga tau sayang, semoga semua baik-baik aja."
Keduanya sedang duduk di taman, menghadap laut yang sedang menelan senja perlahan. Sore yang indah untuk dinikmati meski hawa dingin begitu menusuk. Tapi jaket tebal yang mereka pakai sudah cukup melindungi.
"Kita belum boleh balik ya? Walau cuma sebentar." Tanya Chika lagi dan Ara hanya menggeleng pasrah.
"Aku ga mau ngeyel lagi. Terakhir kita ngeyel berujung harus dikurung lama. Nurut aja, sabar aja."
Desahan pasrah keluar dari mulut keduanya.
"Pulang? Makin malam makin dingin nanti." Ajak Ara kemudian berdiri lalu mengulurkan tangan pada Chika yang langsung disambut dengan semangat.
"Ayok. Nanti makan apa ya? Bosen seminggu junkfood mulu." Ucap Chika berandai-andai.
"Makanya belajar masak, biar kalau ditinggal lama ga kacau hari-hari."
"Tolong ngaca ya saudara! Ga ada guna punya kamu tuh, kalau ujung-ujungnya mekdi lagi mekdi lagi." Chika menoyor kepala Ara sambil menjulurkan lidahnya lalu berlari meninggalkannya.
"Aku relain duit jajan aku abis buat ngasih makan kamu. Manusia ga ada syukurnya hei!! Tunggu!"
Ara berlari mengejar Chika yang sudah menghilang. Suasana yang makin gelap membatasi pandangannya hingga tak sadar dia menabrak tubuh seseorang hingga terpental ke belakang.
"Aduuuhh!" Buru-buru Ara berdiri lalu berkali-kali membungkuk meminta maaf. "Es tut mir Leid. Ich habe es nicht mit Absicht gemacht." Tidak peduli siapa yang salah, tapi melihat dirinya yang jatuh bukan lawannya sepertinya memang dia yang salah berlari tak liat jalan.
Yang ditabrak hanya mengangguk lalu pergi begitu saja, tak bersuara sedikitpun. Ara bahkan tak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena tertutup jaket dan topi yang tebal.
"Orang aneh, masa dia ga ngerti gue ngomong apaan tadi?" Ucapnya lalu masa bodo. Memilih mengejar kembali Chika yang sudah menghilang jauh.
____
Lewat jam 9 malam, baru terlihat mobil Shani masuk ke pekarangan rumahnya. Dari bangku kemudi ternyata muncul Vino bukan Shani seperti perkiraan. Menyiratkan tanya di benak Anin yang memang sudah menunggu di teras rumah ini sejak setengah jam yang lalu.
Tak lama muncul Shani dari pintu penumpang, keluar dengan wajah pucat.
"Langsung pulang aja Vin, mobilnya bawa aja. Mungkin besok aku ga ke kantor." Ucap Shani.
"T-tapi Shan-----"
"Pulang aja. Aku bisa urus sendiri." Ucap Shani dengan aura tak ingin dibantah kali ini. Vino yang mengerti akhirnya mengangguk.
"Kalau ada apa-apa telpon aku ya." Ucap Vino yang hanya diangguki oleh Shani.
Mereka berdua seakan tak menyadari bahwa disitu tidak hanya ada mereka berdua.
Segera setelah Vino pergi, Shani perlahan melangkahkan kaki menuju pintu.
"Baikan sama Vino?" Tanya Anin tanpa basa-basi.
"Anin! Kamu ngagetin tau gak!" Ucap Shani.
"Sama Vino?" Tanya Anin lagi.
"Kamu kesini kok ga ngabarin sih."
"Aku ga tau fungsi hapemu tuh apa sebenarnya. Susah banget kontak kamu beberapa hari ini." Anin mendengus tatkala pertanyaannya sejak tadi diabaikan begitu saja.
"Oooopsss sorry. Kerjaan lagi hectic." Ucap Shani menyadari kesalahannya.
Anin kemudian memegang dahi Shani. Benar, suhunya diatas suhu normal pada umumnya.
"Udah makan?" Shani hanya mengangguk. "Ayo masuk." Anin kemudian mengambil kunci dari tangan Shani lalu membuka pintu. Menuntun perlahan sahabatnya itu sampai ke kamar.
"Nginep sini ya. Aku lagi ga pengen sendiri." Ucap Shani pelan sambil memejamkan mata.
"As you wish babe." Balas Anin karena tak tega melihat kondisi Shani.
Segera setelah membantu Shani menyiapkan segala kebutuhannya sebelum tidur, mereka berdua akhirnya bisa berbaring nyaman.
"Shan, mendadak aku lupa tadi tujuan utamaku datang kesini." Ucap Anin. Entah Shani mendengar atau tidak karena posisi mereka saling memunggungi.
"Takdir itu lucu ya kadang. Dia ngasih jalan justru disaat kita mulai menyerah sama semuanya."
Tak ada jawaban, Anin pikir mungkin Shani sudah tidur.
"Udah tidur ya? Yauda aku ngasih taunya besok aja kalau aku udah nemuin Ara."
"SIAPA?!!!!!"
____
Tepat 36 jam setelah informasi didapat, Shani sudah berada di negeri orang. Tidak sendirian. Namun bertiga. Sudah pasti Anin ada disitu juga dengan satu ekor yang terus menempel padanya. Siapa lagi kalau bukan Fiony.
Nyatanya Anin tidak bisa mengabaikan manusia satu ini begitu saja, mengingat justru informasi berharga ini dia dapatkan dari Fiony.
"Kamu kenapa sih ga ngikutin dia sampe ke tempat tinggalnya? Kalau begini kan repot kita harus ngubek-ngubek satu negara." Ucap Anin kesal.
"Dengarkan aku sayangku, cintaku...."
"Idddihh najyong!" Anin membuang muka.
Shani hanya menatap mereka berdua malas. Dengan pertanyaan yang sejak kemarin terus berputar di kepalanya, Demi apa Anin mau sama ini orang?
"Aku ga mau melakukan sesuatu yang mengundang kecurigaan mereka. Kamu kan tau Chika dan Ara dibawa pergi tanpa boleh aku ikut campur tangan sedikitpun. Bahkan neneknya yang superpower aja ga bisa mengendus keberadaan mereka sampe sekarang. Pasti ada maksud dibalik itu. Iya kalau aku ngikutin dia aku beneran tau tempat tinggalnya, lha kalau nyawa aku yang ilang gimana? Apa kamu rela aku ilang sayangku? Informasi ini juga pasti ga akan pernah nyampe ke kamu." Anin menggeram kesal mendengar jawaban Fiony.
"Kak Fiony bener Nin, gapapa usaha sedikit lagi nemuin mereka. Yang penting kita tau mereka disini." Timpa Shani memilih menatap keluar jendela hotel tempat mereka saat ini.
"Terus kita mau mulai gimana ini nyarinya? Masa iya harus nunggu keajaiban tiba-tiba ketemu mereka?"
"Kalau memang hanya itu cara satu-satunya? Setidaknya bisa sambil melihat situasi, mereka disini sendirian atau ada orang lain yang mengatur kehidupan mereka." Ucap Shani.
Walau tak ditampakkan, pikiran Shani sedang kacau balau saat ini. Disatu sisi dia senang akhirnya ada kemajuan bisa tau keberadaan kedua adiknya. Meyakini bahwa mereka baik-baik saja seperti kata Fiony. Tapi di sisi lain, semua masih terasa kurang lengkap manakala satu orang yang sangat dia harapkan belum jelas kabarnya hidup atau mati.
Ternyata hampir seminggu berada di negara orang, progress tetap 0. Tak terhitung berapa banyak biaya yang Shani keluarkan untuk mencari keberadaan adiknya termasuk membayar orang untuk mencari data semua imigran Jerman dari waktu keduanya dibawa pergi sampai detik ini.
"Aku keluar cari angin Nin." Pamit Shani pada Anin. Mendadak dia gerah didalam kamar karena tiap hari harus mendengar dua manusia bertengkar konyol hampir semua hal.
"Temenin ga?!" Teriak Anin dari dalam karena Shani sudah sampai di ujung pintu.
"Sendiri aja." Suara Shani terdengar disusul suara pintu ditutup.
Autumn season selalu menjadi daya tarik tersendiri. Meski rasa dingin mulai menusuk tapi nyatanya masih bisa dinikmati oleh Shani yang kini sedang berdiri di tengah taman menatap guguran daun maple.
Karena lelah terlalu lama mendongakkan kepalanya, Shani memutuskan berjalan ke sisi pinggir taman menuju satu bangku kosong di ujung.
Baru beberapa langkah berjalan nafasnya tercekat.
Di depan sana, lurus dengan pandangan matanya, sesuatu begitu menarik perhatiannya. Ada satu sosok meski tak jelas wajahnya karena jarak pandang cukup jauh, entah kenapa postur dan cara berjalannya terasa familiar di mata Shani.
Sayang ketika Shani hendak mengejar, sosok itu masuk ke mobil yang tiba-tiba berhenti persis di depannya.
Mendadak perasaan kecewa muncul entah mengapa, tapi itu tak berlangsung lama karena Shani dikagetkan oleh dering ponselnya sendiri.
Fiony menelponnya.
"Shani, balik cepet. Aku punya informasi buat kamu!"
_____
"Jadi temen aku itu punya temen yang temennya itu berteman dengan BA salah satu produk perusahaan mereka." Ucap Fiony informatif. "Perusahaan ini memang sangat tertutup soal kehidupan pribadi keluarganya, ga ada satupun media yang berani usik karena takut akan berakhir di penjara."
"Lalu?" Tanya Shani masih belum mengerti ucapan Fiony.
"Baru semalam dia denger kalau ada rumour sang pemimpin kerajaan bisnis itu telah menetapkan penerusnya yaitu cucu pertamanya. Hal yang tak pernah terekspos publik."
"Terus?"
"Dasarnya temen aku kepo level akut, pada pertemuan yang diselenggarakan tertutup tanpa kamera, dia sempet-sempetnya ngeshoot diam-diam si -yang katanya- cucu pewaris itu, walau agak ngeblur karena kondisinya terbatas."
"Intinya apa?!! To the point bisa kan?" Anin mulai geram.
"Duh ga sabaran banget sih sayangku, jadi nganu kan aku..." Fiony berkedip genit.
"Meng-anyying!!" Anin mengumpat.
"Look." Fiony mendorong ponselnya ke hadapan Shani dan Anin. "Zoom kalau ga jelas. Dia Grace Harlan, si penerus yang dirumourkan itu." Lanjutnya.
"Dua puluh tahun lebih kamu hidup sama dia, harusnya kamu tau isi foto ini." Ucap Fiony serius pada Shani.
Shani menatap lamat-lamat sosok di foto itu. Meski tidak begitu jelas karena anglenya hanya dari samping tapi satu hal yang Shani tangkap dari semua hal yang serba blur itu, wajah sampingnya dengan rahang tegas dan hidung mancungnya tertutup mahkota panjang sepinggang di kepalanya.
"Grace, Yesscika, dan Arandira Harlan. Secuil informasi yang bocor, mereka bertiga adalah para cucu Jonathan Harlan----"
"Tunggu, tunggu..siapa tadi namanya coba ulang." Ucap Anin dengan ekspresi tak percaya.
"Grace----"
"Bukan itu. Namanya kakeknya." Potong Anin.
"Jonathan Harlan. Why?" Tanya Fiony heran.
Anin tak menggubris. Dia berdiam diri, berpikir keras sambil memejamkan mata. Tak lama matanya membelalak lebar.
"Jonathan Harlan, JH Group, The killer of Archer. Oh my God...." Anin menutup mulut shock.
"Kenapa sih yang?" Tanya Fiony makin bingung.
"Berita heboh pagi tadi di grup wa kantor aku, Perusahaan Amanda Archer resmi dinyatakan collaps dan diakuisisi penuh oleh JH group. Aku tau siapa pemilik JH group itu."
Fiony menganga. "Pantes semuanya jadi jelas berkesinambungan sekarang. Mau pake sistem secanggih NASA buat obrak abrik data satu Jerman pun, kita ga akan pernah nemu karena mereka ganti identitas. Cara mainnya aseek banget. Gue sukak nih gayanya." Lanjut Fiony.
Anin memutar matanya malas. Namun tak lama Anin dan Fiony saling tatap karena menyadari sejak tadi yang heboh hanya mereka berdua.
Benar saja, ketika menoleh mereka kaget karena melihat Shani terkulai lemas seperti orang yang mentalnya baru saja terpukul hebat.
____
Everything makes sense....
Hari itu juga mereka bertiga bergegas datang ke satu alamat kantor sesuai arahan temannya Fiony. Meski bukan tempat yang dianggap akurat, tapi siapa tau ada sesuatu yang bisa didapatkan darisana.
Baru satu kesimpulan mendekati akurat yang mereka dapat, Gracia masih hidup. Dengan label baru bernama Grace. Chika dan Ara? Asumsi yang ada adalah para Cucu JH itu adalah mereka juga. Tapi semua tetap perlu dibuktikan kebenarannya 100%.
"Shan, coba buat rileks oke? Mau marah, mau nangis simpen dulu. Kalau nanti kita ketemu mereka dengerin dulu semua penjelasannya baru tentukan sikap." Ucap Anin sambil menepuk pelan pipi Shani.
"Iya Shan, menjengkelkan memang pas tau Gracia membohongi kita semua. Tapi aku tidak menyalahkannya mengambil keputusan kayak gitu mengingat situasinya yang serba salah waktu itu." Lanjut Fiony.
Tak ada respon apapun dari Shani, emosinya campur aduk saat ini. Dia bahkan tidak tau jika nanti benar yang ditemuinya adalah Kakaknya, dia harus bersikap bagaimana.
Tepat ketika mereka sampai di alamat yang dituju, belum sempat keluar dari mobil, pemandangan mengagetkan muncul dengan sangat jelas di depan mata. Gracia keluar dari dalam gedung dengan menggandeng Chika. Tak lama mereka masuk ke satu mobil yang sudah disiapkan lalu pergi.
"Ikutin, ikutin buru!" Teriak Anin heboh.
"Iya." Balas Fiony yang saat itu menjadi sopir.
"Jangan sampe ketahuan."
"Iya sayang."
"Hih!"
Dengan tetap memastikan jarak aman, mereka menjaga dengan hati-hati mobil di depan mereka tidak menghilang dari pandangan.
"Lho, lho, kok brenti?" Fiony menurunkan kecepatan karena melihat mobil di depannya berhenti tiba-tiba.
Tempat yang pas. Jalanan sepi dan minim penerangan.
Fiony juga mau tidak mau berhenti beberapa puluh meter di belakang agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Kok brenti? Tapi kok ga ada yang keluar?" Fiony bertanya-tanya.
"Samperin aja apa?" Tanya Anin.
"Yakin?"
Baru selesai pertanyaan itu terlontar, terdengar pintu belakang mobil terbuka.
"Shani!!" Keduanya shock melihat Shani yang nyolong start lebih dulu menghampiri mobil itu.
Dengan langkah setengah berlari, Shani mendekati mobil yang masih tak bergerak dengan kondisi mesin masih menyala. Lalu berhenti tepat di depannya.
Anin dan Fiony yang menyusul di belakang pun menghentikan langkahnya. Menunggu adegan selanjutnya yang akan terjadi.
Tak lama terlihat pintu kanan kiri mobil terbuka, disusul dua orang yang muncul dari dalam.
"Ci Shani?" Panggil Chika pelan.
Shani tak merespon, hanya menatap Gracia tanpa ekspresi.
"Adek pulang duluan. Bareng-----" Gracia menengok ke belakang. "Bareng Kak Anin sama Kak Fiony. Tolong anterin Chika pulang bisa?" Tanya Gracia yang otomatis langsung diangguki keduanya.
"Nanti kalau Kakek tanya, jawab sekalian kenalin mereka. Kakak nyusul nanti bareng Cicimu."
Chika mengangguk paham lalu menghampiri Anin dan Fiony. Tidak ada pergerakan dari Gracia maupun Shani selain menunggu tiga orang itu pergi.
"Mau ngomong disini atau-----" Ucap Gracia setelah memastikan mobil Fiony pergi.
"Shani----" Panggil Gracia karena tak mendapat respon apapun dari lawan bicaranya.
Merasa tak ada kemajuan, mau tak mau Gracia mendekat. Tangannya terulur hendak menarik tangan Shani namun tidak terjadi karena Shani duluan yang mencengkram lengan Gracia.
"Kenapa jahat Kak? Kenapa bohong?" Ucap Shani dengan suara gemetar.
"Maaf." Ucap Gracia tapi Shani hanya menggeleng keras.
"Mempermainkan perasaan banyak orang itu ga lucu!"
"I'm really sorry."
"Kenapa? Kenapa harus bohong? Kenapa harus pergi tanpa pamit?"
"Demi Chika dan Ara.
"Hanya itu?"
Gracia mengangguk pelan.
"Kenapa ikut pergi? Kenapa aku ditinggal? Adik Kakak bukan cuma mereka aja, aku juga Kak. Aku juga!" Mulai terlihat emosi yang sejak tadi Shani tahan.
"Kakak udah ga nganggep aku? Shani ngaku salah karena udah egois waktu itu. Shani minta maaf. Kakak pergi karena ga terima Shani perlakukan begitu? Kakak ga suka kalau Shani ga bisa bales perasaan Kakak, IYA?!!!!"
"Shan..."
"APA!!! KENAPA PERGI?!! KENAPA SEMUA ORANG NINGGALIN SHANI!!" Shani berteriak, mengeluarkan semua emosinya yang sudah tak terbendung.
Hampir 2 tahun hidup dengan pertanyaan kenapa dia ditinggalkan sendiri, hidup dengan penyesalan kalau semua orang pergi karena keegoisannya. Tapi apakah dibenarkan dia harus menanggung semuanya tanpa penjelasan apapun?
Melihat Shani yang seperti itu, Gracia menjadi tak tega. Akhirnya meski dengan sedikit penolakan karena Shani masih terlihat marah, Gracia berhasil menarik Shani ke pelukannya.
"Kakak yang salah karena pergi tanpa penjelasan. Maaf Shan. Maaf." Ucap Gracia sambil memeluk erat Shani.
Shani tak merespon, hanya membalas pelukan erat Kakaknya. Membenamkan kepalanya di ceruk lehernya dan meluapkan semua emosi dengan air mata.
"I miss you Kak, really miss you. And it hurts. Jangan pernah tinggalin aku lagi."
"Won't ever."
____
Pelarian Gracia, Chika dan Ara akhirnya selesai dengan hilangnya kekuasaan Amanda dan pertemuannya kembali dengan Shani.
Meski Gracia berhutang banyak penjelasan pada banyak orang, namun akhirnya semua bisa menerima alasan dibalik itu. Dari Chika dan Ara yang menghilang tiba-tiba dan Gracia yang mengalami kecelakaan ternyata semua hanya skenario untuk mengelabui Amanda.
Cara Gracia memang salah, tapi itu demi keamanan banyak orang. Semakin sedikit yang terlibat, semakin kecil korban meski dia sendiri harus mengorbankan semua hal bersama Shani.
Sekarang kehidupan mereka sudah berjalan normal, kembali seperti seharusnya.
"Cantik banget." Ucap Vino yang berdiri di sebelah Shani menghadap ke cermin.
Vino bahkan tak berkedip melihat Shani yang terbalut gaun putih panjang lengkap dengan bucket bunga di tangannya.
"Aku belum pernah liat ada pengantin secantik ini dimanapun."
"Ga usah gombal, sana keluar!"
Vino hanya tertawa pelan. " Aku tunggu disana. Penghulu udah siap. Jangan lama-lama." Lalu pergi meninggalkan Shani.
10 menit kemudian Shani akhirnya keluar. Mengundang tatapan takjub semua orang di ruangan itu.
Suasana ruangan pada hari itu begitu sakral. Semua orang terdekat Shani ada disitu. Menatapnya dengan senyum tulus ikut berbahagia menjadi saksi dia akhirnya diikat sehidup semati oleh orang yang mencintainya.
Perlahan Shani berjalan menghampiri Vino yang sudah menunggunya di ujung altar.
"Ready?"
"Ya." Ucap Shani mantap.
Vino menuntun Shani naik ke altar, dengan senyum tipis dia memberikan tangan Shani pada seseorang yang sudah menunggunya disitu sejak tadi, sebelum akhirnya bergerak mundur ke posisinya semula.
Rasa haru bercampur sakit manakala dia harus menyaksikan orang yang sangat dia inginkan akhirnya bisa menikahi pilihannya. Teringat ucapan Shani waktu itu saat dia mencoba melamarnya.
"Jadi? Apa kamu mau mencoba sekali lagi sama aku? Gapapa kalau kamu masih mau terus cari mereka. Aku akan temani kamu sampai kamu sendiri yang bilang kamu harus berhenti."
Hatinya berbunga tatkala gesture tubuh Shani seakan memberi kode padanya bahwa usahanya berhasil. Sayang, jawaban Shani justru sebaliknya.
"Tunggu sampai aku nemuin kejelasan soal Kak Gre."
"Untuk minta restu kembali jika ternyata dia masih hidup?" Shani menggeleng.
"Untuk memilih antara kamu atau dia."
"Maksudnya apa? Dia kakak kamu Shan. Posisi kita ga bisa dijadikan pilihan."
"Why not? She still my sister, but can be my lover too."
"What?!"
"Sesuatu telah terjadi, makanya pikiranku berubah."
"Apa maksudnya?!!"
"Adoption Agreement."
Vino bahkan semua orang akhirnya tau kalau Shani bukan saudara sedarah Gracia. Ujung dari semuanya, Vino harus mengaku kalah meski dia bisa berjuang keras mendapatkan hati Shani sekali lagi. Sejak awal menjalin hubungan, tanpa disadari hati Shani sudah terbagi. Bahkan di satu momen Shani sering memprioritaskan Gracia dibanding dirinya. Sempat dia berpikir, andai saja Gracia bukan Kakaknya, mungkin cerita mereka akan berbeda. Dan sekarang benar terjadi.
Shani telah memilih dan Vino harus menghargai pilihannya.
Di depan matanya, Shani dan Gracia mengucap janji bersama sampai mati.
____
"Sayang?"
"Hmmm?" Jawab Gracia ketika tiba-tiba Shani memeluknya dari belakang.
"Kakek Jo belum minta Kakak cepet balik ke Jerman kan?"
"Kenapa?"
"Aku masih mau disini." Ucap Shani seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Gracia balik badan lalu membalas pelukan Shani.
"Biar Chika sama Ara yang balik duluan. Summer Holiday mereka udah mau selesai." Jawab Gracia dengan senyum tipis namun tatapannya begitu hangat pada Shani.
"Bulan depan Kak Fio sama Anin tunangan, aku mau bantu acara mereka."
Gracia mendesah pelan. "Kenapa Anin mau sama dia sih? Kayak ga ada yang laen."
Shani terkekeh. "Kak, please...."
"Ya t-tapi kan-----" Gracia masih memperlihatkan sikap tidak terima.
"Jodoh ga ada yang tau Kak, kayak kita." Ucap Shani sambil mendusel dusel hidungnya pada Gracia.
Gracia akhirnya tersenyum lebar, antara geli atau menertawakan jalan hidupnya sendiri.
"Ya, kayak kita." Ucap Gracia sambil mengecup sekilas bibir Shani.
-END-
Maaf kalau alurnya kacau apalagi dipaksa happy end. Kalian ga suka khaan yang hepi-hepi?😂
Makasih buat supportnya semua. Buat yang konsisten ingetin buat Up - jempol banyak buat kalian, kami menyadari kok diri ini begitu lelet 😬🙏
Pada akhirnya memang cerita ini harus dipaksakan berakhir, sayonara semua... 👋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro