Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 42




==MetIstirahat==










Shani berdiri bersandar di pinggir jendela kaca besar ruangan kerjanya. Memandang kosong semrawutnya kota dibawah sana. Ruangan yang menjadi saksi bisu pergulatan fisik dan batinnya selama beberapa bulan terakhir ini. Ruangan yang dulu juga menjadi saksi bisu perjuangan Kakaknya sampai akhirnya dia menghilang.

Menginjak bulan ke 5 dan masih tak ada kabar apapun dari hilangnya Gracia. Shani belum pesimis. Tapi orang-orang di sekitarnya sudah mulai menyerah. Anin dan Mario pun sudah menyarankan untuk menghentikan pencarian yang menghabiskan terlalu banyak biaya itu. Awalnya Shani menolak keras, namun karena terus dibujuk bahwa mereka akan tetap terus mencari informasi tentang Gracia tanpa orang bayaran sekalipun, akhirnya Shani setuju.

"Permisi Shani." Tiba-tiba suara seorang laki-laki membuyarkan lamunannya.

Shani menoleh untuk melihat Vino berdiri di tengah ruangan.

"Ya?" Tanya Shani tanpa ekspresi.

"Ini berkas yang kamu minta tadi pagi. Termasuk berkas yang perlu kamu tanda tangani juga."

"Taruh di meja aja."

"Oke." 

Vino meletakkan berkas itu di meja yang dimaksud. Sedangkan Shani memilih menatap lagi keluar jendela. Beberapa saat kemudian suasana hening, membuat Shani tersadar sejak Vino masuk ke ruangan ini tadi, tidak lagi dia mendengar langkah kaki keluar dan suara pintu tertutup.

Maka dengan berat hati, dia harus merelakan waktu melamunnya untuk menoleh ke belakang. Memastikan dimana Vino berada. Benar saja, laki-laki masih berdiri disana, menatapnya sedih.

"Masih ada yang mau disampaikan?" Tanya Shani heran.

Vino menggeleng lemah.

"Lalu?"

"Sampai kapan kamu mau kayak gini?" Tanya Vino. Shani hanya mengangkat kedua bahunya acuh.

Shani mengerti pertanyaan ini sudah diluar konteks pekerjaan. Sejak Vino bergabung dengan perusahaan ini. Dipercaya membantu dirinya dan Mario, Vino semakin memperlihatkan niatnya untuk menarik perhatian Shani lagi. 

Padahal sesungguhnya Shani dilema, di satu sisi niatnya hanya ingin membantu Vino untuk memperbaiki keadaannya yang sedang terpuruk itu. Disisi lain dia sangat merasa bersalah pada Gracia, apa jadinya jika suatu saat Gracia kembali dan melihat salah satu orang yang dia benci bekerja di perusahaannya. Kalaupun di masa depan Gracia kembali lalu memilih memecat Vino, Shani tidak akan menyalahkannya.

"Udah cukup Shan, udah saatnya kamu mikirin diri kamu sendiri. Aku khawatir sama kamu." Ucap Vino.

"Makasih. Daripada mikirin aku, lebih baik kamu fokus sama kerjaan kamu aja." Ucap Shani setengah mengusir.

"Tapi Shan...."

"Kenapa kamu peduli?" Tanya Shani.

"Kenapa kamu masih bertanya?"

"Kenapa baru sekarang?" Tanya Shani lagi.

"Apa belum cukup permintaan maafku selama ini? Aku betul-betul ingin membuktikan aku menyesal ninggalin kamu dan aku betul-betul ingin memperbaiki hubungan kita lagi."

"Kenapa baru sekarang?" Shani masih kokoh dengan pertanyaan itu.

"Aku udah jelasin semuanya sama kamu kan."

"Kalau Chika dan Ara ga hilang, Papa kamu ga bangkrut, apa kamu akan merasa menyesal seperti sekarang ini? Kamu akan mikir untuk lebih milih aku daripada mereka? Enggak kan?!"

"Kenapa kita harus bahas itu lagi? Aku manusia biasa yang bisa khilaf Shan. Ga cukup sekarang aku mendapatkan hukumannya? Aku betul-betul menyesal. Tolong kamu mengerti."

"Dan tolong kamu mengerti, kalau aku juga manusia biasa, bukan malaikat yang bisa dengan mudahnya memaafkan kesalahan orang lain."

Vino memandang Shani dengan tatapan sendu. 

"Jangan lupakan bahwa kamu berada disini karena belas kasihan. Perusahaan ini bukan milik aku, jika suatu saat pemilik aslinya kembali, jangan kaget jika dia memilih untuk mengeluarkanmu hanya karena tak ingin melihatmu ada disini."

"Shani....."

"Jadi tolong kerjasamanya untuk tidak menambah masalahku. Kecuali kamu bisa bantu mengembalikan keadaan seperti semula. Mengembalikan Kak Gre, Chika dan Ara kesini mungkin aku bisa pertimbangin buat maafin kamu."

Vino menunduk lesu. Sedikit tersadar bahwa mungkin dia terlalu percaya diri bisa mendapatkan hati Shani lagi. Kenyataannya, kedudukannya tidak lebih penting dari 3 orang yang entah berada dimana sekarang. Dan itu cukup menyakitkan.

"Kalau udah ga ada yang dibahas lagi, kamu bisa balik ke ruangan kamu. Kalau ada apa-apa, sampaikan Pak Mario saja. Aku lagi ga ingin diganggu." Ucap Shani lalu balik badan lagi menghadap jendela.

Vino hanya mengangguk pelan, memilih mengalah lalu berjalan pelan keluar dari ruangan Shani dengan pikiran kacau.




_______





"APA-APAAN INI??!!!!!"

"KENAPA BISA KALAH??? KALIAN BISA KERJA TIDAK HAH??!!!"

Suara Amanda menggema memenuhi seisi ruangan. Berkas yang dia pegang, dia lempar kesembarang arah hingga jatuh berserakan.

"SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB MENGURUS PROYEK INI?!!!" Ucap Amanda berdiri sambil menggebrak meja dengan keras.

"Maaf nyonya. Kami sudah berusaha maksimal."

"KITA KALAH!! APA YANG KALIAN USAHAKAN?!!! KALAU MEMANG SUDAH TIDAK NIAT BEKERJA, SAYA SANGAT TERBUKA MENERIMA SURAT PENGUNDURAN DIRI KALIAN!!"

"Maaf Nyonya, tapi perusahaan lawan berani memasang harga dibawah standar. Jika kita mengikuti cara mereka, kita bisa rugi."

"Siapa pemenangnya?"

"JH Group. Mereka baru beberapa bulan masuk ke Indonesia."

"APALAGI INI!! KITA KALAH DENGAN ANAK BARU?!!! MEMALUKAN!!"

Semua yang berada di ruangan itu hanya diam menunduk. Tidak berani merespon.

Amanda duduk kembali di kursinya sambil mengatur napas. Kepalanya mulai terasa berat. Sepertinya gejala hipertensinya kumat lagi.

"1 jam dari sekarang beri aku data lengkap tentang perusahaan baru sialan itu! Lalu atur jadwal pertemuanku. Aku perlu bicara dengan pimpinan mereka."

"Baik Nyonya."

Tak perlu menunggu lama, Amanda kemudian berdiri dari kursinya dan meninggalkan ruangan itu. Dia butuh menenangkan dirinya, mengontrol emosinya. Dia butuh hidup lebih lama untuk memastikan kemenangan tetap berpihak padanya.




______




"Makan yang banyak Shan, kamu makin kurus sekarang." Ucap Anin sambil menambahkan sesendok penuh nasi kedalam piring Shani.

"Eh eh itu kebanyakan." Ucap Shani menolak. Tapi percuma karena nasi itu sudah bercampur dengan yang lain di piringnya.

"Ga mau tau. Harus dimakan pokoknya." Anin memaksa.

Shani hanya bisa mengangguk pasrah. Sambil mengunyah perlahan makanan itu di mulutnya. Makanan itu terlihat enak dan mewah, namun tetap saja terasa hambar ketika sampai di mulutnya. Sehambar hidupnya saat ini.

"Gimana Vino selama kerja sama kamu?"

Pertanyaan Anin sontak membuat Shani menghentikan suapan yang hendak masuk ke mulutnya. Mendadak membuat mood-nya yang sudah buruk makin buruk saja.

"Ya gitu." Jawab Shani acuh.

"Masih terus ngejar minta balik?" Shani hanya mengangguk.

"Pecundang ga tau diri." Gumam Anin pelan. "Terus kamu gimana?"

"Gimana apanya?"

"Mau balikan ama dia?" 

Shani diam sejenak.

"Ga tau ga bisa mikir. Tiap liat dia, yang muncul di kepala aku cuma Kak Gre. Aku ga bisa mikir yang lain sebelum aku dapat kepastian soal Kak Gre. Chika juga."

"Shan, kamu harus belajar ikhlasin. Live must go on."

"Aku tau. Aku cuma butuh kepastian nasib mereka. Hidup atau mati. Itu aja."

Mendengar itu, Anin hanya mendesah pelan. Mencoba memahami kondisi dari sudut pandang Shani. Dia menyadari, Shani bukan pemain baru soal permasalahan hidup. Tapi mendadak dipaksa menjadi sebatang kara di dunia ini juga bukan perkara gampang. Sangat dimaklumi jika Shani akhirnya menjadi hilang arah layaknya manusia yang tak punya tujuan hidup.

"Kamu masih punya aku Shan. Kamu ga sendirian." Anin mengelus pelan pergelangan tangan Shani.

"Thanks Nin." Balas Shani dengan senyum tipis.

"Hai."

Baru saja mereka akan melanjutkan makannya, tiba-tiba seorang wanita cantik semampai berdiri di depan meja mereka.

Shani mendongak. Pupil matanya melebar mengetahui siapa tamu tak diundang itu. 

"Boleh gabung?" Tanya wanita tersebut menatap Shani.

Shani tak merespon. Hanya memandang tak berkedip wanita itu. Anin yang mengerti situasi pun membantu membuka suara.

"Anda siapa?" Tanya Anin heran.

"Boleh gabung ga?" Wanita itu setengah memaksa.

"Ya anda siapa? Dateng-dateng sok kenal." Ucap Anin mulai kesal.

"Kamu memang ga kenal aku. Tapi temen kamu ini tau kok." Wanita itu menunjuk Shani.

Anin melongo. Kemudian secepat kilat menatap Shani. Menuntut jawaban.

Shani yang tersadar kemudian mengangguk. "Duduk aja." Ucapan Shani dihadiahi tatapan heran dari Anin.

Tanpa basa-basi, wanita itu menarik satu kursi kosong lalu duduk di hadapan mereka.

"Kamu apa kabar?" Tanya wanita itu menatap Shani dalam.

"Anda ini siapa sih!" Ucap Anin yang makin kesal karena merasa diabaikan.

"Huffft. Temen kamu ini bawel banget ya. Tapi aku suka tipe orang kepo kayak gini." Ucap wanita itu sambil memasang senyum jahil pada Anin.

"Kenalin, Fiony, temennya Gracia." Ucap wanita itu sambil menjulurkan tangannya pada Anin.

"Bener Shan?"  Bukannya merespon uluran tangan itu, Anin malah bertanya pada Shani. Mengabaikan wanita itu yang kini menarik kembali tangannya dan memutar bola matanya malas.

Shani hanya mengangguk pelan.

"Ada perlu apa Kak nemuin aku?" Ucap Shani akhirnya pada Fiony. Tidak ingin membuang waktu berlama-lama.

Fiony kemudian tersenyum, lalu bersandar ke kursinya.

"Anggap aja kejadian tak disengaja. Aku ga berharap bakal ketemu kamu. Tapi liat kamu disini, aku ga bisa mengabaikanmu begitu aja mengingat apa yang terjadi sama Gracia------" Fiony menjeda kalimatnya.

Shani tak merespon apapun, mendadak nafsu makannya hilang. Yang bisa dia lakukan adalah menarik dan membuang nafas sebanyak-banyaknya.

"Ini hari pertama aku menginjakkan kaki kembali ke Indonesia, setelah sebelumnya membuang diri karena merasa perjuanganku selama ini sia-sia. Apa segitu ga pantesnya aku, serendah itukah aku sehingga tak layak jadi pilihan. Tapi akhirnya aku belajar berpikir berbeda, bahwa nasibku mungkin tak beda jauh dengan Gracia.........Mencintai seseorang yang tak menginginkan kita itu ternyata berat. Kita selalu punya pilihan, tapi kita ga berdaya."

"Maksud Kakak apa?" Tanya Shani yang masih abu-abu dengan arah pembicaraan Fiony kali ini. Jangan tanya bagaimana wajah Anin saat ini.

"Aku tau kamu ngerti maksud aku."

Shani mendesah pelan lalu memilih menundukkan kepalanya. Pemandangan diatas meja nyatanya lebih menarik karena ternyata tamu tak diundang ini membawa topik yang Ga asik untuk dibahas.

"Saya rasa lebih baik Anda pergi sekarang. Kedatangan anda cuma membuat masalah temen saya makin bertambah." Ucap Anin karena me-notice perubahan mood Shani.

"Oopsss ya maaf kalau gitu. Ga ada maksud." Ucap Fiony mengangkat kedua tangannya.

"Saya ga tau masalah anda apa sama temen saya. Tapi orang yang anda sebut tadi itu ga ada disini. Jadi lebih baik Anda pergi." Usir Anin.

"Santai dong Anindhita. Aku cuma ngomong sama Shani. Bukan mau ngajak ribut."  Balas Fiony makin tak tau diri.

Anin melotot.

"Tapi omongan anda daritadi tuh ngajak ribut! Dan darimana anda tau nama saya?!!" Nada Anin makin meninggi.

Merasa situasi makin tak mengenakkan, akhirnya Fiony menegakkan tubuhnya. Membetulkan posisi duduknya.

"Oke. Aku minta maaf kalau kali ini aku jadi penganggu buat kalian. Tapi aku tau yang terjadi pada Gracia dan aku tau apa yang kamu rasain Shani. Aku kasih tau satu rahasia." Fiony sedikit mencondongkan badannya pada Shani, sejenak memperhatikan situasi sekitar sebelum akhirnya bicara dengan nada sangat pelan tapi tetap memastikan Shani mendengarnya.

"Boleh percaya boleh tidak. Tapi kira-kira menyakitkan tidak buat kamu, ketika saat-saat terakhir Kakak dan Adik kamu masih disini, justru aku orang terakhir yang mereka temui, bukan kamu yang katanya keluarga?" Tanya Fiony dengan senyum setengah mengejek. Selesai mengatakan itu, dia akhirnya berdiri.

"Sebelum diusir lagi. Aku pergi. Have a nice day semuaaa." Ucap Fiony sambil melirik Anin.

Tak berniat menunggu respon dari Shani, Fiony balik badan. Namun baru satu langkah bergerak, tangannya ditarik oleh Shani.

"T-tunggu, tunggu Kak."

Fiony tersenyum menang. Lain halnya dengan Anin yang menampakkan raut makin kesal.

"K-kakak ketemu Chika? Dan Kak Gre? Dimana mereka sekarang? A-apa yang terjadi? M-mereka masih hidup?" Tanya Shani beruntun. Tak sabar ingin segera mendapat jawaban.

Raut wajah Fiony berubah pahit ketika melihat Shani bertanya padanya dengan raut penuh harapan.

"Kamu bertanya pada orang yang salah Shani." Ucap Fiony makin menjadi.

"Seseorang baru terasa berarti ketika dia udah ga ada kan?" Tanya Fiony lagi sembari duduk kembali di kursinya tadi. "Ikhlaskan, mungkin ini yang terbaik. Karena ketika dia ada pun, belum tentu keberadaannya dihargai." 

Shani menelan ludahnya kelu. Mau menyangkal, tapi itulah kenyataannya. Dia sadar kesalahannya dulu. Tapi memutar kembali waktu itu juga tidak mungkin.

"Shan, jangan dengerin dia. Dasar wanita gila! Anda lebih baik pergi darisini!" Anin buru-buru menggeser kursinya ke sebelah Shani.

"Suka atau tidak, anggap aja takdir. Meminta mereka kembali juga tidak memberikan jaminan mereka akan bahagia disini. You push her away! Dalam sekejap mata dia, Kakakmu, berubah menjadi manusia paling menjijikkan bagimu hanya karena dia melakukan satu kesalahan. Salah dia hanya jatuh cinta, menyimpan dan menikmatinya sendiri. Kamu merasa dirugikan karena itu? Jangan berlagak jadi manusia sok sempurna Shani. Keegoisanmu yang membuat Kakakmu pergi, jadi untuk apa berharap dia kembali?!"

"HEI CEWE GILA!! PERGI!!" Hardik Anin pada Fiony. Suara kerasnya cukup mengundang beberapa pasang mata untuk menatap mereka.

Fiony berlagak menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Upsss keceplosan lagi." 

Meski begitu tidak tampak raut menyesal di wajahnya. Yang terjadi justru dia cukup puas mengutarakan unek-uneknya selama ini.

"Iya, ini juga mau pergi." Ucap Fiony buru-buru berdiri lalu berjalan mundur dari kursinya. 

"Aku pastiin kita akan ketemu lagi Anindhita." Ucap Fiony lagi sambil mengedipkan mata genit pada Anin dan langsung mengambil langkah seribu. Bergegas pergi karena khawatir ada gelas yang melayang ke kepalanya.




________




"APALAGI INI?!!! BAGAIMANA BISA?!!!"

Teriakan demi teriakan terdengar menggema di ruangan VIP itu. Dan itu berlangsung selama beberapa hari terakhir ini. Urat leher wanita yang berusia lebih dari separuh abad itu tampak mengerikan. Matanya melotot tajam pada beberapa orang yang kini berdiri diam menunduk di hadapannya.

"SUDAH BOSAN KERJA?!!!"

"ATAU SUDAH BOSAN HIDUP?!!!!"

"JAWAB!!!" 

"Maaf Nyonya Amanda, kita sudah berusaha menahan mereka. Tapi tawaran perusahaan itu sangat tinggi. Melebihi standar tenaga ahli manapun di negara ini. Posisi keuangan perusahaan tidak memungkinkan untuk menaikkan gaji mereka sebesar itu."

"Iya Nyonya, ditambah kita sudah beberapa kali kalah telak karena klien lebih memilih mereka. Nyonya bisa melihat sendiri apa yang mereka tawarkan tidak realistis. Kita tidak punya pilihan. Jika kita tetap memaksa, kerugian kita akan makin besar."

"Dan lagi untuk proyek yang sudah berjalan, kita mulai kesulitan bekerja sama dengan supplier karena mereka lebih memprioritaskan perusahaan baru itu."

Amanda terduduk lemas di kursinya. Pandangannya mulai kabur.

"Atur pertemuan saya dengan pimpinan perusahaan itu. Hari ini jug-----"

"Sekarang saja bagaimana?" Ucapan Amanda terpotong begitu saja oleh suara lain yang datang tiba-tiba dari luar ruangan.

Seketika wanita paruh baya itu berdiri tegang dari kursinya.

"Kalian semua keluar!" Perintahnya pada bawahannya.

"APA MAU KAMU SEBENARNYA JONATHAN?!!!" Ucap Amanda tak lama setelah bawahannya keluar dari ruangan dan hanya menyisakan mereka berdua di dalam.

Jonathan hanya tertawa lalu memilih duduk di kursi tanpa dipersilahkan.

"Kamu ga lupa kan apa yang pernah aku bilang tempo hari? Aku cuma mau mengambil apa yang menjadi hak-ku."

"Ini semua milikku! Kerja kerasku! Kamu tidak berhak mengambil apapun darisini atau aku akan bawa ini ke jalur hukum!" Ucap Amanda sambil menunjuk Jonathan berkali-kali, emosinya makin tak terkendali.

"Silahkan saja. Punya bukti aku melanggar? Ini persaingan bisnis, apapun legal untuk dilakukan. Harusnya kamu berterima kasih padaku karena aku tidak melakukannya sekali tepuk. Aku memberikanmu cukup waktu untuk menyelamatkan apa yang kamu bisa, sebelumnya akhirnya aku ambil semuanya sampai tak tersisa."

"Lakukan! Aku ga takut!"

"Harusnya kamu akui saja kekalahanmu. Aku masih punya hati untuk tidak membuatmu malu dihadapan banyak orang. Daripada bersaing dan akhirnya kalah, kenapa tidak mencoba kerjasama denganku? Cukup jadikan aku pemilik 70% saham perusahaan ini, dan kamu masih tetap bisa menikmati kerja kerasmu ini sampai mati."

"Jangan mimpi Jonathan! Dasar gila!"

"Apa bedanya denganmu?!"

Amanda tak lagi bisa berkata-kata selain mengepalkan erat kedua tangannya. Berusaha untuk tidak meledak saat itu juga. Dia tahu dia sedang diambang kekalahan sekarang, tapi dia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Apalagi dihadapan musuh terbesar dalam hidupnya selama ini.

"Bagaimana rasanya tidak memiliki siapapun untuk diandalkan?" Tanya Jonathan sambil menaikkan sebelah alisnya. 

"Memangnya kamu punya siapa? Kelebihanmu hanya uangmu."

"Siapa bilang? Aku hanya penonton disini. Tokoh utamanya bukan aku." Ucap Jonathan sambil tertawa. "Kamu belum sadar juga kalau perlahan kamu sedang menuai apa yang pernah kamu tabur? Yang harus kamu ingat, musuhmu bukan cuma aku sekarang. Jadi pikirkan! 70% Atau kamu akan mengalami hal yang lebih parah dari ini!" Kini terlihat aura cukup menyeramkan dari lawan bicara Amanda kali ini.

"Permainan sudah dimulai Amanda." Ucap Jonathan terakhir kali sebelum pergi meninggalkan Amanda begitu saja.




_____________





Keegoisanmu yang membuat Kakakmu pergi, jadi untuk apa berharap dia kembali?!

Kalimat Fiony siang tadi terus menerus berputar di kepala Shani semalaman. Bereaksi layaknya kafein, membuat mata tak kunjung terpejam, meski sebentar lagi hari akan berganti.

Shani sadar dia salah sejak awal. Tidak seharusnya dia memperlakukan Kakaknya sendiri seperti orang asing. Keberadaannya tak diharapkan, dianggap tak kasat mata. Tapi ketika dia ingin memperbaiki semuanya, takdir tak memberinya kesempatan. Selain takdir, apakah benar dia juga penyebab utama Kakaknya pergi? Ini bukan keinginannya. Tidak seharusnya mereka menyalahkannya kan? 

Akhirnya Shani berdiri di dalam sebuah kamar yang sudah beberapa bulan ini tidak dia kunjungi. Nyalinya sempat hilang, takut tidak bisa mengontrol diri. Kamar itu jelas punya kenangan yang sangat melekat dengan pemiliknya. Namun malam ini berbeda.

Malam ini dia harus berada disini. Mencari petunjuk yang baru saja terpikirkan. Berbekal satu harapan bahwa pemiliknya meninggalkan sebuah tanda. Sisi lain dirinya terus saja meyakini bahwa dia hanya pergi sementara. Suatu saat pasti akan kembali.

Shani berjalan pelan, menyusuri tiap detail benda di dalam kamar itu. Semua tersusun rapi dan lengkap. Bahkan laptop dan berkas pekerjaan terakhir masih tertata sedikit berantakan di atas meja. Tidak ada yang dibawa pemiliknya kecuali baju yang melekat di badan.

"Harusnya kamu membawa beberapa bajumu Kak. Supaya aku makin yakin kamu pergi hanya sementara, bukan menghilang selamanya." Gumam Shani pelan tak sadar kembali meneteskan air mata.

Langkah Shani terhenti ketika berdiri di dekat ranjang, karena tidak sengaja kakinya beradu dengan sebuah benda mirip koper yang terletak di bawah kolong ranjang. Rasa penasaran pun muncul.

Ditariknya keluar benda itu dan ternyata sesuai perkiraannya. Sayang koper itu hanya bisa dibuka dengan menggunakan sebuah kode dan Shani tidak punya clue sama sekali. Tapi bagaimanapun juga dia tetap harus mencoba.

Hingga percobaan beberapa kali yang membuatnya nyaris menyerah, Koper itu akhirnya terbuka.

Tidak ada yang spesial disana. Hanya beberapa dokumen lama milik orang tua mereka ketika masih hidup. Beberapa dia sudah mengetahuinya. Hingga pada sebuah map terakhir, matanya memicing tajam ketika membaca judul isinya pertama kali.

Tanpa pikir panjang, secepat kilat Shani membawa seluruh isi koper itu keluar meninggalkan kamar kosong itu.





_TBC_
















































Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro